Sabtu, 17 Oktober 2020

Penunggu Hujan

BY Agus Pribadi IN No comments

 

pixabay.com

Cerpen Nina Rahayu Nadea


“Ayah!” Aku berlari ke arahnya.

“Ada apa?” Langkah Ayah terhenti. “Mengapa, Yan?” tanyanya kembali.

Aku terdiam. “Ayah jangan pergi.” Akhirnya keluar dari bibirku, suara yang pelan. “Hujannya sangat deras.”

Ayah menghela napas. Mendekat dan membelaiku. “Yan, hujan memang deras. Namun kau tak usah takut. Hujan itu anugrah. Dan kita tetap harus berjuang untuk hidup walau hujan deras.”

“Aku ... aku tidak suka hujan, Yah. Aku benci hujan!”

“Ayah tahu. Namun ada baiknya kau mulai belajar menghilangkan duka. Ingat semua sudah ada yang mengatur, jangan pernah takut.”

Hujan adalah bencana bagiku. Karena hujan, Ibu dan adikku tiada. Aku kehilangan orang tercinta. Kasih sayangku harus terberai.

Semua begitu cepat. Selalu terekam dalam ingatan. Masih kuingat saat itu. Di suatu pagi. Pagi yang basah, karena semalam hujan mengguyur. Kami bergembira menyambut pagi. Tentu bahagia, karena kami punya kios baru. Kios kecil yang dibangun tepat di depan rumah. Menutupi selokan besar.  Yang paling berbahagia tentulah Ibu karena sudah lama  ingin berjualan.

Kami semua berkemas menuju kios. Menata barang-barang yang baru dibeli Ayah kemarin sore. Rencananya hari ini Ibu mulai berjualan.

“Hujan kali ini mudah-mudahan membawa rezeki. Pertanda baik untuk kita semua.” Ibu memandang ke luar kios.

“Aamiin. Mi ini pindahkan ke rak sebelah sana, Bu.” Ayah mengambil mi, menyerahkannya pada Ibu.

Ibu masih asyik menata, ketika hujan mulai turun. “Yan. Simpan kopi ini ke rumah. Raknya sudah kepenuhan.”

“Di bawah saja, Bu. Biar tidak repot mengambil kalau habis.”

“Gampang. Tinggal ngambil. Lagian di bawah tidak nyaman. Ada tikus.”

“Baik, Bu.”

Baru sebentar berada di rumah. Ketika tiba-tiba terdengar suara petir begitu besar, diiringi suara gelegar. Hujan besar tetiba datang.

Beberapa saat aku di rumah menunggu hujan reda.

Bruuuk.

“Ibu ... Caca!” Suara dari luar terdengar jelas.

“Ibu ...!” Aku berteriak, berlari menembus hujan. Kios luluh lantak. Air selokan menguap. Tak kudapati Ibu dan Caca.  “Ibu... Ayah...” Aku histeris. Berusaha mencari mereka diantara puing  reruntuhan.

“Yan! Ibu dan Caca terseret air.” Tiba-tiba Ayah berdiri di belakangku.

Dari para tetangga yang bercerita, baru aku tahu bahwa hujan deras telah meruntuhkan kios baru kami. Air yang meluap membuat kios yang berada di atas selokan ambrol. Tidak hanya itu mereka membawa hanyut Ibu dan Caca.

“Moga kau bisa segera ditemukan, Bu.” Aku menyeka air mata.

Satu jam, dua jam  sampai malam... kutunggu tentang kabar mereka. Namun semua tak ada pertanda. Kabar baru diterima ketika keesokan harinya. Itu pun kabar yang membuatku sedih. Ibu dan Caca ditemukan sudah meninggal dengan kondisi saling berpelukan.

Kejadian yang membuatku begitu terpuruk. Yang lebih membuat semua orang khawatir aku begitu takut dengan hujan. Aku menjadi seorang yang gemar menyendiri dan selalu mengurung diri di kamar. Aku hanya bercakap secukupnya, itu pun dengan yang kukenal.

Ayah terus menerus memotivasiku untuk mengalahkan rasa takut.  Namun kiranya semua sia-sia. Fobia tetap menjadi temanku. Terbalik dengan Ayah. Ia penyuka hujan.  Hujan adalah penyemangat baginya. Bersama hujan Ayah dapat menjumpai berjuta kenangan. Kenangan tentang Ibu dan Caca. Bermain dalam kenangan, menyeruput bayang-bayang Ibu dan Caca dalam ingatan.

Tak heran  jika Ayah begitu giat bekerja. Tak peduli hujan deras. Petir yang mengilat adalah imaji yang mampu hantarkan kekuatan untuk bertemu sang dirindu. Pekerjaan Ayah sebagai debt collector di sebuah perusahaan mobil pun terus digeluti, dengan alasan tadi. Dapat merajut kenangan di alam lepas. Tak heran jika Ayah menolak tawaran head collector. Menurutnya itu adalah penjara. Ayah lebih menyukai petualangannya di lapangan, tentulah berpetualang dengan hujan.

“Kenapa tawaran itu ditolak, Yah?”

“Ayah ingin tetap merajut kenangan bersama Ibu dan Caca. Hanya dengan itu Ayah mengobati diri.”

“Merajut kenangan?”

*

“Ayah ...!” Aku terbangun seketika di suatu malam. Mimpi telah membuatku berpeluh keringat. Semua seolah nyata. Kulihat Ayah terperangkap dalam hujan. Badan dan tangannya dengan lincah bergerak menyambut hujan, namun kakinya tak terlihat.

Mimpi buruk itu ternyata menjadi kenyataan. Ketika beberapa jam kemudian datang seseorang membawa kabar. Ayah masuk rumah sakit karena mendapat kecelakaan. Kecelakaan yang terjadi diantara hujan deras. Ah, lagi-lagi karena hujan. Kecelakaan itu membuatku lebih terpuruk karena Ayah kehilangan kakinya, juga kehilangan pekerjaan yang selama ini begitu didambanya.

“Yan. Kau tak boleh bersedih. Harus tetap tersenyum menghadapi hidup. Bangkitlah, Nak. Ayah yakin suatu saat pasti kau sembuh.” Ayah tersenyum memandangku.

Aku hanya mampu menangis. Hatiku begitu sedih melihat Ayah tak berdaya. Semakin teriris melihat ketegaran dan senyum yang tersungging dari bibirnya. Apa yang harus aku lakukan? Ah, berulang kali aku merutuk diri. Kenapa sekolahku putus? kenapa selama ini hanya berdiam diri dalam rumah? Kenapa tak pernah membantu Ayah sedikit pun.  Aku begitu tak berguna. Di usiaku yang dewasa aku terus saja menyusahkan Ayah.

Kuselimuti Ayah yang terbaring di atas kasur. Kupandangi langit di luar sana. Hujan masih bergerimis. Suara rintiknya terdengar dari genting jendela. Lagi-lagi hujan. Aku benci hujan. Hujan itu petaka bagiku.

“Kenapa. Yan?” Suara Ayah membuatku tersadar. “Dari tadi Ayah lihat kau melamun saja, kenapa?” tanyanya lagi.

“Tidak apa-apa. Aku hanya ... malu. Tak bisa berbuat apa-apa. Maafkan aku, Yah.”

“Sudahlah yang penting kau berdoa saja. Kendati Ayah cacat. Ayah tetap akan menjagamu. Ayah akan berusaha mencari pekerjaan kembali. Apapun itu asalkan halal.” Ayah menatap langit-langit kamar. Ada parau dari suaranya. “Yan, di luar masih hujan?”

“Ya,” jawabku pendek.

“Musim penghujan telah tiba. Semoga membawa berkah.” Ayah membenarkan letak bantalnya, berusaha pejamkan mata

Aku berjalan meninggalkan kamar Ayah. Duduk di kursi ruang tamu. Suara rintik hujan masih terdengar. Menemani kesepian  yang semakin merayapi  dinding hati. Kusingkap gorden, memerhatikan hujan.

Tik ... tik ... tik ... suara itu kembali datang. Berirama. Lambat tapi nyata. Dan tak terasa mengiringiku seperti nyanyian indah. Aku berjinjit, membuka pintu luar perlahan. Dingin menusuk kulit. Kutarik jaket menutupi leherku. Duduk  di kursi teras. Kuangkat kaki tinggi, menghindari dingin yang menusuk.

`Nyanyian hujan  terus berada di kepalaku. Kakiku terulur merasakan dingin yang merambat. “Aku harus membiasakan diri...,” gumamku. “Aku ingin Ayah bangga, bahwa aku dapat terbebas dari trauma.”

“Aw ...!” Aku kaget. Seketika hujan deras. Angin bertiup kencang, menjatuhkan rintiknya hingga menerpa wajahku. Kuusap wajahku yang basah. Tidak kenapa napa bukan? Seperti ada yang mengguman dalam hatiku. Ingat hujan itu adalah anugerah. Bangkitlah. Rasakan, hujan itu tidak seperti yang terpikirkan. Tidak menakutkan.

Aku bangkit. Mengambil payung yang bersandar di samping pintu. Membuka perlahan dan langkahkan kaki menuju hujan. Kubiarkan kakiku basah. kubuka tangan kananku lebar, menangkap hujan yang datang,  terus kutangkap. Ah, mengasyikan batinku. Kubuang payung dan kembali bermain menangkap air hujan yang datang. Hujan tak menyakitkan seperti yang  kupikirkan.  Aku harus taklukan hujan.

Tanpa sepengetahuan Ayah aku belajar. Belajar menjadi seseorang yang kekar. Belajar untuk mandiri. Satu yang lebih penting. Belajar untuh enyahkan trauma.

Kata Ayah hujan adalah anugerah. Dan kali ini adalah musim hujan. Aku harus bergerak. Aku harus berjuang membuat Ayahku bangga. Maka ketika Subuh tiba. Ketika hujan tetap saja datang. Aku berjuang mengambil beberapa payung di rumahku. Aku bertekad untuk menaklukan hujan dan membuat Ayah bangga.

*

“Payungnya, Bu... payungnya ...” Suaraku bergetar di tengah hujan yang mengguyur.

“Payung!” Suara Ibu memanggil.

Aku gegas berlari menuju Ibu yang memanggil. Kuberikan payung padanya. Berjalan perlahan di belakangnya.

“Makasih, Bu,” ucapku sumringah ketika Ibu itu memberikan beberapa lembar uang padaku. Dan menjadi lebih bersemangat untukku agar dapat meraup uang yang lebih.

“Payungnya, Bu. Payungnya, Pak...” Aku berlari menembus hujan. Rasa bahagia menyelimuti hati. Bahagia karena ternyata aku sembuh.... Sembuh. Aku berteriak girang. Tak kuhiraukan berpuluh pasang mata menyaksikan. Ah, biarlah mereka tak akan tahu bagaimana mulanya aku. Yang penting akan kuteriakan pada mereka. Akulah sang penunggu hujan.   Benar kata Ayah hujan adalah anugrah. Hujan itu pemberi rezeki.

“Ayah aku pulang!”  Aku berteriak dari depan rumah. Ayah pasti berada di kamar. Batinku. “Yah, maaf aku pulangnya telat. Lihatlah apa yang kubawa. Aku membelikan makanan untukmu. Makanan kesukaanmu. Rendang.” Aku berdiri di balik pintu kamarnya. Mengetuk pintu beberapa kali.

Hening. Tak ada pertanda suara Ayah.

“Yah.” Aku menyorongkan pintu kamar. “Ayah!” aku terpekik melihat kamar yang berantakan. Atap kamar ambrol dan mengenai  kasur tempat Ayah tertidur. “Ayah.” Aku membuang kayu-kayu juga genting yang menutupi tubuh Ayah. Berharap Ayah dapat terselamatkan. “Ayah, aku telah sembuh, Yah. Lihat yang kubawa.” Aku menggoyangkan tubuhnya. Berharap ia dapat terbangun dan berkata-kata, seperti malam tadi.***

-----------------------------------------------------------------------------

Nina Rahayu Nadea. Menulis dalam bahasa Indonesia jeung bahasa Sunda. Karyanya dimuat di:  Pikiran Rakyat, Galamedia, Kabar Priangan, Majalah Kartini, Analisa Medan, Radar Bojonegoro, Majalah Potret Banda Aceh, Majalah Baca Banda Aceh, Suara Karya, Suara Daerah, Majalah Kandaga, Majalah Mangle, SundaMidang, Galura,  Tabloid Ganesha, Tribun Jabar, Koran Merapi Yogyakarta, Majalah HAI, Majalah Loka Tasikmalaya, Majalah Guneman,  Sastra Sumbar, Majalah Bobo, Buletin Jejak, KOMPAS, Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Solo Pos, Joglo Semar, Radar Banyuwangi, Jabar Ekspres, Majalah Geliat, Rakyat Sultra-Sulawesi Tenggara,  Koran Pantura Probolinggo, Majalah Cianjur, Koran Haluan Sumatera, FTBM Jabar online, Kompas Online, dll

Buku solo yang telah dibuat: diantaranya: Memahar Rembulan (BIP – Gramedia digital), Ilalang Belakang Sekolah ( BIP- Gramedia digital), Dua Hati (BIP – Gramedia digital), Menantimu ( di penerbit Anomali), Suara dari Langit (penerbit Anomali), Bersama Bapak dalam Goresan Tinta (Guneman Publisher). Cerita dari Sahabat Terbaik (Proses terbit), Kisah 4 Kucing (Proses terbit), Kamu Akhirnya Bisa Menulis Fiksi dan Nonfiksi (Proses terbit) 


0 comments:

Posting Komentar