Sabtu, 31 Oktober 2020

Wanita Penjahit Dada

BY Agus Pribadi IN No comments

 

pixabay.com

Cerpen Bagus Sulistio

 

“Silahkan masuk. Ada yang bisa saya bantu?”

“Saya ingin bertanya, apakah di sini tempat untuk kursus menjahit?”

“Oh tentu. Apakah kau ingin kursus menjahit baju? Atau celana?”

“Bukan. Aku ingin bisa menjahit dada.”

***

Desa memang selalu berusaha menyamankan penghuninya dengan keasrian alam. Membuat kakek-kakek lebih senang bermain di sawah daripada ke panti jompo yang berujung berkeluh-kesah. Anak-anak tanpa asap knalpot di hidungnya lebih suka memanjat pohon-pohon bercabang. Mereka sangat senang bergelayutan sambil menikmati buah dari pohon yang tumbuh dari jari-jari ranting. Hal tersebut suatu pemandangan yang indah untuk dinikmati di pagi hari.

Pemandangan indah itu dinafikan oleh sesuatu pemandangan di dalam salah satu rumah dari desa tersebut. Pemandangan yang menguras air mata dan emosi sedih bagi penontonnya. Harus butuh ribuan lembar tisu untuk menghapus air yang mengalir dari mata. Namun, sang aktris begitu tegar menjalani peran nyatanya.

“Kamu ini seorang perempuan. Anak perempuan harus rajin.”

Ia hanya diam saja mendengar perkataan ayahnya. Melawan atau menjawab ucapannya merupakan hal yang sia-sia bahkan bahaya. Jadi, mau tidak mau dirinya harus diam sambil terus bergerak menjalani perintah ayahnya.

Mengepel lantai plester acian hitam adalah tugas kesekian di pagi ini. Tenaganya hampir setengah lelah. Namun, dirinya tetap berusaha menjadi perempuan yang rajin. Perempuan tanpa mengeluh atas perintah-perintah tak manusiawi. Kalau ada kata atau kalimat celetukan keluh kesah itu hanya alat penghapus rasa kesal, yang harus segera dihilangkan secepatnya.

“Jika sudah selesai mengepel, jangan lupa kebun belakang rumah kamu sapu. Jangan ada kotoran yang tersisa.”

Tugas berikutnya keluar dari mulut ayahnya. Ia mempercepat gerakan tangannya. Menggosok kain pel ke plester hitam hingga bersih secepat mungkin. Ia terus mengepel sampai plester tersebut sedikit dapat memantulkan sketsa dirinya. Menggambarkan wajah gadis desa pekerja keras dan penuh didikan tegas.

“Kok masih di situ saja? Cepat kerjakan tugas berikutnya. Jangan lambat kalau kerja!”

Ia pun mengerjakannya dengan buru-buru. Asal mengepel dan yang terpenting terlihat basah. Itu saja yang ada di pikirannya ketika ia lakukan pekerjaan mengepel di pagi itu. Ia takut bapaknya yang garang terlalu lama menunggunya untuk melakukan pekerjaan lain. Hal itu bakal membuatnya mengamuk.

Sang gadis harus segera melakukan pekerjaan selanjutnya. Seperti membersihkan kebun belakang rumah. Padahal dirinya saja belum sempat beristirahat bahkan sarapan sesuap pun. Namun, apa boleh buat bapaknya adalah tuannya. Orang yang membesarkannya. Hingga ia harus menuruti apa yang diperintahkan sebagai tanda terima kasih atas jasa-jasanya.

Matanya menjelajahi kebun sekitar. Beberapa jenis daun dari berbagai macam pohon berserakan di atas tanah dan rumput liar yang jarang. Tanpa ba-bi-bu lagi ia mulai mengambil sapu serta mengumpulkan kepingan-kepingan daun berguguran. Punggungnya membungkuk agar sapu yang pendek termakan usia dapat menyentuh permukaan tanah. Tangannya bergerak luwes bak penari. Sapuan demi sapuan menghimpun gunung-gunung daun hingga siap dibakar. Sebungkus korek api menjadi pemantik api di pucuk gundukan sampah. Dan asap mengepul terbang ke langit bersama uapan keringatnya.

“Kalau sudah selesai menyapu, pergilah ke dapur. Ayah sudah memasakkan nasi goreng untukmu sarapan.”

Inilah yang ditunggu-tunggu olehnya. Secercah kelembutan dari ayah yang tegas. Perhatian yang nyata untuk anak pekerja keras. Sebenarnya tidak ada orang tua yang benar-benar penindas. Hanya saja mereka ingin anaknya menjadi seorang pantas. Pantas menjadi manusia yang mempunyai sifat tangkas.

Ia mengambil sebuah piring. Lalu memindahkan nasi goreng dari wajan ke piringnya. Namun sarapan hari ini tak sampai piringnya penuh. Baginya sarapan hanya untuk mengganti tenaga yang telah digunakan dan menyiapkan tenaga yang digunakan. Jadi cukup setengah piring nasi goreng untuk sarapan pada pagi hari ini.

Ia memakan dengan agak lambat. Memasukkan sesuap dua suap dan seterusnya. Hingga tak terasa setengah porsi yang ia ambil hampir habis. Tangannya yang bergerak memasukkan paham betul posisi mulut. Tanpa dibantu mata untuk melihat, ia pandai sekali membuat makanan masuk ke dalam mulut. Padahal matanya menatap kosong sebuah mesin jahit yang tak jauh dari meja makannya. Mesin jahit tua peninggalan ibunya dulu. Andai saja ibunya belum meninggal, pasti mesin jahit itu masih terlihat bersih bahkan tidak ada debu menempel di badannya. Sayangnya sepeninggal ibunya tidak ada lagi tangan yang memegangnya lagi. Walaupun ayahnya sama seperti ibunya; pintar menjahit, tapi tetap saja ia tidak mau menjahit lagi. Katanya, “Menjahit adalah pekerjaan untuk perempuan. Lelaki yang menjahit adalah banci.”

“Kenapa kau menatap mesin jahit itu?” tanya ayahnya ketika ia kepergok melamun sambil melihat mesin jahit lama.

“Tidak ada apa-apa, Yah,” jawabnya gugup.

“Kamu ingin bisa menjahit menggunakan mesin itu?” tanya ayahnya dan ia balas dengan anggukan.

“Baiklah, mulai nanti siang Ayah akan mengajarimu menggunakan mesin jahit itu. Sekarang kamu bersihkan dahulu mesin tersebut.”

Sebuah baju bekas rupa compang-camping ia gunakan untuk mengelap mesin jahit penuh debu. Sesekali kain tersebut ia celupkan ke air yang berada di gayung agar basah. Lalu digunakan sebagai lap kembali hingga mesin jahit yang tadinya terlihat begitu kotor, kini nampak agak bersih dan layak digunakan.

“Apakah kau sudah siap untuk belajar?”

“Siap Ayah,” jawabnya dengan penuh senang.

Ia duduk di sebuah kursi yang berhadapan langsung dengan sang mesin. Sedangkan ayahnya berada di sisi kanan sambil berdiri. Tangannya yang penuh urat menuntun tangan anak gadisnya. Ia memberi tahu satu persatu kegunaan organ-organ yang menempel di mesin jahit itu.

“Kalau sudah siap, roda ini kau putar dan genjot langsung pedal tersebut. Jarumnya akan bergerak sendiri, menjahit baju dengan cepat.”

Ia mulai mempraktikkan apa yang diajari ayahnya. Ia sangat fokus dan konsentrasi terhadap apa yang dikerjakan. Walaupun demikian, jarinya yang mungil tetap tidak terhindarkan dari jarum yang bergerak cukup cepat. Dan tetes demi tetes darah kian keluar dari telunjuknya.

“Kau tidak apa-apa, Nak?”

“Aku tidak apa, Yah.”

“Syukurlah kalau begitu. Aku takut nasibmu seperti ibumu.”

“Maksud Ayah?” Sang gadis kebingungan dengan pernyataan ayahnya. Ia tidak tahu apa hubungannya tertusuk jarum dengan ibunya yang telah meninggal. Lalu kenapa ayahnya menghubungkan hal yang barus saja terjadi dengan kenangan waktu dirinya masih kecil. Segala bentuk pertanyaan menggenangi pikirannya. Ia berprasangka ada rahasia besar yang telah ayahnya tutupi hingga saat ini.

“Maksud Ayah apa? Kenapa Ayah bawa-bawa nama Ibu?” tanya kembali sang gadis karena belum mendapatkan jawaban.

Sang ayah menghela napas cukup panjang. Ia merasa berat untuk menceritakannya.  Namun ia terus disudutkan hingga akhirnya ia terpaksa mulai membuka mulutnya, “Dulu Ayah adalah orang yang tak mempunyai hati. Sering minum-minuman keras, berjudi bahkan bermain perempuan. Dan apa yang Ayah lakukan tentu menyakiti hati ibumu.”

“Lalu apa yang terjadi?”

“Ibumu mengorbankan hatinya untuk aku yang tak punya hati ini. Ia memberanikan diri merobek dadanya sendiri dan dadaku ketika aku sedang tidur. Lalu ia pindahkan hatinya ke dalam dadaku agar aku mempunyai hati yang kelak digunakan untuk dirimu. Setelah itu ia jahit kembali dadaku dan dadanya yang tadinya sobek hingga rapat kembali.”

Sang gadis menangis tersedu mendengar cerita dari ayahnya. Ia tidak menyangka begitu besar kebaikan ibunya. Sampai-sampai ibunya rela mengorbankan dada dan hati untuk ayahnya yang dahulunya bengis. Namun ia tidak mau larut dalam kesedihan. Ia harus bisa seperti ibunya yang mempunyai kebajikan dalam tubuh orang lain.

“Ayah, apakah Ayah bisa mengajariku cara menjahit dada?” pinta sang gadis.

“Untuk apa kau belajar menjahit dada?”

“Agar aku bisa mengisi dada-dada yang kosong dengan kebajikan. Dan menjahit kembali dada mereka dengan kencang hingga kebajikan itu takkan keluar dari dada mereka.”(*)

 

 -----------------------------------------------------------------------------------------------------

Bagus Sulistio, lahir di Banjarnegara, 16 Agustus 2000. Berdomisili di Pondok Pesantren Al-Hidayah, Karangsuci, Purwokerto. Saat ini ia masih berstatus sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab dan mentor kepenulisan cerpen di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) IAIN Purwokerto. Ia juga menjadi wakil ketua Forum Lingkar Pena (FLP) ranting Banjarnegara dan anggota di KPBJ. Karyanya terdokumentasikan dalam beberapa antologi cerpen serta tersiar pada media beberapa media seperti Kompas.id, Minggu Pagi, Solopos, Banjarmasin Post, Harian Sultra dan masih banyak lagi.

0 comments:

Posting Komentar