Sabtu, 03 Oktober 2020

Puisi-puisi Raihan Robby

BY editor IN No comments

 Puisi-puisi Raihan Robby

Cemburu

Api mana yang paling berani
membakar habis diriku
dalam ketidaktahuan cinta yang kau pilih
kau menatap matanya!
kau menatap matanya!

di pohon ini
sebelum kitab kejadian
kita telah berjanji bertukar takdir
masing-masing;
            kau berikan aku sepasang matamu
            dan aku memegang jiwamu
            aku berikan kau sepasang tulangku
            dan kau memegang keabadianku
kita mengukir nama kita di batang pohon ini
dengan kuku-kuku kita
setiap erangan dari pohon ini
bagai lagu cinta untuk kita berdua

tapi kau berkhianat!

kau menatap mata ular itu
tak berkedip sedikitpun
dan ular itu menatap matamu
dalam-dalam
seakan ia ingin melilit dan menelanmu
bulat-bulat
kau menikmati desisnya
yang merayumu untuk memakan buah itu
kau menyukai ketika ia mencekikmu dengan tubuhnya
dan merebah jatuh dalam jilatan lidahnya

Api mana yang paling berani
mengkhianati diriku
dalam penyelingkuhanmu yang memaksaku
menguliti bisa matanya
sementara kau tersedak buah itu
aku mempersiapkan makanan penutup
untuk kita santap berdua
tubuh ular mati yang kau sukai

Api mana yang paling berani

Jakarta, 2020

 




Kotarium

Jakarta tak lebih dari
kali Ciliwung dan pelabuhan Sunda Kelapa
penjelajah Portugis dan Belanda
memercayai muara sebagai jalan terbentuknya
suatu kota yang memajukan peradaban (penjajahan)

Suku-suku terjauh datang berlayar
mengembara
berharap menemukan pantai yang mengaliri
mineral dan pembangunan berkelanjutan
janji adalah janji memajukan maritim
dan masyarakat pesisir
memercayai janji politikus
sama seperti memercayai bahwa laut
akan dengan leluasa menerimamu
tanpa badai
tanpa kemungkinan-kemungkinan disengat ubur-ubur
atau menginjak bulu babi--atau dicapit kepiting
laut adalah janji itu sendiri
dan hanya laut yang menuntaskan janjinya kepada para nelayan
kepada semua yang bergantung hidup dari gelombangnya

Di laut kini
kita tak bicara mitos-mitos lagi
seperti kulit siapa yang licin ketika bersentuhan dengan air
atau paru-paru siapa yang tetap kering tenggelam terteguk air
tak ada pantai, pasir putih, atau ombak yang membawa buih-buihnya menyentuh kaki-kaki
batas antara daratan dan laut kini hanya beton
kau tak akan temukan lagi pesan dalam botol yang terapung
hanya sampah, limbah, bekas pembalut atau kondom seperti ikan berenang
apa yang kau buang ke laut akan kembali kepadamu sebagai cipratan mimpi buruk

Seperti tak ada tempat lagi di daratan
manusia kini membuat pulaunya sendiri
di laut mereka mengubur semen-semen
beton-beton mencampur adukannya
voila!
kau bisa menciptakan pantaimu sendiri
menikmati lautmu sendiri
kelapa dan bakau tidak akan tumbuh dari adukan semen
dan pulau buatan itu tak mampu menahan abrasi air mata para nelayan
yang memandang ke apartemen di tengah laut mereka
ikan-ikan
biota laut
tak pernah percaya pada pulau yang dibuat manusia

Laut memanggil-manggil namamu
kau memandang terlalu jauh
gedung-gedung tinggi
pemancar runcing
lantai-lantai yang menumpuk dirinya sendiri
hidungmu mencium terlalu banyak polusi asap
parfum murah 
minyak rambut bekas

Desir angin laut meniup di belakang telingamu
harum gelombang yang menipis menyentuh kakimu
kau berlari menuju masa kecilmu
ingatan tentang pantai dan lautan
kau membuat istana pasir dari sekop dan ember kecilmu
gemuruh ombak yang bertabrakan
dan menarik punggungmu 
agar kau tercebur kembali ke laut

Sebuah kota mengalami penurunan tanah
centimeter per centimeter setiap tahun
dan sebuah kota akan tenggelam menjadi bagian dari laut
hanyut menjadi memori kolektif dari masa lalu

Jakarta, 2020.

 

 

 

 Teringat Safrina

Pisau telah sampai menusuk leherku 
teriakan hanya menghasilkan serak dan aku masih terus memanggil namamu 
di kejauhan kau tampak bahagia dengan rumah hangat dan canda tawa anak-anakmu
seharusnya adalah aku yang kau tunggu ketika senja tiba di pelataran rumah
dengan secangkir teh panas dan pelukan yang menggebu

Aku adalah masa lalu yang mencoba menulis tentangmu
pada sebuah sejarah yang jauh dari riwayat hidup kita
seperti sejarah, aku pula pantas untuk dilupakan
dan ketika anakmu menemukanku dengan pisau yang telah sampai menusuk leherku
teriakan yang terus memanggil namamu di kejauhan 
meski hanya menghasilkan harapan hitam akan kedatanganmu

Aku terus berteriak sampai kematianku menjadi suara

Jakarta, 2020

 

 

 

Raihan Robby, lahir di Jakarta, 1999. Saat ini sedang tinggal dan belajar di Yogyakarta sebagai mahasiswa Sastra Indonesia UNY, kesehariannya adalah menjadi Kepala Suku Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia, menjuarai berbagai macam lomba cipta puisi, cerpen hingga naskah drama. Beberapa puisinya dapat dibaca di majalah Mata Puisi, haripuisi.com, kibul.in, dan beberapa media online lainnya. Instagram dan Twitternya di @raihanrby. 

0 comments:

Posting Komentar