Sabtu, 14 November 2020

Tamu Hantu

BY Agus Pribadi IN No comments

pixabay.com
 

Cerpen Mufti Wibowo

 

Aku pasti akan panen kegagalan dan menjadi lelucon seandainya memaksakan diri menyerupa Sinta atau Lara Ireng. Terlalu mahal untuk berkosmetik seperti mereka. Aku bukan  gendewa Arjuna. Aku hanya akan menjadi sasmita yang akan selalu hadir dalam tidur gelisah suamiku. Aku adalah sebait jimat kalimasada yang maujud getaran-getaran di dalam jantung mereka. Getaran yang mencenderungkan mereka pada ketenteraman yang temaram. Dan, memacunya lebih kencang bila ia mendekat pada onak duri. Biarlah aku asing di mata kasat mereka. Aku memilih menjadi teratai yang menuntut komitmen pria yang mencintaiku untuk tetap membiarkanku hidup di tengah lumpur ketimbang menjadi keladi ungu yang mahal tetapi hidup dalam pot.

*

Rupanya, kedua tamu di rumah kami, malam lebaran itu ditarik sebuah magnet yang tersembunyi di rumah ini. Magnet itu adalah sosok wanita kedua dalam biduk rumah tanggaku. Wanita yang semestinya dipandang sebagai duri di dalam daging tubuh keluarga kami. Benda asing yang berada dalam tubuh selalu berbahaya sehingga harus dikeluarkan. Upaya bedah bisa dilakukan apabila ia tak mampu dikeluarkan dengan mekanisme alami. Dua orang tamu itu seakan berada di pihakku meskipun tidak sama sekali.

Suamiku kemudian menjelaskan kepada kedua orang tamu yang sepertinya termakan oleh gosip tetangga kami itu.

“Namanya N. Dari L,” terang suamiku.

“Orang tua saya Jawa, transmigran,” tukas si duri dalam daging.

“Kami bertemu di Cikarang.”

“Status Mbak ini?” tanya salah seorang tamu.

“Dia janda.”

“Kapan mudik, Mas?”

“Lebaran kurang tiga hari, Pak.”

“Tak berasa, sudah malam takbiran,” kata seorang tamu angkuh.

“Dalam waktu dekat, kami akan menikah.”

*

Pagi harinya, anakku menangis tersedak-sedak. Dia menangisi kepergian ayahnya yang mendadak. Sebelumnya, dia berjanji sejak jauh hari akan mengajak anaknya itu ke Teluk Penyu. Kata mertuaku, mereka ke L.

“L di mana, Bu?”

“Jauh, seberang laut.”

“Naik apa?”

“Kapal.”

“Aku kan ingin lihat laut, kata ayah, ‘airnya asin dan berwarna biru’. Kok kita nggak diajak?”

“Di sana angker, Nang. Seperti pohon beringin di alun-alun.”

“Banyak hantu, Bu?

“Siapa yang tahu ...”

“Ayah bohong, kata ayah, ‘laut indah’.”

“Tidak bohong, ibu juga pernah melihatnya.”

“Ayah pergi sendiri?”

“Dengan tante.”

“Tante itu siapa sih, Bu?”

“Hantu.”

*

Setelah sadar, aku merasa hidup di dalam tubuh yang lain. Tidur panjang membuatku lelah. Aku koma seminggu. Kata dokter sebagian otakku tak lagi dilindungi tempurung tengkorak, hanya kulit dan rambut saja. Saraf sensorik dan motorik dalam tubuhku tak bekerja sebaik sebelum kecelakaan itu. Dalam keadaan itu, aku menjadi sembarang bicara. Mengatakan sesuatu yang sebenarnya tak ingin kubicarakan hanya karena terpikir atau terasa.

Karena itulah, aku dipulangkan ke kampung untuk tinggal dengan mertuaku yang cerewet setengah mati. Bukankah sebenarnya begitu, orang sering menyangkakan seorang gila karena mereka mengetahui pikiran dan perasaan seseorang tanpa batas. Mereka dikatakan waras hanya karena orang lain mengatahui isi dan perasaan seorang itu secara terbatas. Karena mampu mengendalikan mana yang harus diucapkan atau dilakukan dan mana yang hanya cukup dipikiran atau dirasakan saja. Dan, aku kehilangan kendali itu. Aku sama dengan penari kuda lumping di tengah pertunjukan yang gerak-geriknya didikte irama musik. Lalu, siapa yang memainkan kendang? Aku menyediakan tubuhku untuk diperalatnya. Bagi orang lain, aku adalah tontonan yang menarik dilihat dan didengar, tapi tak patut diacuhkan. Mereka senang, dan karena itu, sengaja memancing-mancingku untuk bertingkah. Mereka tak akan berhenti hingga keluar dari mulutku kata-kata kotor atau cabul.

Dan, aku tahu tak berhak marah atas perlakuan mereka. Aku tak merasa perlu mengusir mereka atau pergi dari mereka. Karena mereka adalah teman yang sebenarnya selalu mendengarkanku. Membantuku mengusir kesepian. Biarlah mereka tertawa. Karena merekalah yang diam-diam begitu peduli atas kerapuhanku ketika suamiku pulang ke rumah dengan membawa wanita asing tanpa sebelumnya dibicarakan, sedangkan aku tak punya pilihan selain menerimanya. Atau aku akan dikembalikan pada orang tuaku, keturunan nelayan melarat pesisir Jawa yang sudah tak mampu lagi melaut. Aku tak mungkin kembali pada mereka dengan keadaanku seperti itu.

*

Entah mengapa, waktu itu, pria yang kucintai justru tak datang saat aku membutuhkannya untuk mengantarkan kepulanganku yang mendadak itu. Dan, dia datang pada saat yang tepat. Takdirku ternyata bersuami pria bermotor. Hingga kini, aku masih terus dihantui kejadian itu. Tentang tuduhannya terhadap mendiang kakekku yang tak pernah dicabutnya hingga kini. Mengapa dia berani benar menuduh kakekku yang sedang sekarat memiliki kekutan supranatural. Menurutnya, karena itulah, kakekku sekarat hingga berlarut-larut.

Laki-laki brengsek itu bahkan mengajukan diri untuk mengadakan ritual yang diaggapnya mampu mengakhiri penderitaan kakekku yang sangat menyedihkan. Dimintanya keladi ungu. Dengan gerakan yang tak kumengerti, dia memegang dua batang keladi itu kemudian menyabetkan bagian daun dengan pelan ke sekujur tubuh kakekku, entah berapa kali dia mengulangi gerakan yang sama, tapi cukup banyak sehingga sulit untukku mengingatnya dengan pasti. Sekitar tiga puluh menit kemudian, kakekku mengembuskan napas untuk terakhir kali.

Dia memenangkan hati keluarga besarku, kecuali aku dan nenekku. Kurang dari setahun kemudian, lebaran haji pertama setelah kematian kakek, aku dinikahkan dengan pria bermotor itu oleh ayahku. Permintaanku untuk tetap tinggal di tempat kedua orang tuaku ditolak suamiku. Dia menginginkan aku tetap bekerja dan menunda memiliki anak. Selama lima tahun, kami berhemat demi menebus sertifikat tanah pinjaman orang tuaku dari bank. Setelah kami berhasil mengubah rumah bilik menjadi bangunan permanen, aku melahirkan seorang anak laki-laki.

*

Kami bekerja di pabrik yang sama. Seperti biasa, hari itu, kami pulang berboncengan sepeda motor kreditan. Aku merasa sangat lelah sore itu, tapi di tengah perjalanan pulang, aku teringat berhutang janji membelikan burger untuk anakku pada hari pertama masuk sekolahnya.

Outlet makanan yang tak cocok dengan lidah kampungku itu berada di seberang jalan arah pulang. Aku memintanya berputar arah. Dari lajur lambat suamiku memotong lajur kanan, lampu sent ternyata mati. Sebuah mobil dengan kecepatan tinggi mendorong motor yang kami tumpangi hingga kami terlempar. Aku tak mengunci pengikat helm sehingga lepas saat benturan pertama dengan mobil nahas itu, benturan selanjutnya ketika badanku jatuh ke permukaan aspal, dan terakhir yang kuingat adalah ketika kepala bagian samping belakang membentur pembatas jalan dengan trotoar.

Suamiku dengan cepat pulih karena hanya mengalami beberapa memar pada bagian kaki dan lengan, sedangkan aku koma berhari-hari. Dalam keadaan itu, anakku pernah melihat ayahnya melakukan hal aneh yang ditanyakan padaku pada suatu ketika saat aku memindahkan keladi ungu dari kebun rumah ke dalam pot. Waktu itu, jenis tanaman itu sangat dicari dan diminati kolektor tanaman hias.

“Bu, rumput kok ditanam di pot?”

“Ini bukan rumput sembarangan, Sayang?”

“Bisa dimakan, Bu?

“Hust! Bisa dijual. Mahal.”

“O, pantas. Bisa buat obat juga kan?

“Obat apa?”

“Waktu ibu tidur lama di rumah sakit, ayah kasih obat ini buat ibu. Dan, Ibu sekarang jadi sembuh.”

Fakuntsin, 14

 

---------------------------------------------------------------------------------- 

Mufti Wibowo lahir dan berdomisili di Purbalingga, menulis puisi dan prosa.

0 comments:

Posting Komentar