pixabay.com
Cerpen Mufti
Wibowo
Aku
pasti akan panen kegagalan dan menjadi lelucon seandainya memaksakan diri
menyerupa Sinta atau Lara Ireng. Terlalu mahal untuk berkosmetik seperti
mereka. Aku bukan gendewa Arjuna.
Aku hanya akan menjadi sasmita yang akan selalu hadir dalam tidur
gelisah suamiku. Aku adalah sebait jimat kalimasada yang maujud
getaran-getaran di dalam jantung mereka. Getaran yang mencenderungkan mereka
pada ketenteraman yang temaram. Dan, memacunya lebih kencang bila ia mendekat
pada onak duri. Biarlah aku asing di mata kasat mereka. Aku memilih menjadi
teratai yang menuntut komitmen pria yang mencintaiku untuk tetap membiarkanku
hidup di tengah lumpur ketimbang menjadi keladi ungu yang mahal tetapi hidup
dalam pot.
*
Rupanya,
kedua tamu di rumah kami, malam lebaran itu ditarik sebuah magnet yang
tersembunyi di rumah ini. Magnet itu adalah sosok wanita kedua dalam biduk
rumah tanggaku. Wanita yang semestinya dipandang sebagai duri di dalam daging
tubuh keluarga
kami. Benda asing yang berada dalam tubuh selalu berbahaya sehingga harus
dikeluarkan. Upaya bedah bisa dilakukan apabila ia tak mampu dikeluarkan dengan
mekanisme alami. Dua orang tamu itu seakan berada di pihakku meskipun tidak
sama sekali.
Suamiku
kemudian menjelaskan kepada kedua orang tamu yang sepertinya termakan oleh
gosip tetangga kami itu.
“Namanya
N. Dari L,” terang suamiku.
“Orang
tua saya Jawa, transmigran,” tukas si duri dalam daging.
“Kami
bertemu di Cikarang.”
“Status
Mbak ini?” tanya salah seorang tamu.
“Dia
janda.”
“Kapan
mudik, Mas?”
“Lebaran
kurang tiga hari, Pak.”
“Tak
berasa, sudah malam takbiran,” kata seorang tamu angkuh.
“Dalam
waktu dekat, kami akan menikah.”
*
Pagi
harinya, anakku menangis tersedak-sedak. Dia menangisi kepergian ayahnya yang
mendadak. Sebelumnya, dia berjanji sejak jauh hari akan mengajak anaknya itu ke
Teluk Penyu. Kata mertuaku, mereka ke L.
“L
di mana, Bu?”
“Jauh,
seberang laut.”
“Naik
apa?”
“Kapal.”
“Aku
kan ingin lihat laut, kata ayah, ‘airnya asin dan berwarna biru’. Kok kita
nggak diajak?”
“Di
sana angker, Nang. Seperti pohon beringin di alun-alun.”
“Banyak
hantu, Bu?
“Siapa
yang tahu ...”
“Ayah
bohong, kata ayah, ‘laut indah’.”
“Tidak
bohong, ibu juga pernah melihatnya.”
“Ayah
pergi sendiri?”
“Dengan
tante.”
“Tante
itu siapa sih, Bu?”
“Hantu.”
*
Setelah
sadar, aku merasa hidup di dalam tubuh yang lain. Tidur panjang membuatku
lelah. Aku koma seminggu. Kata dokter sebagian otakku tak lagi dilindungi
tempurung tengkorak, hanya kulit dan rambut saja. Saraf sensorik dan motorik
dalam tubuhku tak bekerja sebaik sebelum kecelakaan itu. Dalam keadaan itu, aku
menjadi sembarang bicara. Mengatakan sesuatu yang sebenarnya tak ingin
kubicarakan hanya karena terpikir atau terasa.
Karena
itulah, aku dipulangkan ke kampung untuk tinggal dengan mertuaku yang cerewet
setengah mati. Bukankah sebenarnya begitu, orang sering menyangkakan seorang
gila karena mereka mengetahui pikiran dan perasaan seseorang tanpa batas. Mereka
dikatakan waras hanya karena orang lain mengatahui isi dan perasaan seorang itu secara
terbatas. Karena mampu mengendalikan mana yang harus diucapkan atau dilakukan
dan mana yang hanya cukup dipikiran atau dirasakan saja. Dan, aku kehilangan
kendali itu. Aku sama dengan penari kuda lumping di tengah pertunjukan yang
gerak-geriknya didikte irama musik. Lalu, siapa yang memainkan kendang? Aku
menyediakan tubuhku untuk diperalatnya. Bagi orang lain, aku adalah tontonan
yang menarik dilihat dan didengar, tapi tak patut diacuhkan. Mereka senang, dan
karena itu, sengaja memancing-mancingku untuk bertingkah. Mereka tak akan
berhenti hingga keluar dari mulutku kata-kata kotor atau cabul.
Dan,
aku tahu tak berhak marah atas perlakuan mereka. Aku tak merasa perlu mengusir
mereka atau pergi dari mereka. Karena mereka adalah teman yang sebenarnya selalu
mendengarkanku. Membantuku mengusir kesepian. Biarlah mereka tertawa. Karena
merekalah yang diam-diam begitu peduli atas kerapuhanku ketika suamiku pulang
ke rumah dengan membawa wanita asing tanpa sebelumnya dibicarakan, sedangkan
aku tak punya pilihan selain menerimanya. Atau aku akan dikembalikan pada orang
tuaku, keturunan
nelayan melarat pesisir Jawa yang sudah tak mampu lagi melaut. Aku tak mungkin
kembali pada mereka dengan keadaanku seperti itu.
*
Entah
mengapa, waktu itu, pria yang kucintai justru tak datang saat aku
membutuhkannya untuk mengantarkan kepulanganku yang mendadak itu. Dan, dia
datang pada saat yang tepat. Takdirku ternyata bersuami pria bermotor. Hingga
kini, aku masih terus dihantui kejadian itu. Tentang tuduhannya terhadap mendiang
kakekku yang tak pernah dicabutnya hingga kini. Mengapa dia berani benar
menuduh kakekku yang sedang sekarat memiliki kekutan supranatural. Menurutnya,
karena itulah, kakekku sekarat hingga berlarut-larut.
Laki-laki
brengsek itu bahkan mengajukan diri untuk mengadakan ritual yang diaggapnya
mampu mengakhiri
penderitaan kakekku yang sangat menyedihkan. Dimintanya keladi ungu. Dengan
gerakan yang tak kumengerti, dia memegang dua batang keladi itu kemudian
menyabetkan bagian daun dengan pelan ke sekujur tubuh kakekku, entah berapa
kali dia mengulangi gerakan yang sama, tapi cukup banyak sehingga sulit untukku
mengingatnya dengan pasti. Sekitar tiga puluh menit kemudian, kakekku mengembuskan napas untuk
terakhir kali.
Dia
memenangkan hati keluarga besarku, kecuali aku dan nenekku. Kurang dari setahun
kemudian, lebaran haji pertama setelah kematian kakek, aku dinikahkan dengan
pria bermotor itu oleh ayahku. Permintaanku untuk tetap tinggal di tempat kedua
orang tuaku ditolak suamiku. Dia menginginkan aku tetap bekerja dan menunda
memiliki anak. Selama lima tahun, kami berhemat demi menebus sertifikat tanah
pinjaman orang tuaku dari bank. Setelah kami berhasil mengubah rumah bilik
menjadi bangunan permanen, aku melahirkan seorang anak laki-laki.
*
Kami
bekerja di pabrik yang sama. Seperti biasa, hari itu, kami pulang berboncengan
sepeda motor kreditan.
Aku merasa sangat lelah sore itu, tapi di tengah perjalanan pulang, aku teringat berhutang
janji membelikan burger untuk anakku pada hari pertama masuk sekolahnya.
Outlet
makanan yang tak cocok dengan lidah kampungku itu berada di seberang jalan arah
pulang. Aku memintanya berputar arah. Dari lajur lambat suamiku memotong lajur
kanan, lampu sent ternyata mati. Sebuah mobil dengan kecepatan tinggi mendorong
motor yang kami tumpangi hingga kami terlempar.
Aku tak mengunci pengikat helm sehingga lepas saat benturan pertama dengan
mobil nahas itu, benturan selanjutnya ketika badanku jatuh ke permukaan aspal,
dan terakhir yang kuingat adalah ketika kepala bagian samping belakang membentur
pembatas jalan dengan trotoar.
Suamiku
dengan cepat pulih karena hanya mengalami beberapa memar pada bagian kaki dan
lengan, sedangkan aku koma berhari-hari. Dalam keadaan itu, anakku pernah
melihat ayahnya melakukan hal aneh yang ditanyakan padaku pada suatu ketika
saat aku memindahkan keladi ungu dari kebun rumah ke dalam pot. Waktu itu, jenis
tanaman itu sangat dicari dan
diminati kolektor tanaman hias.
“Bu,
rumput kok ditanam di pot?”
“Ini
bukan rumput sembarangan, Sayang?”
“Bisa
dimakan, Bu?
“Hust!
Bisa dijual. Mahal.”
“O,
pantas. Bisa buat obat juga kan?
“Obat
apa?”
“Waktu
ibu tidur lama di rumah sakit, ayah kasih obat ini buat ibu. Dan, Ibu sekarang
jadi sembuh.”
Fakuntsin,
14
----------------------------------------------------------------------------------
Mufti
Wibowo lahir dan berdomisili di Purbalingga, menulis puisi dan prosa.