Sabtu, 13 Maret 2021

Puisi-Puisi Ni’matus Sholihah

BY editor IN No comments

Puisi-Puisi Ni’matus Sholihah




Membaca Matamu

: Kakanda


Pada matamu yang senja

Kutemukan kita

Dalam cerita yang telah purba;

masa lalu


Madiun, 2019



Wijaya Kusuma

: Kakanda


Wijaya kusuma 

yang kautanam di suatu pagi

tumbuh di tubuhku

mekar di dadaku


Kau ; tak pernah tahu


Madiun, 2020



Status


baru saja aku memposting status

di langit malam

agar kautangkap

di layar matamu


di sana puisi menjelma aku

yang menari-nari

mencari celah masuk ke hatimu


sayangnya, 

satu tahun yang akan datang

kita; masih berbahasa isyarat

di layar mata yang telah berkarat


Madiun, 2020



Malam itu Syahdu


malam itu

kata semesta 

bisu kita syahdu


hanya desau angin yang menyampaikan ingin 

sesekali bunyi decit rem sepeda

merayap di telinga


dan kita masih sama enggan mencairkan

separuh sisi malam yang legam

sampai di persimpangan 

jalan menuju rumahmu dan rumahku

separuh malam masih membeku

aku hanya bisa berbisik,

"Sampai jumpa, Nda!" di dalam hatiku


tapi,

malam itu

kata semesta


bisu kita syahdu, Kasihku


Madiun, 2020


Ni’matus Sholihah. Lahir di Madiun pada 1 Maret 2001. Alumnus MAN I Madiun (MAN Kembangsawit)

Jumat, 12 Maret 2021

Merindukan Ayah Tiri

BY Agus Pribadi IN No comments

pixabay.com
 

Cerpen Luhur Satya Pambudi

 

Bersukacitalah hati Fayra. Akhirnya bisa ia miliki ayah yang baik hati, berbeda dengan ayah kandungnya yang entah di mana. Lelaki yang semula dipanggilnya Om Sam itu bersedia menikahi ibunya yang sempat tiga tahun menjanda. Kedua orangtua Fayra berpisah ketika ia berusia tiga tahun. Sosok ayah kandungnya tak cukup mengesankan bagi si gadis cilik. Sesudah Sam menjadi suami ibunya, barulah ia memahami betapa menyenangkannya memiliki ayah sebagaimana dialami teman-temannya. Ayahnya kini senantiasa hadir ketika Fayra memerlukan segala sesuatu. Ia bahkan lebih nyaman mengisi waktu bersama Sam ketimbang ibunya yang sibuk bekerja di luar rumah. Namun, jika sang ibu memiliki waktu senggang, biasanya mereka bisa bepergian bertiga, entah mengunjungi kakek dari ibunya, nenek dari ayahnya, atau sebatas makan di restoran.

Fayra tidak kerap meminta dibelikan mainan baru. Ia sudah bahagia dengan yang dimilikinya dan lebih suka koleksi bukunya yang bertambah. Fayra menjadikan mereka hiburan istimewa bersama sang ayah yang tak bekerja kantoran. Sam dikenalnya sebagai sosok yang terampil mendongeng dan selalu mampu menggembirakan hatinya. Hal itulah yang membuat si gadis cilik terkesan pada awalnya. Sam sendiri jatuh sayang terhadap Fayra hingga senantiasa berhasrat membagikan hal-hal indah kepada sang bocah. Jalan terbaiknya adalah menikahi ibu Fayra dan otomatis menjadi ayahnya.

Kian berwarna cerah hidup Fayra. Sang ibu menghadirkan seorang adik lelaki baginya sekaligus anak kandung Sam. Namun, tak lama berselang kebahagiaan itu mesti luntur dari hidup Fayra. Ibunya kerap terdengar berselisih paham dengan Sam, hingga tiada lagi yang bisa dikompromikan. Fayra pun menghadapi kenyataan pahit kembali. Ibunya berpisah dengan sang suami untuk kedua kalinya. Hal paling menyesakkan bagi Fayra adalah kepergian Sam yang selama sekitar lima tahun menjadi ayah idolanya. 

“Apakah saya masih boleh memanggil Ayah atau jadi Om Sam lagi?” Fayra yang telah berusia sebelas tahun bertanya kepada Sam yang tengah bersiap-siap meninggalkan rumah. Ketika peristiwa itu terjadi, proses perceraian masih belum menemui kata akhir. 

“Tentu aku tetap Ayah bagimu dan adikmu Fariz, meski aku dan ibumu tak lagi bersama. Ayah berharap kita masih bisa sering bertemu,” sahut Sam sendu.

Palu hakim akhirnya meresmikan perpisahan ibu Fayra dengan Sam. Hak perwalian atas Fariz diserahkan kepada ibunya, tapi Sam memiliki hak kewajiban tertentu terhadap anak lelakinya. Begitulah yang ditetapkan hakim. Namun, yang lantas terjadi, ibu Fayra melarang Sam menemui anak-anaknya lagi.

“Kenapa Ayah tak boleh menemui kami lagi, Ibu?” tanya Fayra suatu ketika.

“Ada hal yang belum bisa kau pahami, Nak. Biasakanlah bahwa kita tinggal bertiga belaka di rumah ini. Kita pasti bisa menjalaninya. Oh ya, sebaiknya lupakan saja Sam, eh ayah tirimu maksud Ibu.”

Entah apa alasan sesungguhnya, Fayra tak mampu memahami keputusan ibunya. Apalagi bagi Fariz yang masih berusia balita dan tak mengerti yang sebenarnya terjadi. Di mata Fayra, Sam sangat menyayangi anak-anaknya. Si gadis tak pernah meragukan ketulusan hati lelaki itu. Kehadiran Fariz nyatanya tak mengubah sikap Sam terhadap Fayra yang tetap merasa menjadi putri kesayangan sang ayah. Namun, tampaknya sang ibu melihat sosok yang berbeda. Hal itu membuatnya membenci mantan suaminya dan menjauhkannya dari buah hatinya. Ia bagaikan tak peduli perasaan Fayra dan Fariz yang kehilangan figur ayah nan baik.

 

***

Fayra akhirnya terbiasa menjalani hidup tanpa kehadiran ayah dalam keluarganya. Sepuluh tahun berlalu, usianya sudah dua puluh satu kini. Kendati demikian, segala kenangan masa kecilnya bersama Sam masih tetap bersemayam dalam hatinya. Terkadang kerinduannya terhadap ayah tirinya sedikit terjawab dengan membolak-balik album foto keluarga yang tersimpan rapi di kamarnya. Riang pula hati Fayra kala membaca sejumlah cerpen dan puisi karya Sam yang beberapa kali hadir di media massa. Ia memang penggemar sastra sebagaimana mantan suami ibunya. Betapa ia berhasrat mengajak Fariz menjumpai Sam, toh ia bisa menanyakan alamat rumahnya kepada redaktur media yang memuat karyanya. Namun, ia tak bisa membayangkan reaksi keras ibunya jika sampai mengetahui hal itu. Fayra pun mengurungkan niatnya. Sang ibu sendiri sempat memiliki kekasih lagi, tapi tanpa berlanjut ke pelaminan.

Suatu ketika Fayra mendapatkan kejutan dari Fariz yang telah duduk di bangku SMP. Situs jejaring sosial tengah mulai mewabah dan diikuti berbagai kalangan dalam beragam usia.

“Kak Fayra tahu tidak, aku baru saja diajak berteman oleh siapa di Facebook?” ucap Fariz yang sore-sore baru pulang dari warnet. Ketika itu akses penggunaan internet di rumah belum jamak terjadi. Fariz dan kakak perempuannya bercakap-cakap di kamar Fayra.

“Siapa, Dik? Model cantik remaja yang kau sukai itu, ya?” sahut Fayra tersenyum.

“Bukanlah, Kak. Itu sih, aku yang mengajaknya berteman. Hehe…”            

“Lantas siapa dan apa istimewanya?”

“Samiaji Dipayana, Kak.” Mata Fariz tampak berbinar-binar.

“Hah, Ayah? Jadi, kau sudah berteman dengannya?”

“Iya, Kak. Kami bahkan sudah bertukar nomor telepon dan akan bertemu nanti, meski belum tahu harinya. Senang rasanya berhubungan dengan Ayah lagi.”

Sesak mendadak dada Fayra. Gerimis turun dari matanya. Bahagia, sedih, dan entah apa saja yang serta-merta membanjiri relung kalbunya. Lekas dipeluknya belaka sang adik seraya menangis tanpa sanggup berkata-kata.

“Kenapa Kak Fayra malah menangis?” tanya Fariz yang terlalu hijau untuk memahami.

“Hiks… Aku bahagia buatmu, Dik. Akhirnya kau bisa bertemu lagi dengan ayah kandungmu. Hiks… Kira-kira Ayah tahu tidak ya, jika aku pun merindukannya? Kau tahu kan, aku juga ingin sekali menjumpainya.”

“Jangan sedih, Kak. Beliau kirim salam kangen kok, buat Kakak.”

Jawaban Fariz disambut Fayra dengan senyuman. Ia melepas pelukannya dan mulai menghapus air matanya. Fayra menepuk punggung Fariz yang berdiri di hadapannya. Dalam hati ia bersyukur karena jalan terbuka baginya melihat kembali ayahnya. Mantan ayah tiri, lebih tepatnya.

“Tapi Kak, bagaimana jika Ibu sampai tahu? Kakak bisa merahasiakan hal ini, kan?”

“Fariz, tentu Kakak akan menjaga agar pertemuanmu dengan Ayah tak sampai ketahuan Ibu. Kita berdoa sajalah, mudah-mudahan Ibu sudah berubah dan membolehkan Ayah menemui kita lagi.”

Yang terjadi kemudian, Fariz bersua dengan ayahnya seorang diri hingga dua kali. Ia lantas mengajak kakaknya pada pertemuan ketiga. Fayra menyambutnya dengan riang, senyampang memiliki waktu senggang. Sebelumnya, ia sudah menjadi teman Sam di Facebook, tapi baru sempat berbasa-basi belaka. Fayra dan Fariz menjumpai Sam di sebuah restoran yang pernah kerap mereka kunjungi ketika masih menjadi sebuah keluarga.

Harapan yang sekian lama terpendam lambat laun menjadi kenyataan jua. Fayra akhirnya bisa bertatap muka kembali dengan Sam yang senantiasa dirindukannya sepanjang satu dasa warsa.

“Ayah bisa saja memilih tempat ini. Sejak Ayah pergi, kami tak pernah kemari lagi.”

Begitulah kalimat pembuka Fayra kepada Sam setelah mereka bersalaman dan berpelukan. Ia tak mampu menahan keharuan. Gadis itu sempat kesulitan akan berucap apa, saking banyaknya hal yang tersimpan dan ingin ia bagikan. Rada kagok juga rasanya mengingat dahulu ia masih bocah dan kini sudah kuliah. Namun, candaan khas dari Sam membuat suasana beranjak menghangat. Fayra dan Fariz bahkan bisa bergantian berbagi cerita kepada ayahnya. Sam lebih banyak tersenyum mendengarkan curahan hati anak-anaknya. Sesekali, lelaki kalem itu menimpalinya dengan nasihat, meski terkadang ia menanggapinya dengan kata-kata yang menyegarkan. Fayra pun merasa memiliki sebuah warna cerah baru yang memperindah dunianya. Sehabis itu ia lebih kerap berkomunikasi dengan Sam, biarpun sebatas lewat Facebook maupun SMS semata.

Dua bulan telah lewat sejak Fayra berjumpa kembali dengan Sam. Gadis itu memberanikan diri bertanya kepada ibunya tentang kemungkinan pertemuan antara dirinya maupun Fariz dengan Sam. Fayra telah membekali diri dengan doa agar tegar hatinya menghadapi apa pun reaksi sang ibu.

“Nak, sebenarnya Ibu sudah lama memikirkannya. Berkali-kali Ibu merenungkan semua yang pernah terjadi. Selama ini mungkin Ibu kurang tepat dalam memperlakukan kalian, terutama ketika melarang Ayah menemuimu dan Fariz. Kekhawatiran yang Ibu miliki di masa silam ternyata tidak beralasan. Maafkan Ibu ya, Nak.”

“Jadi, Ibu tidak marah sekiranya aku dan Fariz berjumpa dengan Ayah?”

“Temuilah Ayah kapan pun kalian mau. Ibu tidak akan keberatan, toh kalian sudah sering melakukannya, bukan?” Sang ibu mengatakannya dengan senyuman.

“Hah, jadi Ibu sebenarnya sudah tahu? Wah, Fariz pasti sangat gembira dengan hal ini.”

Tanpa sepengetahuan Fayra dan Fariz, ibunya telah berbicara empat mata dengan Sam. Sang ibu menyadari kesalahannya dan bersedia berbesar hati mendatangi mantan suami keduanya untuk meminta maaf. Ia mempersilakan Sam berhubungan kembali dengan anak-anaknya tanpa halangan. Kejadian itu berlangsung tak lama sehabis Fariz menjadi teman ayahnya di Facebook. Sang ibu bahkan berupaya berteman baik lagi dengan Sam, tentu demi masa depan anak-anak mereka. Fayra mensyukuri perubahan besar yang terjadi pada ibunya.

Setelah hampir dua tahun Sam bisa bercengkrama kembali dengan anak-anaknya, mendadak tersiar kabar duka. Ayah kandung Fariz itu terkena serangan jantung dan padam nyawa ketika tengah bertugas di luar kota. Fayra tiba-tiba merasakan kehampaan bersemayam dalam kalbunya. Ayah tiri yang pernah sangat dirindukannya pergi lagi, tapi kali ini tanpa asa menjumpainya kembali.(*)


------------------------------------------------------------------------------                                                                                                                                                

Luhur Satya Pambudi lahir di Jakarta dan tinggal di Yogyakarta. Cerpennya pernah dimuat di sejumlah media cetak maupun daring, seperti Suara Merdeka, Tribun Jabar, dan kompas.id. Kumpulan cerpen perdananya berjudul Perempuan yang Wajahnya Mirip Aku (Pustaka Puitika).