Jumat, 27 November 2020

Antologi Cerpen dan Puisi Teplok 2020

BY Agus Pribadi IN No comments

 


Tak terasa, sudah mendekati penghujung tahun 2020 teplok.id menyapa pembaca sejak pemuatan karya pertama 10 April 2020. Ada sekitar 13 cerpen dan 39 puisi yang termuat di teplok.id sepanjang tahun itu.

 

Sebagai salah satu bentuk apresiasi untuk para pengarang dan penyair yang karyanya dimuat di teplok.id—kami memiliki rencana—cerpen dan puisi yang terbit di teplok.id sepanjang tahun 2020 akan  kami terbitkan menjadi buku antologi cerpen dan puisi teplok 2020 dalam satu buku. Tidak ada royalti untuk penulis, tapi penulis mendapat harga khusus dan 1 bukti terbit, serta akan ada reward bagi satu cerpen dan satu puisi terbaik pilihan teplok.id.

 

Semoga ikhtiar kecil yang kami lakukan ini dapat memotivasi para pengarang dan penyair untuk berkarya lebih baik lagi. Semoga karya-karya yang kami suguhkan di tahun depan lebih berkualitas dan semakin dicintai para pembaca sekalian.

 

 

Tim Teplok.id

Sabtu, 14 November 2020

Puisi-puisi Ikrom Rifa'i

BY editor IN No comments



Ritus Para Penjala

: Serayu

 

Tak ada iba yang bisa kuhadiahkan pada ikan-ikan

yang saban hari berzikir di sela-sela cadas dan batuan

Pukat telah kutebar, pada pekat air sungai yang tawar

 

“Masihkah ada nasib yang bisa kuajak berkelakar?”

 

Tapi celaka! Maut mengintaimu lewat lubang jala

Dari atas getek tua, rekuiem dilaksanakan tiba-tiba

Kepis itu, tempat pelarungan tubuhmu menuju surga

sebelum yang fana itu kau tuntaskan, dalam doa:

 

“Ambillah sepotong nyawa dari jasadku,

biar kutebus sepotong lapar dalam perutmu”

 

Purbalingga, 2020




Mengartikan Uban

: Ni Wajem

 

Pada ubanmu lah, petuah demi petuah mulai tersiratkan

Petuah yang kau khotbahkan ke seluruh trah dan keturunan

Sewaktu ajal bersikeras menanggalkan usia dan almanak

tak menyisakan apa-apa selain angka dan tanda tanya

 

Hari depan mungkin hanya seluas dipan. Sebab kematian

adalah wangi parfum yang semerbaknya terus-terus kau cium

Dan tubuhmu bergegas tanpa meninggalkan satu wasiat pun,

meski raut mukamu yang ruwet itu tak henti meramu senyum.

 

“Gusti! Duka menyulut nyeri sepanjang ricik arus nadi.”

Lalu, sempurnalah segala tirakat dan doa-doa dalam rakaat

Maka, sebelum yang baka menyeretmu pergi ke suatu sepi;

mari kita nikmati satu seloki dari sisa-sisa kefanaan ini

 

Purbalingga, 2020

 


 

Membaca Weton

 

Aku membaca segala prasangka

yang tersirat pada penggalan angka

Di sekujur almanak, kutemukan hari

demi hari berbiak, memperanakkan:

Legi, Paing, Pon, Wage, dan Kliwon.

 

Orang-orang kian sibuk menerka

tabiat demi tabiat layaknya juru ayat

pada mimbar penuh khidmat

menyangkal tuah dan kodrat

 

Tapi bisakah kita mengelabuhi niscaya?

Sedangkan hari depan tak sekali pun

bisa memuntahkan wangi perangainya

 

Sementara jauh di batas antara sabda dan doa,

rahasia tak sekali pun bisa kita terka:

ke mana laju dan ke mana arah pelariannya

 

Purbalingga, 2020

 


 

Risalah Cadas Kali

 

Tak ada yang mesti kugugat

Paras arus sungai yang deras; tak

sekali pun membuat tubuhku bergegas

Lekuk sungai yang semok bukanlah momok

melainkan tempatku merenungi segala yang elok

 

Aku tak akan mentas sebelum ikan-ikan yang

bermukim di sekujurku betul-betul waras

Aku tak akan ingkar pada air sungai yang tawar

meski ia kerap menampar dengan arus yang besar

Aku tak akan mangkir dari kanal yang mengalir

meski saban hari tubuhku kuyup dihantam banjir

 

Purbalingga, 2020




Biodata

Ikrom Rifa’i lahir di Purbalingga, 25 Juli 2000. Menyelesaikan pendidikan dari tingkat SD sampai SMA di kota kelahirannya. Kini tengah melanjutkan pendidikan di Universitas Singaperbangsa Karawang. Bergiat di Komunitas Bengkel Menulis Unsika dan Rintis Teater. 

Tamu Hantu

BY Agus Pribadi IN No comments

pixabay.com
 

Cerpen Mufti Wibowo

 

Aku pasti akan panen kegagalan dan menjadi lelucon seandainya memaksakan diri menyerupa Sinta atau Lara Ireng. Terlalu mahal untuk berkosmetik seperti mereka. Aku bukan  gendewa Arjuna. Aku hanya akan menjadi sasmita yang akan selalu hadir dalam tidur gelisah suamiku. Aku adalah sebait jimat kalimasada yang maujud getaran-getaran di dalam jantung mereka. Getaran yang mencenderungkan mereka pada ketenteraman yang temaram. Dan, memacunya lebih kencang bila ia mendekat pada onak duri. Biarlah aku asing di mata kasat mereka. Aku memilih menjadi teratai yang menuntut komitmen pria yang mencintaiku untuk tetap membiarkanku hidup di tengah lumpur ketimbang menjadi keladi ungu yang mahal tetapi hidup dalam pot.

*

Rupanya, kedua tamu di rumah kami, malam lebaran itu ditarik sebuah magnet yang tersembunyi di rumah ini. Magnet itu adalah sosok wanita kedua dalam biduk rumah tanggaku. Wanita yang semestinya dipandang sebagai duri di dalam daging tubuh keluarga kami. Benda asing yang berada dalam tubuh selalu berbahaya sehingga harus dikeluarkan. Upaya bedah bisa dilakukan apabila ia tak mampu dikeluarkan dengan mekanisme alami. Dua orang tamu itu seakan berada di pihakku meskipun tidak sama sekali.

Suamiku kemudian menjelaskan kepada kedua orang tamu yang sepertinya termakan oleh gosip tetangga kami itu.

“Namanya N. Dari L,” terang suamiku.

“Orang tua saya Jawa, transmigran,” tukas si duri dalam daging.

“Kami bertemu di Cikarang.”

“Status Mbak ini?” tanya salah seorang tamu.

“Dia janda.”

“Kapan mudik, Mas?”

“Lebaran kurang tiga hari, Pak.”

“Tak berasa, sudah malam takbiran,” kata seorang tamu angkuh.

“Dalam waktu dekat, kami akan menikah.”

*

Pagi harinya, anakku menangis tersedak-sedak. Dia menangisi kepergian ayahnya yang mendadak. Sebelumnya, dia berjanji sejak jauh hari akan mengajak anaknya itu ke Teluk Penyu. Kata mertuaku, mereka ke L.

“L di mana, Bu?”

“Jauh, seberang laut.”

“Naik apa?”

“Kapal.”

“Aku kan ingin lihat laut, kata ayah, ‘airnya asin dan berwarna biru’. Kok kita nggak diajak?”

“Di sana angker, Nang. Seperti pohon beringin di alun-alun.”

“Banyak hantu, Bu?

“Siapa yang tahu ...”

“Ayah bohong, kata ayah, ‘laut indah’.”

“Tidak bohong, ibu juga pernah melihatnya.”

“Ayah pergi sendiri?”

“Dengan tante.”

“Tante itu siapa sih, Bu?”

“Hantu.”

*

Setelah sadar, aku merasa hidup di dalam tubuh yang lain. Tidur panjang membuatku lelah. Aku koma seminggu. Kata dokter sebagian otakku tak lagi dilindungi tempurung tengkorak, hanya kulit dan rambut saja. Saraf sensorik dan motorik dalam tubuhku tak bekerja sebaik sebelum kecelakaan itu. Dalam keadaan itu, aku menjadi sembarang bicara. Mengatakan sesuatu yang sebenarnya tak ingin kubicarakan hanya karena terpikir atau terasa.

Karena itulah, aku dipulangkan ke kampung untuk tinggal dengan mertuaku yang cerewet setengah mati. Bukankah sebenarnya begitu, orang sering menyangkakan seorang gila karena mereka mengetahui pikiran dan perasaan seseorang tanpa batas. Mereka dikatakan waras hanya karena orang lain mengatahui isi dan perasaan seorang itu secara terbatas. Karena mampu mengendalikan mana yang harus diucapkan atau dilakukan dan mana yang hanya cukup dipikiran atau dirasakan saja. Dan, aku kehilangan kendali itu. Aku sama dengan penari kuda lumping di tengah pertunjukan yang gerak-geriknya didikte irama musik. Lalu, siapa yang memainkan kendang? Aku menyediakan tubuhku untuk diperalatnya. Bagi orang lain, aku adalah tontonan yang menarik dilihat dan didengar, tapi tak patut diacuhkan. Mereka senang, dan karena itu, sengaja memancing-mancingku untuk bertingkah. Mereka tak akan berhenti hingga keluar dari mulutku kata-kata kotor atau cabul.

Dan, aku tahu tak berhak marah atas perlakuan mereka. Aku tak merasa perlu mengusir mereka atau pergi dari mereka. Karena mereka adalah teman yang sebenarnya selalu mendengarkanku. Membantuku mengusir kesepian. Biarlah mereka tertawa. Karena merekalah yang diam-diam begitu peduli atas kerapuhanku ketika suamiku pulang ke rumah dengan membawa wanita asing tanpa sebelumnya dibicarakan, sedangkan aku tak punya pilihan selain menerimanya. Atau aku akan dikembalikan pada orang tuaku, keturunan nelayan melarat pesisir Jawa yang sudah tak mampu lagi melaut. Aku tak mungkin kembali pada mereka dengan keadaanku seperti itu.

*

Entah mengapa, waktu itu, pria yang kucintai justru tak datang saat aku membutuhkannya untuk mengantarkan kepulanganku yang mendadak itu. Dan, dia datang pada saat yang tepat. Takdirku ternyata bersuami pria bermotor. Hingga kini, aku masih terus dihantui kejadian itu. Tentang tuduhannya terhadap mendiang kakekku yang tak pernah dicabutnya hingga kini. Mengapa dia berani benar menuduh kakekku yang sedang sekarat memiliki kekutan supranatural. Menurutnya, karena itulah, kakekku sekarat hingga berlarut-larut.

Laki-laki brengsek itu bahkan mengajukan diri untuk mengadakan ritual yang diaggapnya mampu mengakhiri penderitaan kakekku yang sangat menyedihkan. Dimintanya keladi ungu. Dengan gerakan yang tak kumengerti, dia memegang dua batang keladi itu kemudian menyabetkan bagian daun dengan pelan ke sekujur tubuh kakekku, entah berapa kali dia mengulangi gerakan yang sama, tapi cukup banyak sehingga sulit untukku mengingatnya dengan pasti. Sekitar tiga puluh menit kemudian, kakekku mengembuskan napas untuk terakhir kali.

Dia memenangkan hati keluarga besarku, kecuali aku dan nenekku. Kurang dari setahun kemudian, lebaran haji pertama setelah kematian kakek, aku dinikahkan dengan pria bermotor itu oleh ayahku. Permintaanku untuk tetap tinggal di tempat kedua orang tuaku ditolak suamiku. Dia menginginkan aku tetap bekerja dan menunda memiliki anak. Selama lima tahun, kami berhemat demi menebus sertifikat tanah pinjaman orang tuaku dari bank. Setelah kami berhasil mengubah rumah bilik menjadi bangunan permanen, aku melahirkan seorang anak laki-laki.

*

Kami bekerja di pabrik yang sama. Seperti biasa, hari itu, kami pulang berboncengan sepeda motor kreditan. Aku merasa sangat lelah sore itu, tapi di tengah perjalanan pulang, aku teringat berhutang janji membelikan burger untuk anakku pada hari pertama masuk sekolahnya.

Outlet makanan yang tak cocok dengan lidah kampungku itu berada di seberang jalan arah pulang. Aku memintanya berputar arah. Dari lajur lambat suamiku memotong lajur kanan, lampu sent ternyata mati. Sebuah mobil dengan kecepatan tinggi mendorong motor yang kami tumpangi hingga kami terlempar. Aku tak mengunci pengikat helm sehingga lepas saat benturan pertama dengan mobil nahas itu, benturan selanjutnya ketika badanku jatuh ke permukaan aspal, dan terakhir yang kuingat adalah ketika kepala bagian samping belakang membentur pembatas jalan dengan trotoar.

Suamiku dengan cepat pulih karena hanya mengalami beberapa memar pada bagian kaki dan lengan, sedangkan aku koma berhari-hari. Dalam keadaan itu, anakku pernah melihat ayahnya melakukan hal aneh yang ditanyakan padaku pada suatu ketika saat aku memindahkan keladi ungu dari kebun rumah ke dalam pot. Waktu itu, jenis tanaman itu sangat dicari dan diminati kolektor tanaman hias.

“Bu, rumput kok ditanam di pot?”

“Ini bukan rumput sembarangan, Sayang?”

“Bisa dimakan, Bu?

“Hust! Bisa dijual. Mahal.”

“O, pantas. Bisa buat obat juga kan?

“Obat apa?”

“Waktu ibu tidur lama di rumah sakit, ayah kasih obat ini buat ibu. Dan, Ibu sekarang jadi sembuh.”

Fakuntsin, 14

 

---------------------------------------------------------------------------------- 

Mufti Wibowo lahir dan berdomisili di Purbalingga, menulis puisi dan prosa.