pixabay.com
Cerpen Han Gagas
Hawa dingin langsung
menggigit pori-pori kulit
Mery ketika tangannya membuka daun jendela. Angin malam menghempas wajahnya
yang menekuk sedih. Suaminya
tidur dalam dengkur
yang teratur. Anak-anak
lelap di kamarnya masing-masing. Mery tak bisa memejamkan mata.
Tubuhnya sebenarnya lelah karena
seharian mengurusi dapur dan kebersihan rumah, namun karena pikirannya yang
gelisah membuatnya tak
bisa tidur.
Dahulu, setiap membuka daun jendela sepasang matanya bisa menatap rembulan yang
bercokol di langit malam dengan
bintang-bintang yang berkilau bagai berlian.
Awan-awan tipis menggumpal berjajaran, sinar bulan meneranginya membuatnya serupa kapas-kapas yang lembut beriringan.
“Sungguh kenapa aku
tak mampu seperti kalian. Kenapa aku tak selalu bisa menjadi kapas yang
ringan …,” batinnya sedih.
Mery merasakan kulitnya
berangsur dingin oleh semilir angin malam, ia menolehkan kepalanya menatap jam
yang beranjak tua, tak menyadari bahwa langkah-langkahnya telah menyeretnya
hingga sejauh ini, ke situasi hatinya yang tak lagi ia kenali, rasanya semua
terasa samar-samar.
Kini awan tak lagi ada di
sana, bintang-bintang yang berkelap-kerlip
telah berganti dengan lampu-lampu
dari kamar-kamar, dan bulan tak pernah tampak, apartemen yang tinggi itu telah
menelannya. Sosok bangunannya yang tinggi bagai raksasa modern yang menguasai
semesta. Andai bisa melihat rembulan dan ribuan kerlip bintang, galaunya sedikit terusir, setidaknya ia
sedikit terhibur menatap keindahan malam yang menawan. Kini, ia tak mampu lagi memeroleh
sesuatu yang bisa membawanya pergi dari perasaan sunyi ini.
“Entah kenapa selalu saja ada
kekosongan yang melubangi hatiku setiap
malam atau senja yang katamu romantis itu, anak-anak tiada di rumah atau tengah
lelap, dan kau, suamiku, menarikku dalam gerakan-gerakan tubuh yang rahasia
bagi anak-anak. Gerakan-gerakan tubuh yang tak sekalipun menjauhkanku pergi
dari kehampaan ini.”
“Senja juga tak lagi bisa
aku kenali. Sesuatu yang
mengobati hatiku ketika menatap ufuk barat yang kemerahan telah lenyap ditelan sosok
besar itu. Termasuk
sosok ayah yang menenteng senapan burung atau alat pancing
berjalan ke barat dalam lautan merahnya
senja seperti hendak
menaklukkan gunung yang menjulang di sana.”
Ya, puncak Gunung Merapi
yang bermantel cahaya merah dari matahari, menyelinap dan menerobos gumpalan
awan-awan, garis-garis cahaya yang menghunjam kaki-kaki langit terus melaju
hingga ke kaki gunung, dan menghamparkan merahnya senja itu hingga di jalanan
aspal di seberang halaman rumah.
Senja
menyepuh emas di barat sana, membentuk gelombang patahan-patahan awan, dan
lapisan-lapisan emas merah di atas gunung. Merapi tengah bermandikan cahaya. Sesekali larik-larik putih merobek lanskap langit
memerah itu, burung-burung kuntul terbang menyeberang angkasa, hijrah, menempuh
perjalanan yang jauh. Dan yang paling menakjubkan adalah ketika melihat
ribuan kelelawar terbang menerobos jendela-jendela di gudang tua di sudut perempatan jalan, berhamburan, ketika merah berubah jadi
kelabu, dan gelap berangsur-angsur turun, ribuan kelelawar berdericit terbang
lepas menyerbu langit kelam dalam latar Gunung Merapi yang mulai samar-samar
menghilang.
“Semua yang
tampak di mataku adalah lautan cahaya senja dengan ayah di dalamnya.”
Ayah
kenapa kau terlalu lekas pergi?
***
“Ayah berharap kau
menemukan lelaki yang tepat anakku …” Baru pertama kali sepanjang usiaku hingga
hampir kepala tiga puluh ini, mendengar nada suara ayah yang ragu dan
dipenuhi kecemasan. Intonasi
suara dan nada yang ditimbulkan, bunyinya seperti debur ombak yang
disapu badai. Untuk kali pertama juga, ia tak memandangku ketika berbicara,
melemparkan matanya pada sore yang tiada senja itu karena mendung membawa pesan
hujan. Kenapa senja yang
penuh angin itu lebih ia sukai ketimbang menatap mata anaknya yang diluapi
perasaan rindu yang membumbung tinggi.
“Apakah ayah sakit?”
“Jangan khawatirkan ayah,
esok ketika sore tak lagi mendung dan senja kembali hangat, ayah pasti akan
baik-baik saja.”
Untuk sekian detik, aku
merasa ayah tak baik-baik saja namun bel rumah telah berbunyi, calon suamiku
pasti yang telah memencetnya.
Sore yang mendung itu, ia
beserta ayahnya –seorang lelaki tua kurus dan botak yang terlalu sulit tertawa dan
tampak tak istimewa –
melamarku, dan ayah dalam nada yang terdengar samar mengiyakan pinangan itu.
Aku lega, dan bahagia. Lelaki pujaan yang tampan dengan wajah yang bercahaya itu, dengan rambut yang
selalu rapi kelimis, kumis
yang berjajar rapi, dan bahu yang bidang, walau gerakannya
tampak sedikit kaku, selalu
membuat jantungku berdetak kencang.
***
Angin malam menampar muka Mery,
membuatnya kembali dari bayangan masa
lalunya yang kerap datang saat ia merasa sendiri. Apakah suara pecah ayah dan matanya yang
nampak gelisah itu sebenarnya hendak berkata tidak, padaku?
Dari hari ke hari, ayah
makin banyak diam, apakah itu hanya perasaanku saja, bukankah mungkin karena
senja tak lagi ada karena tak tampak
dari beranda rumah kami; lapis
demi lapis apartemen
itu menutupnya perlahan-lahan, senja
telah pergi, juga puncak Merapi yang agung itu, dan suamiku membawaku pindah ke rumah susun di sebelah apartemen itu; segalanya membuat
ayah seperti dirundung kesedihan.
Di lantai tiga rusun yang berantakan ini, dari sini aku bisa memandang ayah di
kejauhan sana yang tengah menjemur pakaiannya, menjemurnya di kawat-kawat yang berjajar di samping rumah. Berusaha sepagi mungkin dijemur, agar
sinar matahari masih bisa mengeringkannya karena agak siang sudah terhalang
bangunan apartemen.
Ayah tampak bergerak
begitu pelan.
“Ayahmu lebih memilih
tinggal di rumah itu, Mery. Sedang aku tak mampu hidup di sana, tolong,
mengertilah ...”
Demikianlah, untuk pertama
kali dalam hidupnya, Mery seperti
ditempatkan pada dua pilihan yang amat sulit, yang pada akhirnya dia harus mengkhianati perasaan ayah. Untuk
pertama kalinya, dia
dipaksa untuk memilih jalan yang
tak dia sukai.
“Bukankah
senja sudah tak nampak lagi,
ayah. Dari rumah susun bukankah ayah kembali bisa menikmati senja ...”
“Memang
benar, tapi setiap sudut dalam rumah ini selalu memantulkan bayang ibu dan kamu
yang tak mampu aku lupakan. Setiap sore kau menyapu halaman yang penuh dengan
serakan daun-daun kering
sambil menikmati guyuran cahaya senja yang melimpah, setiap saat kau
membersihkan setiap benda di dalam rumah ini, kau duduk di kursi belajarmu,
atau menatap televisi, menyirami bunga-bunga kamboja kita, sedang ibu membikin
sambal pedas di dapur, mengangkat jemuranku dan melipat satu persatu dengan
rapi lalu menyeterikanya, dan aku rasa kenangan
itu lebih dari cukup
untuk mengobati rasa rinduku pada kalian …”
“Kita
kan dekat ayah. Aku akan sering mengunjungi ayah.”
Ayah
melepasku pergi dengan gerak yang samar, hanya yang selalu membuatku
termangu ragu adalah: sorot matanya yang enggan menatap mataku.
***
Lama-lama
Mery merasakan tulangnya seperti dilolosi: tertusuki
jarum hawa dingin menjelang dini hari itu, jam masih pukul tiga, matanya benar-benar tak mengantuk.
Suaminya mendengkur keras, anak-anaknya tengah pulas. Suara cicak membuatnya tersadar
bahwa lalu lintas bayangannya tentang ayah tak juga benar-benar pergi.
Walau
kini rumah itu tiada nampak lagi -pemerintah kota telah menggusurnya untuk dibangun
pusat pertokoan- tetapi tetap saja bayangannya, dirinya bersama ayah, ibu, dan segala
benda dan tanaman di sana, tak juga bisa dilupakannya. Rumah
telah ambruk sesaat sebelum ayah
pingsan yang dengan segera digotong
para tetangga ke rumah
sakit.
“Bayangan-bayangan
datang silih berganti sepanjang aku berlari ke rumah sakit, dan waktu tak
pernah bersahabat denganku, ketika aku datang, seorang perawat telah menutupkan
tirai putih di atas mukanya. Aku menangis keras, tiba-tiba aku
merasa sangat bersalah dan jadi anak yang paling tak berguna.”
[2020]
-------------------------------------------------------------------------
Han
Gagas, penulis
kumpulan cerpen “Catatan Orang Gila” (Gramedia Pustaka Utama, 2014) dan novel
“Orang-orang Gila” (Buku Mojok, 2018).
https://id.wikipedia.org/wiki/Han_Gagas