Sabtu, 13 Februari 2021

Puisi-Puisi Efen Nurfiana

BY editor IN No comments


Ladang Dada Ibu

 

ladang dada ibu sore hari

meniupkan semilir angin

selepas pedar tubuhnya

menghapusku dari warna langit

 

aku merunduk sebagai mata padi

gontai menampung gelisah dari seutuh diriku

dan kedalaman hati yang menanam jantung harapan

tumbuh sebagai hasrat yang menyempitkan diri

 

2020

 


 

Antara Tua dan Usia

 

sampai kukawini seluruh usia

kau tetap memudar di bawah bibirku

saban hari kita berdekapan dalam lembah pasrah

hingga malam yang telah begitu tua

mati serta hilang di mata kita

dan kita saling menghampiri

di antara angin dan ingin

di antara tua dan usia

di antara keranda dan doa

 

2020

 


 

Santapan Hujan

 

dua bocah menyerahkan tubuhnya untuk santapan hujan

direlakan kulit dan hasratnya ditusuk

disayat-sayat angin

untuk kemudian disajikan bersama gigil

kisut ujung jemari memberi pucat bibir

saat malam datang menyelimuti meja

pada piring yang ditempa kesunyian

dua bocah itu berbaring, menunggu giliran sesiapa

yang akan dilahap demam

kemudian yang lain berdoa

agar senantiasa hangat dan selamat

 

2021

 


 

Akal Kuda

 

tiba-tiba saja saya melihat tubuhmu

di wajah yang temaram

dan lidah saya tidak dapat mengandung akal yang murni

sewaktu dada dan perasaanmu lebam

seekor kuda saya biarkan lari-menerjang

sedangkan tak nampak kau menjerit, meranggas kesakitan

 

saya yang diekori banyak kemiskinan

tak dapat membangun ruang kesadaran

saya nyaris tak ada lantaran memotong senyummu

yang tak lain adalah bagian sukma tubuh saya

dan kuda yang mengarah kepadamu

dengan amarah mementalkan saya ke langit-langit

tempat segala saya kau terbangkan melalui doa

 

2021


 

Efen Nurfiana, lahir pada tanggal 14 April 1996. Bergiat di Komunitas Pondok Pena Pesantren Mahasiswa An Najah Purwokerto. Karya-karyanya  pernah termuat dalam beberapa antologi dan koran. Facebook: Efen Nurfiana.

Jumat, 12 Februari 2021

Metamorfosis Bidadari

BY Agus Pribadi IN No comments

pixabay.com


 Cerpen Gusti Trisno


Penduduk di wilayah dekat Sungai Sampeyan benar-benar sibuk di November yang basah. Pasalnya, kawanan ular mengincar rumah mereka. Beruntung, taburan garam yang telah didoakan oleh sesepuh desa tersebar di depan dan belakang rumah. Jadi, kawanan ular itu tidak berani mampir sejenak di rumah-rumah mereka yang berbentuk pekarangan panjang.

Kecuali di rumah Yopo. Lelaki yang tidak tampan itu sering kali menjumpai ular di berbagai ruang di rumahnya. Mulai dari dapur, ruang tamu, bahkan kamar tidurnya sendiri. Anehnya, Ibu Yopo tidak begitu terganggu. Sementara Yopo, sebagai anak satu-satunya di keluarga. Ia malah takut bukan kepalang dan berlindung di bawah ketiak Ibunya. Benar-benar payah lelaki itu!

Hingga ketakutan demi ketakutan yang membayang Yopo terbawa di dalam mimpi. Dan di sana ia bertemu bidadari.

****

 

Sungai Sampeyan selalu membawa cerita indah bagi sekawanan bidadari di masa lalu yang sering mandi di airnya yang bersih dan deras itu. Tak ada yang mengetahui hal itu. Kawanan bidadari dari kayangan selalu menyempatkan mampir mandi setelah perjalanan jauh ke berbagai tempat. Ibaratnya sungai Sampeyan adalah terminal para bidadari.

Di sana mereka tertawa, berbagi cerita dengan begitu lepasnya, juga terkadang berbicara makhluk bumi yang tidak punya kecantikan dan kegadisan yang abadi.

Hanya saja, satu hal yang mereka lupa. Di ujung sana, terdapat pemuda yang sedang mengintip dari kejauhan. Pemuda yang bernama Yopo itu berdecak kagum dengan pemampilan para bidadari, ia serasa digoda oleh paras perempuan yang sedang menikmati keindahan Sampeyan itu.

Dan, Yopo segera teringat kisah Joko Tarub atau Arya Menak versi Madura bahwa ia harus bisa mendapatkan selendang bidadari. Satu saja. Dengan begitu mereka tidak bisa terbang ke kahyangan. Lalu, Yopo tinggal menawarkan bantuan. Barulah mereka akan menjadi sepasang suami-istri. Tentu, pemuda yang tidak tampan itu tidak akan melakukan kesalahan yang sama dengan Joko Tarub atau Arya Menak. Di mana tokoh legenda itu menaruh selendang bidadari di lumbung padi. Hingga suatu ketika Nawang Wulan menemukan selendang tersebut.

Ahh. Yopo mulai berandai-andai.

Padahal, lewat cerita di masa lalu ia tidak akan mendapat apa-apa. Kecuali, ia mau berpikir lebih kritis dulu. Sebab, bukankah masa lalu itu ada supaya kita lebih waspada?

Akhirnya, pemuda yang memiliki nama belakang William itu segera mendekat ke tempat mandi para bidadari. Anehnya di sana tidak ada salendang. Yopo bingung, bagaimana mungkin ia bisa hidup abadi dengan para bidadari jika selendang mereka tak ada yang bisa diambil.

****

 

Yopo terbangun dari mimpi panjangnya. Jam di dinding kamar lelaki itu masih menunjukkan pukul dua pagi. Sebuah waktu yang sarat akan ketenangan dan daya magis. Ia segera memijit kepalanya yang begitu pusing akibat mimpi tidak jelas itu. Apalagi, sepenggal mimpi itu butuh dilanjutkan agar kisah yang didapat Yopo tidak berakhir menggantung.

Tapi ... untuk melanjutkan mimpi. Yopo harus bersabar sejenak. Pasalnya, adik kecilnya yang berada di tengah pusat tubuh seperti meminta untuk mengeluarkan air kecil. Dan, lelaki itu segera menuntaskannya menuju kamar mandi.

Surprise! Mungkin itu kata yang tepat mewakili Yopo, sebab di kamar mandi yang berukuran lebih sempit dibanding kamar tidurnya penuh dengan ular air berjumlah tujuh ekor. Yopo menahan sesak. Ia segera berteriak. Tapi, di rumah itu ia hanya tinggal dengan Ibunya yang begitu letih akibat pekerjaan sedari pagi di sawah. Tak ada yang bisa membantu Yopo saat ini. Hanya satu di pikiran Yopo. Mungkinkah ular itu menjadi salah satu media yang membuatnya meregang nyawa. Mengingat mati, Yopo langsung lemas seketika.

****

 

Putra William itu terbangun tak jauh dari tempat para bidadari mandi. Ia menatap sosok perempuan yang cantik-cantik itu. Dari pengamatan lelaki yang ditinggal ayahnya sejak masa kanak-kanak itu, ia dapat mendeskripsikan bahwa sosok bidadari memiliki kulit yang licin dan halus. Enam dari tujuh bidadari itu segera keluar dari arena mandi, mereka pergi ke balik semak-semak. Sementara satu bidadari tetap bermain air.

Dan, di sana Yopo kembali serasa digoda bidadari. Apalagi, bidadari yang memiliki rambut panjang, paras yang menawan itu sanggup membuatnya terbang ke atas cakrawala melewati terowongan Casablanca, dan menembus galaksi bima sakti. Sehingga Yopo menjadi lebih ulala.

Duh! Seharusnya Yopo berfokus pada bidadai yang tersisa satu itu.

Pun, setelah Yopo fokus. Lelaki itu melihat bidadari semakin bertambah kecantikannya. Apalagi kulitnya mengelupas satu per satu, seakan-akan bidadari itu melakukan proses shedding atau berganti kulit. Proses shedding itu begitu lama, sebab dari detak jantung Yopo yang sengaja dihitung menunjukkan persentase 35.000 detik. Duh, lama nian. Tapi, dari sana Yopo semakin yakin jika rahasia bidadari bisa memiliki kecantikan abadi. Salah satunya karena proses shedding itu.

****

 

“Ah, ngawur mimpi kamu!”

Ibu tak percaya dengan mimpi yang baru saja dijelaskan oleh anaknya. Bukan apa-apa.  Berdasarkan pedoman mimpi yang telah dirawat Ibu. Perempuan yang telah menjanda sebanyak enam ratus bulan itu mengetahui jika mimpi adalah bunga tidur.

Apa yang menjadi mimpi dari anaknya itu hanya karena si anak pingsan di dalam kamar mandi yang katanya penuh dengan ular.

“Jika memang itu mimpi adalah bunga tidur? Bagaimana dengan ular-ular itu?”

“Kalau itu memang bukan mimpi. Fakta membuktikan jika rumah kita sering dikunjungi ular. Walaupun garam sudah ditabur di mana-mana.”

“Apa mungkin ular tidak takut garam?” Yopo kembali bertanya.

Ibu tak berani menjawab, perempuan yang masih ayu itu hanya menatap pintu di luar rumah yang telah kedatangan tujuh ular.

“Pergi kalian! Aku dan anakku sedang sarapan! Jangan ganggu!”

Yopo menoleh ke arah pintu rumah. Tidak ada apa-apa di sana. Yopo jadi merinding, Ibu berbicara dengan siapa?

Untungnya perhatian Yopo segera beralih pada sebuah pesan WA yang dikirim mantan pacarnya. Pasti kalian sebagai pembaca yang budiman ingin mengetahui isinya, kan? Baik, saya sebagai penulis akan menuliskannya di sini.

Terdapat anggapan jika ular takut terhadap garam, hal ini dikarenakan selama ini berkembang pendapat bahwa ular memiliki kulit yang licin, lengket, dan berlendir. Jadi, untuk mematikannya harus ditaburi dengan garam. Namun, kenyataannya kulit ular tidak berlendir sehingga tidak akan takut  terhadap garam.

“Jadi, usaha kita selama ini sia-sia, Bu?”

Yopo berhenti sejenak atas pesan WA yang baru dibacanya.

Ibu mengangkat satu alis, bingung dengan pertanyaan Yopo yang tak jelas karena tidak memenuhi SPOK.

Yopo pun segera memberikan android keluaran terbaru pabrikan China itu.

Ular cenderung menghindar dibanding menyerang ketika bertemu manusia. Kalaupun ular sampai menggigit atau menyerang manusia, tentu ada yang salah dari manusia tersebut. Entah itu, menggoda atau tidak sengaja mengancam ular. Seperti kesenggol atau keinjak.

“Oh... baca tentang ular? Jadi, karena kita tidak mengganggu mereka. Mereka tidak mengganggu kita kan? Simpel kan?”

“Loh, bukan itu maksudku?”

“Terus?”

“Ah... sudahlah Ibu pergi ke sawah saja. Aku akan berangkat sekolah.”

Majelis sarapan pagi itu segera berakhir. Ibu kembali ke sawah dan Yopo menyusuri langkah menggapai sekolah. Sepanjang perjalanan pemuda unyu itu berpikir mengapa akhir-akhir ini ia begitu ketakutan bertemu ular dan mimpinya juga kian runyam.

Di tengah langkah menuju sekolah, ia tak sengaja berpapasan dengan perempuan yang serupa bidadari di mimpinya.

“Kamu?”

“Aku?”

“Iya, kamu?”

Dialog-dialog itu keluar saja dari balik mulut Yopo, serupa ciri khas seorang pelawak di layar kaca. Tapi, keterkejutan bertemu perempuan itu jauh lebih dalam. Dan, Yopo yakin ia tidak sedang bemimpi saat ini.

Yopo pun segera mengusap telapak tangan, lalu mengulurkan tangannya.

“Yopo.”

Perempuan itu menyambut dan segera mengucapkan nama lengkapnya.

Saat mengucap nama, Yopo seolah-olah terbang ke masa lalu Arya Menak atau Joko Tarub dalam legenda. Bagaimana tidak nama perempuan itu Nawang Wulan. Perempuan yang sanggup membuat Arya Menak dan Joko Tarub menggambil salendangnya karena tergoda kecantikan yang luar biasa.

Begitupun Yopo, sekalipun ia tak bisa mengambil salendang yang dimiliki Nawang Wulan di depannya. Tapi, Yopo sudah tenggelam dalam lautan cinta sekali menatap mata perempuan itu.

****

 

Yopo tersadar setelah mengalami perjalanan yang serasa begitu jauh. Baju yang dipakainya masih seragam sekolah berwarna putih abu-abu. Tapi, tempatnya kini bukan di sekolah. Melainkan di pinggiran sungai Sampeyan. Di sana, tampak para bidadari mandi dengan begitu riangnya. Anehnya, Ibu yang tadi ke sawah begitu akrab dengan para bidadari.       

Yopo tersenyum, ia merasa bidadari begitu nyata. Bidadari bukan dongeng belaka. Tapi, ibunya sendiri adalah salah satu dari mereka. Ia percaya itu. Dan, sudah pasti nantinya si Ibu akan menawarkan salah satu bidadari untuk menjadi istrinya yang abadi.

“Yopo, sini mandi bareng Ibu dan teman-teman!” ajak Ibu.

Yopo kaget ternyata ibu yang sedemikian dicintanya itu mengetahui keberadaan lelaki yang tidak tampan itu. Ajakan ibu begitu melambungkan kesenangan yang luar biasa.

Dan, ketika Yopo mengulurkan tangannya pada Ibu. Sontak semua bidadari yang berada di depan Yopo, termasuk ibunya sendiri berubah menjadi ular. Yopo mengucek mata. Tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Di sana para ular mulai berganti kulit. Ada yang menjadi lebih agresif dan seakan-akan mau menyerang ular di sekelilingnya, ada yang merasa terganggu dengan kehadiran Yopo, bahkan ada yang berusaha melukai Yopo. Untung ibunya yang menjadi ular itu berhasil melindungi Yopo. Saat itu Yopo ingin menangis dan bertemu Nawang Wulan datang pada saat yang tepat.

“Terima kasih.” Ucap Yopo, ketika Nawang Wulan berhasil menyelematkannya.

Sependek pengetahuan Yopo, ular berganti kulit karena untuk menggantikan jaringan yang mati, hal itu terjadi secara terus-menerus selama ular hidup. Lelaki itu masih hapal benar penjelasan guru biologi di sekolah menengah atas yang ia makan bangku sekolahnya.

“Kamu kok bisa di sini?” tanya Yopo, setelah letak ketakutannya terhenti.

Nawang Wulan tak menjawab, malah kulitnya mengelupas terganti dengan jaringan kulit baru yang lebih menawan. Yopo kembali mengingat mimpinya. Tapi, nawang Wulan di hadapannya sekarang bukanlah mimpi.

Sontak Yopo kembali takut. Bulu kuduknya merinding, ia berusaha kabur. Tapi, Nawang Wulan menahan. Hanya saja, sekarang Nawang Wulan tak lagi menjadi manusia melainkan ular.

Yopo memegang kepalanya yang pusing, berharap tragedi ia yang seakan-akan digoda bidadari yang nyatanya seorang ular itu hanya mimpi belaka.(*)

            Malang, 9 Januari 2021

 

-------------------------------------------------------------------------------------------------

Gusti Trisno.
Mahasiswa S2 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang yang memiliki nama lengkap Sutrisno Gustiraja Alfarizi.  Peraih juara 2 Penulisan Cerpen dalam Pekan Seni Mahasiswa Jawa Timur 2016 dan Penerima Anugerah Sastra Apajake 2019. Kumpulan cerpen terbarunya berjudul “Seperti Skripsi, Kamu Patut Kuperjuangkan” (Elexmedia Komputindo).