pixabay.com
Cerpen Dewanto Amin Sadono
Pagi
itu, di kolong Jembatan Klender, Silo menemukan merpati putih, cakar kanannya
terjerat rafia, bergelepar-gelepar
saat ditangkap, bulu-bulu halusnya berceceran pada tumpukan sampah.
“Aku
ketemu ibuku! aku menemukan ibuku,”
teriak bocah
sepuluh tahun itu, matanya berpijar-pijar seperti kilatan kembang api pada malam
tahun baru.
Kata
neneknya, ibunya berubah jadi merpati setelah dua minggu melahirkannya, menggeliat-geliat sebentar di
pembaringan, lalu terbang melewati jendela, tak pernah pulang. Hanya itu cerita
yang dia dengar tentang ibunya. Neneknya pergi setahun lalu, tak berubah jadi
merpati, tapi diarak dalam peti mati.
Empat
gelandangan yang sedang bersiap memulung plastik bekas itu segera mendekat.
Silo sedang bersandar pada tiang pancang jembatan penuh grafiti warna-warni,
lagi berbincang-bincang dengan ibunya.
Soal
ibunya yang berubah wujud menjadi merpati, Silo sering bercerita, mereka
percaya tak percaya. Dalam dongeng ada
juga kisah seperti itu, hanya saja tidak menjadi merpati: Roro Jonggrang menjelma menjadi arca, Malin
Kundang menjadi batu berbentuk perahu.
Yang
mereka pahami, perubahan wujud itu akibat kutukan, tak tahu
apakah ibu Silo telah dikutuk juga, atau siapa pengutuknya. Mereka tak ingin tahu,
tak mau merusak suasana. Baru setahun ini Silo menggelandang, masih butuh waktu
lama agar bisa menjadi gelandangan sejati, gelandangan yang setangguh batu kali.
“Kamu
nemu di mana? Aku juga ingin punya
ibu,” ucap Santoso, membelai kepala merpati itu.
Remaja
berkulit putih berambut gimbal itu ditemukan orang tua angkatnya lima belas
tahun lalu di Alun-Alun Wonogiri saat Valentine Day. Bayi merah itu sedang menangis
di bawah pohon beringin, terselip di antara akarnya: lapar dan kedinginan, kulitnya
bentol-bentol bekas gigitan nyamuk.
Bayi
seminggu itu hanya berpopok, bertuliskan namanya dengan spidol hitam, dan hanya
nama dan popok itulah peninggalan orang tuanya. Bapak angkatnya yang tukang
becak hanya sanggup membiayai sampai kelas dua SMP. Selanjutnya, Santoso
merantau ke Jakarta, kota yang punya segalanya walaupun ternyata bukan
untuknya.
“Duh,
senangnya yang nemu ibu,” ujar Ponco,
tangan kanannya menyentuh sayap si merpati.
Dia
anak kelima dari enam bersaudara, lahir empat belas tahun lalu, kulitnya hitam,
bertinggi sedang, pada pergelangan kanannya melingkar gelang rantai yang dia beli
di Pasar Manggarai. Ponco sudah tak beribu, bapaknya kawin lagi, dan dia pilih
pergi, menyusul jejak kakak-kakaknya yang bertebaran di seluruh Nusantara.
“O,
ini ibumu,” kata Joyo, badannya penuh tato, kepala banteng itu terpahat di
dadanya, diapit penyanyi dangdut dan daun ganja. Sebelum jadi pemulung, dia
pencopet di bus Kopaja, kapok setelah ditangkap dan digebuki korbannya yang
ternyata polisi.
Setelah
sang ibu meninggal kena kolera, remaja pendek gempal itu meninggalkan Blora,
belum pernah pulang. Dia tak tahu siapa bapaknya. Saat ditanya, ibunya marah,“Bapakmu ...,” umpat sang ibu dalam
bahasa Jawa. Joyo tak yakin itu. Buktinya dia tak suka menggonggong dan tak
bisa melolong.
“Tuh,
ibumu berak,” Makmur batal meraba ekor si burung, cairan bening mirip oli itu keluar
dari lubang pantatnya.
Anak
kelahiran Banten enam
belas tahun lalu itu terdampar di ibu kota usai tamat SMP. Kulit mukanya bersih,
bapaknya juragan padi, ibunya pengepul kapas, tapi dia ingin menjadi dirinya
sendiri.
Silo
membawa si merpati ke rumah peninggalan sang nenek. Rumah papan di belakang
Pasar Klender itu seukuran kandang kambing, bolong di sana-sini,
berminggu-minggu tak ditempati. Hanya tersisa kasur kapuk sekeras bantalan
kereta api pada kamar satu-satunya, kompor minyak tak bersumbu di dapur yang
pesing oleh kencing tikus, serta perabotan yang sedang dihancurkan rayap di
ruang tamu.
Ada
tetangganya yang cantik, suka menyapa saat hendak ke SMA. Silo tak tahu nama
sang ibu, neneknya tak pernah memberitahu. Merpati itu dinamainya Ika, dia
yakin sang ibu tak kalah cantiknya. “Bu Ika, jangan pergi lagi, ya? Temani
Silo!”
Para
tetangga yang kebetulan mendengar ucapan itu hanya tersenyum sambil mengelus
dada. Sejarah keluarga Silo bagai tayangan telenovela: penuh tangisan dan
lelehan air mata. Anak malang belum disunat itu boleh melakukan apa saja, dan
mereka tak akan menganggapnya gila.
Pagi-pagi,
Silo meninggalkan rumah. “Aku akan mencari bapakku,” katanya pada para tetangga
yang dia temui di sepanjang jalan. Belum juga berumur setahun, sang bapak
menyusul ibunya, dan tentang cara perginya sang nenek mengatakan hal yang sama,
yang beda waktunya: ibunya pagi, bapaknya malam.
“Semoga
ketemu, suruh menemani ibumu di
kardus itu!” balas Mang Sapar, dia sedang bersiap ke pangkalan, becak belum
lunas cicilannya itu terparkir di dekat selokan yang hitam dan bau tinja. Pada dashboardnya terpampang tulisan Sri
Rejeki, warnanya merah darah.
“Nanti
dibawa pulang, ya? Jangan dipanggang!” teriak Pak Sobri, tukang permak pakaian
yang buka praktik di rumah kontrakannya. Kadang nyambi jadi tukang parkir jika orderan lagi sepi.
Silo
ke kolong jembatan itu lagi, siapa tahu bapaknya sedang mencari-cari ibunya.
Pagi sampai sore kolong seluas lapangan futsal itu jatah bagi para pkl, berjualan
makanan, minuman, celana dalam wanita. Sering kali para pengemis ikut menyela,
menadahkan tangan, menyuarakan ratapan, mendayu-dayu tak ubahnya lagu-lagu
Melayu.
Malamnya,
barulah berganti penghuninya. Para gelandangan bermunculan dari segala arah,
bertebaran di seluruh sudut kolong. Seperti ikan asin sedang diangin-anginkan,
mereka bergelimpangan di atas tikar plastik dan koran bekas.
Layaknya
hotel yang biasanya bernama, jembatan itu pun punya, tentu saja selain nama
resminya. Para gelandangan menyebutnya jembatan merdeka.
Pada
Perang Kemerdekaan, Klender merupakan daerah kekuasaan Haji Darip, jagoan
Betawi yang telah membuat tentara
Jepang dan Belanda lari
terkencing-kencing. Bahkan, bisa jadi jembatan layang itu
dibangun di atas kebun singkong milik jawara asli Klender itu. Dan, para
gelandangan itu merayakan kemerdekaan dengan cara yang mereka tahu: menempati
tanah di kolong Jembatan Klender itu dengan merdeka.
Keempat
kawannya sudah berangkat memulung, beberapa pedagang sedang menyiapkan
dagangannya. Silo menuju ke tumpukan sampah tempat dia menemukan ibunya sehari
lalu. Sama seperti kemarin, hari itu pun Silo sedang dilimpahi rezeki. Ada tiga
merpati di tempat itu, tapi dia sudah tahu yang mana bapaknya: berwarna megan,
bagian sayap berstrip hitam, berbadan besar.
Setelah
lima menit mengendap-endap, merpati yang lagi asyik mematuk-matuk sayuran busuk
itu bisa dia sergap, gerakannya seolah kiper sedang menangkap bola. Bapaknya
berjenggirat, berkepak-kepak coba melepaskan diri, tapi Silo segera membujuki,
“Ini Silo, Pak. Ibu sudah di rumah.”
Silo
tak tahu dari mana munculnya ide nama itu, barangkali dari bus yang pernah
dilihatnya di jalan raya: besar, mengilat, dan cepat. Menurutnya, nama
“Tunggal” juga tak apa, apalagi itu bukan nama pasaran. Harapannya, sebelum
menjelma jadi merpati, bapaknya punya karakter yang sama dengan bus yang sering
dipikirkannya itu.
Silo
membawa bapaknya pulang, memasukkan ke kardus bekas mi, menyusul ibunya yang
sudah lebih dulu tinggal di dalamnya. “Bapak Tunggal dan Ibu Ika, yang rukun,
ya?”
Tahu
Silo membawa pulang merpati lagi, Tante Nelly memberi kandang tak terpakai. Beo
peninggalan suaminya sudah dua tahun mati, menyusul tuannya yang tamat oleh
diabetes sebulan sebelumnya. Janda tanpa anak itu ingin kebahagiaan Silo
menular kepadanya.
Sejak
neneknya meninggal, Silo tinggal dengan empat kawannya di kolong jembatan:
berbagi makanan, cerita, juga impian. Namun, setelah punya bapak-ibu lagi, Silo sibuk dengan kegiatan
barunya: mendengarkan dekutan kedua merpatinya. Teman-temannya mulai
merindukan, Silo yang termuda, masih lugu, kadang naif, ada tompel di dadanya,
berbentuk mirip bintang segi lima.
“Kata
orang-orang, ibu Silo tewas terpanggang di Plaza Yogya waktu kerusuhan dulu,” ucap
Makmur, sudah dua tahun ini pergi dari rumah, belum ingin pulang ke keluarganya
yang tergolong kaya di Banten sana.
“Biarkan
saja, yang penting Silo bahagia,” sahut Santoso kalem. Selama ini dia yang jadi
penengah saat teman-temannya berebut wilayah pencarian sampah.
“Silo
akan kembali ke sini. Tak bakal betah tinggal di rumah itu sendiri,” Ponco ikut
memberikan pendapat. Orangnya senang mengalah, sangat suka bermusyawarah, tentang apa saja. Misalnya siapa yang
mendapat giliran pertama masuk wc saat mereka sama-sama kebelet.
“Kalau
kembali ke sini, akan kita urus,” kata Joyo sambil mengembuskan asap rokoknya.
Di antara empat anak lain dia yang paling berani, para preman takut pada
gelandangan yang satu ini.
Di
rumah bedengnya, Silo sibuk merawat bapak-ibunya. Sementara dia tidak memulung
dulu, masih punya sedikit uang. Apalagi dia sudah terbiasa menahan laparnya. Juga,
kadang ada tetangga yang mengirimi roti, atau sayur dan nasi basi.
Bocah
itu menjatah makan bapak-ibunya sehari dua kali, berupa pipilan jagung, mengisi
air pada wadah dari bekas botol air mineral itu setiap kali, dan membersihkan
kotorannya setiap pagi. Bapak-ibunya gemuk dan tampak gembira. Mestinya betah
dan tak berpikiran untuk pergi lagi.
Pagi
itu, belum juga matahari menampakkan sinarnya, orang-orang yang tinggal di kawasan bekas empang
itu dikejutkan oleh pekikan yang menyayat hati. Malam tadi hujan dibarengi
angin melanda Jakarta, Silo abai membawa masuk bapak-ibunya, dan kandang yang
mencantol pada paku di usuk bambu rapuh itu terhempas. Jendela kecil itu
membuka, penghuninya lenyap tak tentu rimbanya.
Silo
meratap-ratap, erat memeluk kandang yang
tidak ada isinya itu.
Tubuh kecil kurusnya bergetar-getar seperti mobil yang mati salah satu businya.
Birun, tetangga dekat, hanya sejenak melihat, ingin tahu, lalu meneruskan
kesibukannya: membersihkan motor ojeknya. Mbok Ginah, tetangga dekat lain,
melongokkan leher sebentar, lalu meneruskan mencuci. Dia sudah tinggal di
kawasan kumuh itu lima belas tahun, tangisan seperti itu sudah terlalu sering
didengarnya.
Hanya
Tante Nelly yang mendekat, memeluk Silo, coba membujuki, seolah bisa merasakan
betapa pedihnya kehilangan orang
tercinta. “Cup, cup! Bapak-ibumu pasti segera kembali.”
Setelah
tangisnya reda, Silo ke kolong jembatan lagi. Ucapan Tante Nelly hanya menambah
rasa kehilangannya saja, sama seperti yang sudah sering dilakukan neneknya.
Semasa masih hidup, dia sudah sering bertanya kapan bapak-ibunya pulang, tapi
jawaban sang nenek serba tak pasti.
“Besok
kalau kamu sudah bisa ngaji,” kata si nenek suatu hari.
Silo
lalu rajin ke Musala Al Amin tak jauh dari rumah, belajar alif,
bak, tak,…
pada Ustad Zamroni, dilanjutkan Juzz Amma, dimulai dengan
surat-surat pendek. Dia sudah bisa membaca dan hafal sepuluh surat, tapi bapak-ibunya tetap tak pulang.
“Nanti
kalau kamu sudah pandai,” jawab si nenek waktu ditagih janjinya.
Silo
yang bersekolah di SD negeri, tak jauh dari stasiun kereta api, rajin belajar,
tak pernah membolos, hormat pada guru, tapi hanya tahan sampai kelas V. Saat
menyadari sang nenek tak bisa dipegang ucapannya, dia tak mau melanjutkan
sekolah lagi.
“Nanti
setelah kamu sunat.” Itu janji terakhir sang nenek, seminggu kemudian tipus
menyerang usus halusnya, nyawanya tak tertolong.
Saat empat kawanan itu pulang dari menyetorkan
hasil pulungan mereka ke Pak Sakerah yang orang Madura, mereka melihat mendung
menggayut di wajah Silo. Terlihat sembab, pada kedua sudut mata itu masih
tersisa tangisnya.
“Bapak-ibuku
lepas,” ucap Silo tanpa ditanya.
“Lepas?
Kok bisa?” tanya Santoso.
“Hujan
semalam membuat kandangnya terpelanting, jendelanya terbuka.”
“Tangkap
saja merpati lain! Kita akan bantu,” Makmur menepuk-nepuk pundak Silo.
“Merpati
itu bukan merpati biasa. Mereka bapak-ibuku.”
“Dari
mana kamu tahu?” tanya Ponco.
“Aku
tidak tahu, tapi bisa merasakannya.”
“Terus,
ke mana kamu akan mencari mereka?” tanya Joyo.
“Aku
tak tahu. Sementara kutunggu di sini saja, siapa tahu Bapak Ibuku kembali.”
Bocah
itu tidur di kolong jembatan lagi, empat temannya membiarkan, bisa merasakan
yang sedang Silo rasakan, mereka juga pernah mengalami. Berangkat pagi pulang
sore, mereka mencari botol bekas di Pasar Klender, bak sampah di sekitar Jalan
Pahlawan Revolusi, sesekali ke perumahan elite di belakang Ramayana,
sembunyi-sembunyi seperti maling, takut ketahuan
satpam.
Sudah
seminggu Silo menunggu, tapi bapak-ibunya tak pernah ke kolong jembatan itu
lagi. Saat sepi di pagi hari, sebelum
para pedagang datang, ada juga beberapa merpati mengais-ngais sampah, mencari
makanan, tapi bukan bapak-ibunya.
Dalam
beberapa kesempatan, Silo telah mencarinya di jalanan, sungai, selokan,
lapangan, tempat parkir pertokoan, juga tempat lain, tapi merpati jelmaan
bapak-ibunya itu tidak ada. Dari puluhan atau jutaan merpati di dunia ini, dia
pasti bisa mengenali, sudah dia beri tanda pada lehernya, berupa pita, sewarna
dengan bendera.
Kajen,
4 Desember 2012
------------------------------------------------------------------------------------
Dewanto Amin Sadono, Pemenang Harapan I Sayembara Penulisan Cerpen Bermuatan Lokal bagi
Guru Jawa Tengah 2020.