Sabtu, 12 Desember 2020

Puisi-puisi Ryan Rachman

BY editor IN No comments

Puisi-puisi Ryan Rachman



Melankolia Kutabawa

- Di Kutabawa Flower Garden

 

Kemarilah sayang!

Bunga-bunga yang bergelora

Merobek gigil kaki Gunung Slamet

Lewat desah arabika

Mari kita hitung aromanya

Betapa kita telah lupa

Bagaimana cara membunuh akhir pekan

Tentang liburan kecil dan meredam luka

 

Kemarilah sayang!

Kita sambut arak-arakan kabut

Membungkus semelet baskara

Betapa kita telah lupa

Bagaimana menuntaskan rindu spektakuler

Pada rapuh kelopak marun begonia

 

Kemarilah sayang!

 

Kaki Gunung Slamet, Purbalingga Desember 2020

 

 

Elegi Kutabawa

 

Maka datanglah bersama aroma daun seledri

Dari balik lebam samirana dan samadi ardi

Matamu yang ranum bergemantung resah

Kesah tentang para tengkulak pongah

Menyemai cemas dalam jerat rupiah

 

Daun cesim berkibar memberi kabar

Perihal bunga kubis yang harganya miris

Derai air mata tomat diseka wortel sekarat

Dengarlah akar kentang berghibah pada daun bawang

 

Harusnya tanah subur petani makmur

Harusnya panen raya petani kaya

 

Sungguh, itu hanya jadi seharusnya

Rupiah melimpah menjadi mimpi

Tak terjangkau seperti elang membumbung angkasa

Tak terasa seperti keringat meleleh di dahi

 

Kaki Gunung Slamet Purbalingga, November-Desember 2020

 

 

Tafakur Daun-Daun

 

Diam-diam

Tak perlu memberi tahu

Pada lirih angin

Pada rinai hujan

Pada bisik malam

Pada gigil kabut

Pada telingamu

 

Diam-diam

Menggema penjuru langit

 

Gunung Slamet Purbalingga, Desember 2020


 

Merayakan Rindu

- Saladin Ayyubi

 

Bersepedalah keliling pinggiran kota

Pagi ini kabut begitu gemas

Kau kan mendapati lampu jalan

Perlahan meredup muram

Di bawah bulan separuh

Malas pulang ke haribaan

Keduanya bersitatap

Perihal rindu pada gelap

Dan lengking serangga malam

 

Bersepedalah keliling pinggiran kota

Baskara yang menebar pesona

Dalam diam menginvasi rumputan

Pagi ini embun begitu cemas

Bilakah tanah tak lagi basah

 

Kaki Gunung Slamet Purbalingga 2020

 

 

Mengetuk Pintu

 

Itu detak jarum jam terlalu berisik. Desahnya mencuri khusyuk di kelopak doa-doa. Padahal aku sudah mengemasnya bersama gigil udara sepertiga malam. Berharap dapat berlari dari buruj ke buruj. Datang ke halaman rumah dan mengetuk pintuMu.

Tapi itu detak jarum jam terlalu berisik. Desaunya membungkam serangga malam. Tak tik tak tik membutakan peta. Hingga hati berprasangka. Bilakah doa-doa diterima dengan tanganMu.

 

Kaki Gunung Slamet, Purbalingga 2020


 

Ryan Rachman, lahir di Kebumen, 12 Januari 1985. Tinggal di kaki Gunung Slamet, Bumisari, Bojongsari, Kab. Purbalingga. Alumni Fakultas Ilmu Budaya UNSOED Purwokerto. Bergiat di Komunitas Teater Sastra Perwira (KATASAPA) Purbalingga, LESBUMI Purbalingga dan Dewan Kesenian Daerah Purbalingga. Karyanya berupa cerpen dan puisi dimuat di berbagai media massa dan buku antologi. Baru-baru ini mendapatkan penghargaan sebagai salah satu penerima Anargya Serayu Penawara, sebuah penghargaan karya sastra Banyumas Raya.

Antara Ayah dan Suamiku

BY Agus Pribadi IN 1 comment

 

pixabay.com

Cerpen Han Gagas


Hawa dingin langsung menggigit pori-pori kulit Mery ketika tangannya membuka daun jendela. Angin malam menghempas wajahnya yang menekuk sedih. Suaminya tidur dalam dengkur yang teratur. Anak-anak lelap di kamarnya masing-masing. Mery tak bisa memejamkan mata. Tubuhnya sebenarnya lelah karena seharian mengurusi dapur dan kebersihan rumah, namun karena pikirannya yang gelisah membuatnya tak bisa tidur.

Dahulu, setiap membuka daun jendela sepasang matanya bisa menatap rembulan yang bercokol di langit malam dengan bintang-bintang yang berkilau bagai berlian. Awan-awan tipis menggumpal berjajaran, sinar bulan meneranginya membuatnya serupa kapas-kapas yang lembut beriringan.

Sungguh kenapa aku tak mampu seperti kalian. Kenapa aku tak selalu bisa menjadi kapas yang ringan …, batinnya sedih.

Mery merasakan kulitnya berangsur dingin oleh semilir angin malam, ia menolehkan kepalanya menatap jam yang beranjak tua, tak menyadari bahwa langkah-langkahnya telah menyeretnya hingga sejauh ini, ke situasi hatinya yang tak lagi ia kenali, rasanya semua terasa samar-samar.

Kini awan tak lagi ada di sana, bintang-bintang yang berkelap-kerlip telah berganti dengan lampu-lampu dari kamar-kamar, dan bulan tak pernah tampak, apartemen yang tinggi itu telah menelannya. Sosok bangunannya yang tinggi bagai raksasa modern yang menguasai semesta. Andai bisa melihat rembulan dan ribuan kerlip bintang, galaunya sedikit terusir, setidaknya ia sedikit terhibur menatap keindahan malam yang menawan. Kini, ia tak mampu lagi memeroleh sesuatu yang bisa membawanya pergi dari perasaan sunyi ini.

Entah kenapa selalu saja ada kekosongan yang melubangi hatiku setiap malam atau senja yang katamu romantis itu, anak-anak tiada di rumah atau tengah lelap, dan kau, suamiku, menarikku dalam gerakan-gerakan tubuh yang rahasia bagi anak-anak. Gerakan-gerakan tubuh yang tak sekalipun menjauhkanku pergi dari kehampaan ini.”

Senja juga tak lagi bisa aku kenali. Sesuatu yang mengobati hatiku ketika menatap ufuk barat yang kemerahan telah lenyap ditelan sosok besar itu. Termasuk sosok ayah yang menenteng senapan burung atau alat pancing berjalan ke barat dalam lautan merahnya senja seperti hendak menaklukkan gunung yang menjulang di sana.

Ya, puncak Gunung Merapi yang bermantel cahaya merah dari matahari, menyelinap dan menerobos gumpalan awan-awan, garis-garis cahaya yang menghunjam kaki-kaki langit terus melaju hingga ke kaki gunung, dan menghamparkan merahnya senja itu hingga di jalanan aspal di seberang halaman rumah.

Senja menyepuh emas di barat sana, membentuk gelombang patahan-patahan awan, dan lapisan-lapisan emas merah di atas gunung. Merapi tengah bermandikan cahaya. Sesekali larik-larik putih merobek lanskap langit memerah itu, burung-burung kuntul terbang menyeberang angkasa, hijrah, menempuh perjalanan yang jauh. Dan yang paling menakjubkan adalah ketika melihat ribuan kelelawar terbang menerobos jendela-jendela di gudang tua di sudut perempatan jalan, berhamburan, ketika merah berubah jadi kelabu, dan gelap berangsur-angsur turun, ribuan kelelawar berdericit terbang lepas menyerbu langit kelam dalam latar Gunung Merapi yang mulai samar-samar menghilang.

Semua yang tampak di mataku adalah lautan cahaya senja dengan ayah di dalamnya.

Ayah kenapa kau terlalu lekas pergi?

***

“Ayah berharap kau menemukan lelaki yang tepat anakku …” Baru pertama kali sepanjang usiaku hingga hampir kepala tiga puluh ini, mendengar nada suara ayah yang ragu dan dipenuhi kecemasan. Intonasi suara dan nada yang ditimbulkan, bunyinya seperti debur ombak yang disapu badai. Untuk kali pertama juga, ia tak memandangku ketika berbicara, melemparkan matanya pada sore yang tiada senja itu karena mendung membawa pesan hujan. Kenapa senja yang penuh angin itu lebih ia sukai ketimbang menatap mata anaknya yang diluapi perasaan rindu yang membumbung tinggi.

“Apakah ayah sakit?”

“Jangan khawatirkan ayah, esok ketika sore tak lagi mendung dan senja kembali hangat, ayah pasti akan baik-baik saja.”

Untuk sekian detik, aku merasa ayah tak baik-baik saja namun bel rumah telah berbunyi, calon suamiku pasti yang telah memencetnya.

Sore yang mendung itu, ia beserta ayahnya –seorang lelaki tua kurus dan botak yang terlalu sulit tertawa dan tampak tak istimewa – melamarku, dan ayah dalam nada yang terdengar samar mengiyakan pinangan itu. Aku lega, dan bahagia. Lelaki pujaan yang tampan dengan wajah yang bercahaya itu, dengan rambut yang selalu rapi kelimis, kumis yang berjajar rapi, dan bahu yang bidang, walau gerakannya tampak sedikit kaku, selalu membuat jantungku berdetak kencang.

***

Angin malam menampar muka Mery, membuatnya kembali dari bayangan  masa lalunya yang kerap datang saat ia merasa sendiri. Apakah suara pecah ayah dan matanya yang nampak gelisah itu sebenarnya hendak berkata tidak, padaku?

Dari hari ke hari, ayah makin banyak diam, apakah itu hanya perasaanku saja, bukankah mungkin karena senja tak lagi ada karena tak tampak dari beranda rumah kami; lapis demi lapis apartemen itu menutupnya perlahan-lahan, senja telah pergi, juga puncak Merapi yang agung itu, dan suamiku membawaku pindah ke rumah susun di sebelah apartemen itu; segalanya membuat ayah seperti dirundung kesedihan.

Di lantai tiga rusun yang berantakan ini, dari sini aku bisa memandang ayah di kejauhan sana yang tengah menjemur pakaiannya, menjemurnya di kawat-kawat yang berjajar di samping rumah. Berusaha sepagi mungkin dijemur, agar sinar matahari masih bisa mengeringkannya karena agak siang sudah terhalang bangunan apartemen.

Ayah tampak bergerak begitu pelan.

“Ayahmu lebih memilih tinggal di rumah itu, Mery. Sedang aku tak mampu hidup di sana, tolong, mengertilah ...

Demikianlah, untuk pertama kali dalam hidupnya, Mery seperti ditempatkan pada dua pilihan yang amat sulit, yang pada akhirnya dia harus mengkhianati perasaan ayah. Untuk pertama kalinya, dia dipaksa untuk memilih jalan yang tak dia sukai.

“Bukankah senja sudah tak nampak lagi, ayah. Dari rumah susun bukankah ayah kembali bisa menikmati senja ...”

“Memang benar, tapi setiap sudut dalam rumah ini selalu memantulkan bayang ibu dan kamu yang tak mampu aku lupakan. Setiap sore kau menyapu halaman yang penuh dengan serakan daun-daun kering sambil menikmati guyuran cahaya senja yang melimpah, setiap saat kau membersihkan setiap benda di dalam rumah ini, kau duduk di kursi belajarmu, atau menatap televisi, menyirami bunga-bunga kamboja kita, sedang ibu membikin sambal pedas di dapur, mengangkat jemuranku dan melipat satu persatu dengan rapi lalu menyeterikanya, dan aku rasa kenangan itu lebih dari cukup untuk mengobati rasa rinduku pada kalian …”

“Kita kan dekat ayah. Aku akan sering mengunjungi ayah.

Ayah melepasku pergi dengan gerak yang samar, hanya yang selalu membuatku termangu ragu adalah: sorot matanya yang enggan menatap mataku.

***

Lama-lama Mery merasakan tulangnya seperti dilolosi: tertusuki jarum hawa dingin menjelang dini hari itu, jam masih pukul tiga, matanya benar-benar tak mengantuk. Suaminya mendengkur keras, anak-anaknya tengah pulas. Suara cicak membuatnya tersadar bahwa lalu lintas bayangannya tentang ayah tak juga benar-benar pergi.

Walau kini rumah itu tiada nampak lagi -pemerintah kota telah menggusurnya untuk dibangun pusat pertokoan- tetapi tetap saja bayangannya, dirinya bersama ayah, ibu, dan segala benda dan tanaman di sana, tak juga bisa dilupakannya. Rumah telah ambruk sesaat sebelum ayah pingsan yang dengan segera digotong para tetangga ke rumah sakit.

Bayangan-bayangan datang silih berganti sepanjang aku berlari ke rumah sakit, dan waktu tak pernah bersahabat denganku, ketika aku datang, seorang perawat telah menutupkan tirai putih di atas mukanya. Aku menangis keras, tiba-tiba aku merasa sangat bersalah dan jadi anak yang paling tak berguna.”

           

            [2020]

 -------------------------------------------------------------------------

Han Gagas, penulis kumpulan cerpen “Catatan Orang Gila” (Gramedia Pustaka Utama, 2014) dan novel “Orang-orang Gila” (Buku Mojok, 2018).

https://id.wikipedia.org/wiki/Han_Gagas