Cerpen Nina Rahayu Nadea
“Ayah!” Aku berlari
ke arahnya.
“Ada apa?” Langkah
Ayah terhenti. “Mengapa, Yan?” tanyanya kembali.
Aku terdiam. “Ayah
jangan pergi.” Akhirnya keluar dari bibirku, suara yang pelan. “Hujannya sangat
deras.”
Ayah menghela napas.
Mendekat dan membelaiku. “Yan, hujan memang deras. Namun kau tak usah takut.
Hujan itu anugrah. Dan kita tetap harus berjuang untuk hidup walau hujan
deras.”
“Aku ... aku tidak suka hujan, Yah.
Aku benci hujan!”
“Ayah tahu. Namun ada baiknya kau
mulai belajar menghilangkan duka. Ingat semua sudah ada yang mengatur, jangan
pernah takut.”
Hujan adalah bencana
bagiku. Karena hujan, Ibu dan adikku tiada. Aku kehilangan orang tercinta.
Kasih sayangku harus terberai.
Semua begitu cepat. Selalu
terekam dalam ingatan. Masih kuingat saat itu. Di suatu pagi. Pagi yang basah,
karena semalam hujan mengguyur. Kami bergembira menyambut pagi. Tentu bahagia,
karena kami punya kios baru. Kios kecil yang dibangun tepat di depan rumah.
Menutupi selokan besar. Yang paling
berbahagia tentulah Ibu karena sudah lama ingin berjualan.
Kami semua berkemas
menuju kios. Menata barang-barang yang baru dibeli Ayah kemarin sore.
Rencananya hari ini Ibu mulai berjualan.
“Hujan kali ini
mudah-mudahan membawa rezeki. Pertanda baik untuk kita semua.” Ibu memandang ke
luar kios.
“Aamiin. Mi ini pindahkan
ke rak sebelah sana, Bu.” Ayah mengambil mi, menyerahkannya pada Ibu.
Ibu masih asyik
menata, ketika hujan mulai turun. “Yan. Simpan kopi ini ke rumah. Raknya sudah
kepenuhan.”
“Di bawah saja, Bu.
Biar tidak repot mengambil kalau habis.”
“Gampang. Tinggal
ngambil. Lagian di bawah tidak nyaman. Ada tikus.”
“Baik, Bu.”
Baru sebentar berada
di rumah. Ketika tiba-tiba terdengar suara petir begitu besar, diiringi suara
gelegar. Hujan besar tetiba datang.
Beberapa saat aku di
rumah menunggu hujan reda.
Bruuuk.
“Ibu ... Caca!” Suara
dari luar terdengar jelas.
“Ibu ...!” Aku berteriak, berlari
menembus hujan. Kios luluh lantak. Air selokan menguap. Tak kudapati Ibu dan
Caca. “Ibu... Ayah...” Aku histeris.
Berusaha mencari mereka diantara puing reruntuhan.
“Yan! Ibu dan Caca
terseret air.” Tiba-tiba Ayah berdiri di belakangku.
Dari para tetangga
yang bercerita, baru aku tahu bahwa hujan deras telah meruntuhkan kios baru
kami. Air yang meluap membuat kios yang berada di atas selokan ambrol. Tidak
hanya itu mereka membawa hanyut Ibu dan Caca.
“Moga kau bisa segera
ditemukan, Bu.” Aku menyeka air mata.
Satu jam, dua
jam sampai malam... kutunggu tentang
kabar mereka. Namun semua tak ada pertanda. Kabar baru diterima ketika keesokan
harinya. Itu pun kabar yang membuatku sedih. Ibu dan Caca ditemukan sudah
meninggal dengan kondisi saling berpelukan.
Kejadian yang
membuatku begitu terpuruk. Yang lebih membuat semua orang khawatir aku begitu
takut dengan hujan. Aku menjadi seorang yang gemar menyendiri dan selalu mengurung
diri di kamar. Aku hanya bercakap secukupnya, itu pun dengan yang kukenal.
Ayah terus menerus
memotivasiku untuk mengalahkan rasa takut. Namun kiranya semua sia-sia. Fobia tetap
menjadi temanku. Terbalik dengan Ayah. Ia penyuka hujan. Hujan adalah penyemangat baginya. Bersama
hujan Ayah dapat menjumpai berjuta kenangan. Kenangan tentang Ibu dan Caca.
Bermain dalam kenangan, menyeruput bayang-bayang Ibu dan Caca dalam ingatan.
Tak heran jika Ayah begitu giat bekerja. Tak peduli hujan
deras. Petir yang mengilat adalah imaji yang mampu hantarkan kekuatan untuk
bertemu sang dirindu. Pekerjaan Ayah sebagai debt collector di sebuah perusahaan mobil pun terus digeluti,
dengan alasan tadi. Dapat merajut kenangan di alam lepas. Tak heran jika Ayah
menolak tawaran head collector.
Menurutnya itu adalah penjara. Ayah lebih menyukai petualangannya di lapangan,
tentulah berpetualang dengan hujan.
“Kenapa tawaran itu
ditolak, Yah?”
“Ayah ingin tetap
merajut kenangan bersama Ibu dan Caca. Hanya dengan itu Ayah mengobati diri.”
“Merajut kenangan?”
*
“Ayah ...!” Aku terbangun seketika
di suatu malam. Mimpi telah membuatku berpeluh keringat. Semua seolah nyata. Kulihat
Ayah terperangkap dalam hujan. Badan dan tangannya dengan lincah bergerak
menyambut hujan, namun kakinya tak terlihat.
Mimpi buruk itu
ternyata menjadi kenyataan. Ketika beberapa jam kemudian datang seseorang membawa
kabar. Ayah masuk rumah sakit karena mendapat kecelakaan. Kecelakaan yang terjadi
diantara hujan deras. Ah, lagi-lagi karena hujan. Kecelakaan itu membuatku
lebih terpuruk karena Ayah kehilangan kakinya, juga kehilangan pekerjaan yang
selama ini begitu didambanya.
“Yan. Kau tak boleh
bersedih. Harus tetap tersenyum menghadapi hidup. Bangkitlah, Nak. Ayah yakin
suatu saat pasti kau sembuh.” Ayah tersenyum memandangku.
Aku hanya mampu
menangis. Hatiku begitu sedih melihat Ayah tak berdaya. Semakin teriris melihat
ketegaran dan senyum yang tersungging dari bibirnya. Apa yang harus aku
lakukan? Ah, berulang kali aku merutuk diri. Kenapa sekolahku putus? kenapa
selama ini hanya berdiam diri dalam rumah? Kenapa tak pernah membantu Ayah
sedikit pun. Aku begitu tak berguna. Di
usiaku yang dewasa aku terus saja menyusahkan Ayah.
Kuselimuti Ayah yang
terbaring di atas kasur. Kupandangi langit di luar sana. Hujan masih
bergerimis. Suara rintiknya terdengar dari genting jendela. Lagi-lagi hujan. Aku
benci hujan. Hujan itu petaka bagiku.
“Kenapa. Yan?” Suara
Ayah membuatku tersadar. “Dari tadi Ayah lihat kau melamun saja, kenapa?” tanyanya
lagi.
“Tidak apa-apa. Aku
hanya ... malu. Tak bisa berbuat apa-apa. Maafkan aku, Yah.”
“Sudahlah yang
penting kau berdoa saja. Kendati Ayah cacat. Ayah tetap akan menjagamu. Ayah akan
berusaha mencari pekerjaan kembali. Apapun itu asalkan halal.” Ayah menatap
langit-langit kamar. Ada parau dari suaranya. “Yan, di luar masih hujan?”
“Ya,” jawabku pendek.
“Musim penghujan
telah tiba. Semoga membawa berkah.” Ayah membenarkan letak bantalnya, berusaha
pejamkan mata
Aku berjalan
meninggalkan kamar Ayah. Duduk di kursi ruang tamu. Suara rintik hujan masih terdengar.
Menemani kesepian yang semakin merayapi dinding hati. Kusingkap gorden, memerhatikan
hujan.
Tik ... tik ... tik ... suara itu
kembali datang. Berirama. Lambat tapi nyata. Dan tak terasa mengiringiku
seperti nyanyian indah. Aku berjinjit,
membuka pintu luar perlahan. Dingin menusuk kulit. Kutarik jaket menutupi leherku.
Duduk di kursi teras. Kuangkat kaki
tinggi, menghindari dingin yang menusuk.
`Nyanyian hujan terus berada di kepalaku. Kakiku terulur merasakan
dingin yang merambat. “Aku harus membiasakan diri...,” gumamku. “Aku ingin Ayah
bangga, bahwa aku dapat terbebas dari trauma.”
“Aw ...!” Aku kaget. Seketika
hujan deras. Angin bertiup kencang, menjatuhkan rintiknya hingga menerpa
wajahku. Kuusap wajahku yang basah. Tidak kenapa napa bukan? Seperti ada yang
mengguman dalam hatiku. Ingat hujan itu adalah anugerah. Bangkitlah. Rasakan,
hujan itu tidak seperti yang terpikirkan. Tidak menakutkan.
Aku bangkit.
Mengambil payung yang bersandar di samping pintu. Membuka perlahan dan
langkahkan kaki menuju hujan. Kubiarkan kakiku basah. kubuka tangan kananku
lebar, menangkap hujan yang datang, terus
kutangkap. Ah, mengasyikan batinku. Kubuang payung dan kembali bermain menangkap
air hujan yang datang. Hujan tak menyakitkan seperti yang kupikirkan.
Aku harus taklukan hujan.
Tanpa sepengetahuan Ayah
aku belajar. Belajar menjadi seseorang yang kekar. Belajar untuk mandiri. Satu
yang lebih penting. Belajar untuh enyahkan trauma.
Kata Ayah hujan
adalah anugerah. Dan kali ini adalah musim hujan. Aku harus bergerak. Aku harus
berjuang membuat Ayahku bangga. Maka ketika Subuh tiba. Ketika hujan tetap saja
datang. Aku berjuang mengambil beberapa payung di rumahku. Aku bertekad untuk
menaklukan hujan dan membuat Ayah bangga.
*
“Payungnya, Bu...
payungnya ...”
Suaraku bergetar di tengah hujan yang mengguyur.
“Payung!” Suara Ibu
memanggil.
Aku gegas berlari
menuju Ibu yang memanggil. Kuberikan payung padanya. Berjalan perlahan di
belakangnya.
“Makasih, Bu,” ucapku
sumringah ketika Ibu itu memberikan beberapa lembar uang padaku. Dan menjadi
lebih bersemangat untukku agar dapat meraup uang yang lebih.
“Payungnya, Bu.
Payungnya, Pak...” Aku berlari menembus hujan. Rasa bahagia menyelimuti hati.
Bahagia karena ternyata aku sembuh.... Sembuh. Aku berteriak girang. Tak
kuhiraukan berpuluh pasang mata menyaksikan. Ah, biarlah mereka tak akan tahu
bagaimana mulanya aku. Yang penting akan kuteriakan pada mereka. Akulah sang
penunggu hujan. Benar kata Ayah hujan adalah anugrah. Hujan
itu pemberi rezeki.
“Ayah aku pulang!” Aku berteriak dari depan rumah. Ayah pasti berada di kamar. Batinku.
“Yah, maaf aku pulangnya telat. Lihatlah apa yang kubawa. Aku membelikan
makanan untukmu. Makanan kesukaanmu. Rendang.” Aku berdiri di balik pintu
kamarnya. Mengetuk pintu beberapa kali.
Hening. Tak ada
pertanda suara Ayah.
“Yah.” Aku
menyorongkan pintu kamar. “Ayah!” aku terpekik melihat kamar yang berantakan. Atap
kamar ambrol dan mengenai kasur tempat
Ayah tertidur. “Ayah.” Aku membuang kayu-kayu juga genting yang menutupi tubuh
Ayah. Berharap Ayah dapat terselamatkan. “Ayah, aku telah sembuh, Yah. Lihat
yang kubawa.” Aku menggoyangkan tubuhnya. Berharap ia dapat terbangun dan
berkata-kata, seperti malam tadi.***
-----------------------------------------------------------------------------
Nina Rahayu Nadea.
Menulis dalam bahasa Indonesia jeung bahasa Sunda. Karyanya dimuat di: Pikiran Rakyat, Galamedia, Kabar Priangan,
Majalah Kartini, Analisa Medan, Radar Bojonegoro, Majalah Potret Banda Aceh,
Majalah Baca Banda Aceh, Suara Karya, Suara Daerah, Majalah Kandaga, Majalah
Mangle, SundaMidang, Galura, Tabloid
Ganesha, Tribun Jabar, Koran Merapi Yogyakarta, Majalah HAI, Majalah Loka
Tasikmalaya, Majalah Guneman, Sastra
Sumbar, Majalah Bobo, Buletin Jejak, KOMPAS, Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Solo
Pos, Joglo Semar, Radar Banyuwangi, Jabar Ekspres, Majalah Geliat, Rakyat
Sultra-Sulawesi Tenggara, Koran Pantura
Probolinggo, Majalah Cianjur, Koran Haluan Sumatera, FTBM Jabar online, Kompas
Online, dll
Buku
solo yang telah dibuat: diantaranya: Memahar Rembulan (BIP – Gramedia digital),
Ilalang Belakang Sekolah ( BIP- Gramedia digital), Dua Hati (BIP – Gramedia
digital), Menantimu ( di penerbit Anomali), Suara dari Langit (penerbit
Anomali), Bersama Bapak dalam Goresan Tinta (Guneman Publisher). Cerita dari
Sahabat Terbaik (Proses terbit), Kisah 4 Kucing (Proses terbit), Kamu Akhirnya
Bisa Menulis Fiksi dan Nonfiksi (Proses terbit)
0 comments:
Posting Komentar