Sabtu, 16 Januari 2021

Puisi-puisi Joe Hasan

BY editor IN No comments

Puisi-puisi Joe Hasan

 


Perahu Puisi

 

perahu puisi

berlayar pelan

dari hitam ke putih

lalu kembali ke pulau ibu

bersujud kemudian menyembah doa

meratapi air mata

untuk lanjut berlayar ke kota asing

mencari ujung langit

 

rabahi hampir seluruh ragam lisan

kini ber-Jawa, dulu Papua

puisi itu berlayar tenang

tanpa suruhan. tanpa gelombang

ikan-ikan masih menari di telapak bapak

yang hampir hilang oleh keringat

samudera terlewati

pulau demi pulau

ia tertidur

bertanya pada anak-anak langit

kemana kita kan pulang


ke rumah garuda

 

      (Bau-Bau, 2020)

 

 

 

Sunyi

 

bukan karena aku suka bertahan dalam sunyi

adalah renungan

di dalam sana aku mendapati diriku yang lama

yang sering bercakap dengan angin

pantai yang sudah berulang kali kudatangi

 

bukankah kita semua butuh sunyi

pada waktu-waktu tertentu

sunyi berbicara dalam hati

menemuimu

menemuiku

diri yang tanggal satu persatu

 

aku menunggu datangnya

akhirnya kuakui

diriku menyerah

kau mengetuk pintu pelan

memutar film kartun kesayangan

kita bersama menikmati

sunyi yang membunuh

 

      (Bau-Bau,  2020)

 

 

 

 

Perempuan Malam

 

perempuan malam

datang membeli hati

cuma sebentar saja

lalu pulang

tanpa membawa apa-apa

aku ingat sesuatu

di matanya tertulis kenangan

tentang lelaki malang

di matanya kulihat aku

yang terkurung kekal

 

   (Bau-Bau, 2020)

 

 

 

Biodata Singkat

          Joe Hasan, lahir di Ambon pada 22 Februari. Kini Berdomisili di Surabaya, Jawa Timur.   Beberapa puisinya pernah dimuat di media lokal dan nasional.

 

Kamis, 14 Januari 2021

Sepasang Merpati Berpita pada Lehernya

BY Agus Pribadi IN No comments

 

pixabay.com

Cerpen Dewanto Amin Sadono

 

Pagi itu, di kolong Jembatan Klender, Silo menemukan merpati putih, cakar kanannya terjerat rafia, bergelepar-gelepar saat ditangkap, bulu-bulu halusnya berceceran pada tumpukan sampah.

“Aku ketemu ibuku! aku menemukan ibuku,” teriak bocah sepuluh tahun itu, matanya berpijar-pijar seperti kilatan kembang api pada malam tahun baru.

Kata neneknya, ibunya berubah jadi merpati setelah dua minggu melahirkannya, menggeliat-geliat sebentar di pembaringan, lalu terbang melewati jendela, tak pernah pulang. Hanya itu cerita yang dia dengar tentang ibunya. Neneknya pergi setahun lalu, tak berubah jadi merpati, tapi diarak dalam peti mati.

Empat gelandangan yang sedang bersiap memulung plastik bekas itu segera mendekat. Silo sedang bersandar pada tiang pancang jembatan penuh grafiti warna-warni, lagi berbincang-bincang dengan ibunya.

Soal ibunya yang berubah wujud menjadi merpati, Silo sering bercerita, mereka percaya tak percaya. Dalam dongeng ada juga kisah seperti itu, hanya saja tidak menjadi merpati: Roro Jonggrang menjelma menjadi arca, Malin Kundang menjadi batu berbentuk perahu.

Yang mereka pahami, perubahan wujud itu akibat kutukan, tak tahu apakah ibu Silo telah dikutuk juga, atau siapa pengutuknya. Mereka tak ingin tahu, tak mau merusak suasana. Baru setahun ini Silo menggelandang, masih butuh waktu lama agar bisa menjadi gelandangan sejati, gelandangan yang setangguh batu kali.

“Kamu nemu di mana? Aku juga ingin punya ibu,” ucap Santoso, membelai kepala merpati itu.

Remaja berkulit putih berambut gimbal itu ditemukan orang tua angkatnya lima belas tahun lalu di Alun-Alun Wonogiri saat Valentine Day. Bayi merah itu sedang menangis di bawah pohon beringin, terselip di antara akarnya: lapar dan kedinginan, kulitnya bentol-bentol bekas gigitan nyamuk.

Bayi seminggu itu hanya berpopok, bertuliskan namanya dengan spidol hitam, dan hanya nama dan popok itulah peninggalan orang tuanya. Bapak angkatnya yang tukang becak hanya sanggup membiayai sampai kelas dua SMP. Selanjutnya, Santoso merantau ke Jakarta, kota yang punya segalanya walaupun ternyata bukan untuknya.

“Duh, senangnya yang nemu ibu,” ujar Ponco, tangan kanannya menyentuh sayap si merpati.

Dia anak kelima dari enam bersaudara, lahir empat belas tahun lalu, kulitnya hitam, bertinggi sedang, pada pergelangan kanannya melingkar gelang rantai yang dia beli di Pasar Manggarai. Ponco sudah tak beribu, bapaknya kawin lagi, dan dia pilih pergi, menyusul jejak kakak-kakaknya yang bertebaran di seluruh Nusantara.

“O, ini ibumu,” kata Joyo, badannya penuh tato, kepala banteng itu terpahat di dadanya, diapit penyanyi dangdut dan daun ganja. Sebelum jadi pemulung, dia pencopet di bus Kopaja, kapok setelah ditangkap dan digebuki korbannya yang ternyata polisi.

Setelah sang ibu meninggal kena kolera, remaja pendek gempal itu meninggalkan Blora, belum pernah pulang. Dia tak tahu siapa bapaknya. Saat ditanya, ibunya marah,“Bapakmu ...,” umpat sang ibu dalam bahasa Jawa. Joyo tak yakin itu. Buktinya dia tak suka menggonggong dan tak bisa melolong.

“Tuh, ibumu berak,” Makmur batal meraba ekor si burung, cairan bening mirip oli itu keluar dari lubang pantatnya.

Anak kelahiran Banten enam belas tahun lalu itu terdampar di ibu kota usai tamat SMP. Kulit mukanya bersih, bapaknya juragan padi, ibunya pengepul kapas, tapi dia ingin menjadi dirinya sendiri.

Silo membawa si merpati ke rumah peninggalan sang nenek. Rumah papan di belakang Pasar Klender itu seukuran kandang kambing, bolong di sana-sini, berminggu-minggu tak ditempati. Hanya tersisa kasur kapuk sekeras bantalan kereta api pada kamar satu-satunya, kompor minyak tak bersumbu di dapur yang pesing oleh kencing tikus, serta perabotan yang sedang dihancurkan rayap di ruang tamu.

Ada tetangganya yang cantik, suka menyapa saat hendak ke SMA. Silo tak tahu nama sang ibu, neneknya tak pernah memberitahu. Merpati itu dinamainya Ika, dia yakin sang ibu tak kalah cantiknya. “Bu Ika, jangan pergi lagi, ya? Temani Silo!”

Para tetangga yang kebetulan mendengar ucapan itu hanya tersenyum sambil mengelus dada. Sejarah keluarga Silo bagai tayangan telenovela: penuh tangisan dan lelehan air mata. Anak malang belum disunat itu boleh melakukan apa saja, dan mereka tak akan menganggapnya gila.

Pagi-pagi, Silo meninggalkan rumah. “Aku akan mencari bapakku,” katanya pada para tetangga yang dia temui di sepanjang jalan. Belum juga berumur setahun, sang bapak menyusul ibunya, dan tentang cara perginya sang nenek mengatakan hal yang sama, yang beda waktunya: ibunya pagi, bapaknya malam.

“Semoga ketemu, suruh menemani ibumu di kardus itu!” balas Mang Sapar, dia sedang bersiap ke pangkalan, becak belum lunas cicilannya itu terparkir di dekat selokan yang hitam dan bau tinja. Pada dashboardnya terpampang tulisan Sri Rejeki, warnanya merah darah.

“Nanti dibawa pulang, ya? Jangan dipanggang!” teriak Pak Sobri, tukang permak pakaian yang buka praktik di rumah kontrakannya. Kadang nyambi jadi tukang parkir jika orderan lagi sepi.

Silo ke kolong jembatan itu lagi, siapa tahu bapaknya sedang mencari-cari ibunya. Pagi sampai sore kolong seluas lapangan futsal itu jatah bagi para pkl, berjualan makanan, minuman, celana dalam wanita. Sering kali para pengemis ikut menyela, menadahkan tangan, menyuarakan ratapan, mendayu-dayu tak ubahnya lagu-lagu Melayu.

Malamnya, barulah berganti penghuninya. Para gelandangan bermunculan dari segala arah, bertebaran di seluruh sudut kolong. Seperti ikan asin sedang diangin-anginkan, mereka bergelimpangan di atas tikar plastik dan koran bekas.

Layaknya hotel yang biasanya bernama, jembatan itu pun punya, tentu saja selain nama resminya. Para gelandangan menyebutnya jembatan merdeka.

Pada Perang Kemerdekaan, Klender merupakan daerah kekuasaan Haji Darip, jagoan Betawi yang telah membuat tentara Jepang dan Belanda lari terkencing-kencing. Bahkan, bisa jadi jembatan layang itu dibangun di atas kebun singkong milik jawara asli Klender itu. Dan, para gelandangan itu merayakan kemerdekaan dengan cara yang mereka tahu: menempati tanah di kolong Jembatan Klender itu dengan merdeka.

Keempat kawannya sudah berangkat memulung, beberapa pedagang sedang menyiapkan dagangannya. Silo menuju ke tumpukan sampah tempat dia menemukan ibunya sehari lalu. Sama seperti kemarin, hari itu pun Silo sedang dilimpahi rezeki. Ada tiga merpati di tempat itu, tapi dia sudah tahu yang mana bapaknya: berwarna megan, bagian sayap berstrip hitam, berbadan besar.

Setelah lima menit mengendap-endap, merpati yang lagi asyik mematuk-matuk sayuran busuk itu bisa dia sergap, gerakannya seolah kiper sedang menangkap bola. Bapaknya berjenggirat, berkepak-kepak coba melepaskan diri, tapi Silo segera membujuki, “Ini Silo, Pak. Ibu sudah di rumah.”

Silo tak tahu dari mana munculnya ide nama itu, barangkali dari bus yang pernah dilihatnya di jalan raya: besar, mengilat, dan cepat. Menurutnya, nama “Tunggal” juga tak apa, apalagi itu bukan nama pasaran. Harapannya, sebelum menjelma jadi merpati, bapaknya punya karakter yang sama dengan bus yang sering dipikirkannya itu.

Silo membawa bapaknya pulang, memasukkan ke kardus bekas mi, menyusul ibunya yang sudah lebih dulu tinggal di dalamnya. “Bapak Tunggal dan Ibu Ika, yang rukun, ya?”

Tahu Silo membawa pulang merpati lagi, Tante Nelly memberi kandang tak terpakai. Beo peninggalan suaminya sudah dua tahun mati, menyusul tuannya yang tamat oleh diabetes sebulan sebelumnya. Janda tanpa anak itu ingin kebahagiaan Silo menular kepadanya.

Sejak neneknya meninggal, Silo tinggal dengan empat kawannya di kolong jembatan: berbagi makanan, cerita, juga impian. Namun, setelah punya bapak-ibu lagi, Silo sibuk dengan kegiatan barunya: mendengarkan dekutan kedua merpatinya. Teman-temannya mulai merindukan, Silo yang termuda, masih lugu, kadang naif, ada tompel di dadanya, berbentuk mirip bintang segi lima.

“Kata orang-orang, ibu Silo tewas terpanggang di Plaza Yogya waktu kerusuhan dulu,” ucap Makmur, sudah dua tahun ini pergi dari rumah, belum ingin pulang ke keluarganya yang tergolong kaya di Banten sana.

“Biarkan saja, yang penting Silo bahagia,” sahut Santoso kalem. Selama ini dia yang jadi penengah saat teman-temannya berebut wilayah pencarian sampah.

“Silo akan kembali ke sini. Tak bakal betah tinggal di rumah itu sendiri,” Ponco ikut memberikan pendapat. Orangnya senang mengalah, sangat suka bermusyawarah, tentang apa saja. Misalnya siapa yang mendapat giliran pertama masuk wc saat mereka sama-sama kebelet.

“Kalau kembali ke sini, akan kita urus,” kata Joyo sambil mengembuskan asap rokoknya. Di antara empat anak lain dia yang paling berani, para preman takut pada gelandangan yang satu ini.

Di rumah bedengnya, Silo sibuk merawat bapak-ibunya. Sementara dia tidak memulung dulu, masih punya sedikit uang. Apalagi dia sudah terbiasa menahan laparnya. Juga, kadang ada tetangga yang mengirimi roti, atau sayur dan nasi basi.

Bocah itu menjatah makan bapak-ibunya sehari dua kali, berupa pipilan jagung, mengisi air pada wadah dari bekas botol air mineral itu setiap kali, dan membersihkan kotorannya setiap pagi. Bapak-ibunya gemuk dan tampak gembira. Mestinya betah dan tak berpikiran untuk pergi lagi.

Pagi itu, belum juga matahari menampakkan sinarnya, orang-orang yang tinggal di kawasan bekas empang itu dikejutkan oleh pekikan yang menyayat hati. Malam tadi hujan dibarengi angin melanda Jakarta, Silo abai membawa masuk bapak-ibunya, dan kandang yang mencantol pada paku di usuk bambu rapuh itu terhempas. Jendela kecil itu membuka, penghuninya lenyap tak tentu rimbanya.

Silo meratap-ratap, erat memeluk kandang yang tidak ada isinya itu. Tubuh kecil kurusnya bergetar-getar seperti mobil yang mati salah satu businya. Birun, tetangga dekat, hanya sejenak melihat, ingin tahu, lalu meneruskan kesibukannya: membersihkan motor ojeknya. Mbok Ginah, tetangga dekat lain, melongokkan leher sebentar, lalu meneruskan mencuci. Dia sudah tinggal di kawasan kumuh itu lima belas tahun, tangisan seperti itu sudah terlalu sering didengarnya.

Hanya Tante Nelly yang mendekat, memeluk Silo, coba membujuki, seolah bisa merasakan betapa pedihnya kehilangan orang tercinta. “Cup, cup! Bapak-ibumu pasti segera kembali.”

Setelah tangisnya reda, Silo ke kolong jembatan lagi. Ucapan Tante Nelly hanya menambah rasa kehilangannya saja, sama seperti yang sudah sering dilakukan neneknya. Semasa masih hidup, dia sudah sering bertanya kapan bapak-ibunya pulang, tapi jawaban sang nenek serba tak pasti.

“Besok kalau kamu sudah bisa ngaji,” kata si nenek suatu hari.

Silo lalu rajin ke Musala Al Amin tak jauh dari rumah, belajar alif, bak, tak,… pada Ustad Zamroni, dilanjutkan Juzz Amma, dimulai dengan surat-surat pendek. Dia sudah bisa membaca dan hafal sepuluh surat, tapi bapak-ibunya tetap tak pulang.

“Nanti kalau kamu sudah pandai,” jawab si nenek waktu ditagih janjinya.

Silo yang bersekolah di SD negeri, tak jauh dari stasiun kereta api, rajin belajar, tak pernah membolos, hormat pada guru, tapi hanya tahan sampai kelas V. Saat menyadari sang nenek tak bisa dipegang ucapannya, dia tak mau melanjutkan sekolah lagi.

“Nanti setelah kamu sunat.” Itu janji terakhir sang nenek, seminggu kemudian tipus menyerang usus halusnya, nyawanya tak tertolong.

 Saat empat kawanan itu pulang dari menyetorkan hasil pulungan mereka ke Pak Sakerah yang orang Madura, mereka melihat mendung menggayut di wajah Silo. Terlihat sembab, pada kedua sudut mata itu masih tersisa tangisnya.

“Bapak-ibuku lepas,” ucap Silo tanpa ditanya.

“Lepas? Kok bisa?” tanya Santoso.

“Hujan semalam membuat kandangnya terpelanting, jendelanya terbuka.”

“Tangkap saja merpati lain! Kita akan bantu,” Makmur menepuk-nepuk pundak Silo.

“Merpati itu bukan merpati biasa. Mereka bapak-ibuku.”

“Dari mana kamu tahu?” tanya Ponco.

“Aku tidak tahu, tapi bisa merasakannya.”

“Terus, ke mana kamu akan mencari mereka?” tanya Joyo.

“Aku tak tahu. Sementara kutunggu di sini saja, siapa tahu Bapak Ibuku kembali.”

Bocah itu tidur di kolong jembatan lagi, empat temannya membiarkan, bisa merasakan yang sedang Silo rasakan, mereka juga pernah mengalami. Berangkat pagi pulang sore, mereka mencari botol bekas di Pasar Klender, bak sampah di sekitar Jalan Pahlawan Revolusi, sesekali ke perumahan elite di belakang Ramayana, sembunyi-sembunyi seperti maling, takut ketahuan satpam.

Sudah seminggu Silo menunggu, tapi bapak-ibunya tak pernah ke kolong jembatan itu lagi. Saat sepi di pagi hari, sebelum para pedagang datang, ada juga beberapa merpati mengais-ngais sampah, mencari makanan, tapi bukan bapak-ibunya.

Dalam beberapa kesempatan, Silo telah mencarinya di jalanan, sungai, selokan, lapangan, tempat parkir pertokoan, juga tempat lain, tapi merpati jelmaan bapak-ibunya itu tidak ada. Dari puluhan atau jutaan merpati di dunia ini, dia pasti bisa mengenali, sudah dia beri tanda pada lehernya, berupa pita, sewarna dengan bendera.

 

Kajen, 4 Desember 2012

------------------------------------------------------------------------------------ 

Dewanto Amin Sadono, Pemenang Harapan I Sayembara Penulisan Cerpen Bermuatan Lokal bagi Guru Jawa Tengah 2020.