Ritus Para Penjala
: Serayu
Tak ada iba yang bisa kuhadiahkan pada ikan-ikan
yang saban hari berzikir di sela-sela cadas dan batuan
Pukat telah kutebar, pada pekat air sungai yang tawar
“Masihkah ada nasib yang bisa kuajak berkelakar?”
Tapi celaka! Maut mengintaimu lewat lubang jala
Dari atas getek tua, rekuiem dilaksanakan tiba-tiba
Kepis itu, tempat pelarungan tubuhmu menuju surga
sebelum yang fana itu kau tuntaskan, dalam doa:
“Ambillah sepotong nyawa dari jasadku,
biar kutebus sepotong lapar dalam perutmu”
Purbalingga, 2020
Mengartikan Uban
: Ni Wajem
Pada ubanmu lah, petuah demi petuah mulai tersiratkan
Petuah yang kau khotbahkan ke seluruh trah dan keturunan
Sewaktu ajal bersikeras menanggalkan usia dan almanak
tak menyisakan apa-apa selain angka dan tanda tanya
Hari depan mungkin hanya seluas dipan. Sebab kematian
adalah wangi parfum yang semerbaknya terus-terus kau cium
Dan tubuhmu bergegas tanpa meninggalkan satu wasiat pun,
meski raut mukamu yang ruwet itu tak henti meramu senyum.
“Gusti! Duka menyulut nyeri sepanjang ricik arus nadi.”
Lalu, sempurnalah segala tirakat dan doa-doa dalam rakaat
Maka, sebelum yang baka menyeretmu pergi ke suatu sepi;
mari kita nikmati satu seloki dari sisa-sisa kefanaan ini
Purbalingga, 2020
Membaca Weton
Aku membaca segala prasangka
yang tersirat pada penggalan angka
Di sekujur almanak, kutemukan hari
demi hari berbiak, memperanakkan:
Legi, Paing, Pon, Wage, dan Kliwon.
Orang-orang kian sibuk menerka
tabiat demi tabiat layaknya juru ayat
pada mimbar penuh khidmat
menyangkal tuah dan
kodrat
Tapi bisakah kita mengelabuhi niscaya?
Sedangkan hari depan tak sekali pun
bisa memuntahkan wangi perangainya
Sementara jauh di batas antara sabda dan doa,
rahasia tak sekali pun bisa kita terka:
ke mana laju dan ke mana arah pelariannya
Purbalingga, 2020
Risalah Cadas Kali
Tak ada yang mesti kugugat
Paras arus sungai yang deras; tak
sekali pun membuat tubuhku bergegas
Lekuk sungai yang semok bukanlah momok
melainkan tempatku merenungi segala yang elok
Aku tak akan mentas sebelum ikan-ikan yang
bermukim di sekujurku betul-betul waras
Aku tak akan ingkar pada air sungai yang tawar
meski ia kerap menampar dengan arus yang besar
Aku tak akan mangkir dari kanal yang mengalir
meski saban hari tubuhku kuyup dihantam banjir
Purbalingga, 2020
Biodata
Ikrom Rifa’i lahir
di Purbalingga, 25 Juli 2000. Menyelesaikan pendidikan dari tingkat SD sampai
SMA di kota kelahirannya. Kini tengah melanjutkan pendidikan di Universitas
Singaperbangsa Karawang. Bergiat di Komunitas Bengkel Menulis Unsika dan Rintis
Teater.
0 comments:
Posting Komentar