Sabtu, 24 Oktober 2020

Lelaki Penjaja Puisi

BY Agus Pribadi IN No comments

pixabay.com


Cerpen Riswandi

 

Aku mengamati lelaki setengah baya itu sejak awal keberadaannya di sana. Mungkin sekitar sebulan yang lalu. Aku lupa tepatnya. Tapi, aku ingat bagaimana dia melobi security toko agar dibolehkan menyapa para pengunjung di samping pintu masuk.

 Tentu saja semula keinginannya ditolak mentah-mentah. “Di sini tidak boleh mengamen, Pak!” Security yang masih muda itu berulang kali mengatakan hal itu.

“Saya tidak mengamen, Pak. Saya di sini hanya dua jam, untuk menawarkan puisi saya kepada para pengunjung. Saya janji, Pak, hanya dua jam sehari sehabis Asar.” Lelaki tua itu memohon dengan mimik memelas.

“Itu apa namanya kalau bukan ngamen?” Wajah security tampak kesal.

Kegigihan lelaki itu yang membuatku tertarik mengamatinya. Setiap hari, dalam seminggu ia terus memohon agar diizinkan menawarkan puisi di sana. Hingga akhirnya pemilik toko buku terbesar di Yogyakarta itu memberinya izin.

Itulah dia. Lelaki setengah baya penjaja puisi. Ia akan berdiri di samping pintu keluar masuk toko selepas Asar hingga dua jam ke depan. Jas hitam di tubuhnya telah kecokelatan di beberapa bagian. Warna dasi yang dikenakan tak lagi jelas. Merah buluk. Celana panjang hitam yang dikenakannya berpadu dengan sepatu kulit yang usang. Wajahnya terlihat bersih meskipun tampak sedikit pucat. Dari kios rokok tempatku berjualan di samping pintu masuk parkiran toko, aku mampu mendengar intonasi suaranya dengan jelas.

Sesekali aku mendekati lelaki itu. Sekadar melintas. Tidak untuk menegur. Saat aku melintas di depannya, aroma parfum yang cukup menyegarkan tercium dari badannya. Namun, penampilannya membuat orang-orang yang keluar dari toko memandang sebelah mata.

“Sudikah Tuan dan Nyonya mendengarkan puisi hamba?” ucapnya pada orang-orang yang keluar toko. Kebanyakan dari mereka memandang lelaki itu sekilas. Tanpa senyum. Lantas melekaskan langkah menuju mobil atau motor terparkir.

Bibir lelaki itu melukis lengkung. “Masih banyak pengunjung yang mungkin mau mendengar puisi.” Mungkin begitu kata hatinya setiap mendapatkan penolakan dari pengunjung.

Wajah lelaki itu tampak menyala saat seorang pemuda keluar sambil membaca buku. Ia mengintip judul buku bersampul cokelat berpadu merah saat sang pemuda lewat di depannya.

“Aku ini binatang jalang. Dari kumpulannya terbuang,” ucapnya dengan lantang.

Sang pemuda berhenti, lalu berpaling dan menatapnya. Dahinya mengerut. “Bapak tahu puisi itu?”

Lelaki itu terkekeh. “Siapa yang tidak tahu puisi Chairil Anwar?” Ia kembali terkekeh. “Apa kau mencintai puisi, Anak Muda?”

Pemuda itu menggeleng. Ia meliarkan pandangan ke pelataran toko, seperti enggan menanggapi omongan lelaki di depannya.

“Maukah kau mendengarkan puisiku, Anak Muda?”

Pemuda itu kembali menatap lelaki yang memandangnya penuh harap. Tangan kanannya merogoh saku celana. Selembar uang lima ribuan ia sodorkan.

“Maaf, saya sedang terburu-buru!” Ia menjatuhkan uang itu, karena lelaki tua itu tidak mengambilnya. Ia bergegas menuju motor sport yang terparkir di halaman toko.

Lelaki tua itu mendesah. Dengan lunglai dipungutnya uang tadi, lalu dimasukkan ke dalam kotak kaca bertuliskan kotak amal yang terpajang di samping pintu toko.

Berkali-kali selama beberapa hari lelaki itu setia menawarkan hal serupa. Tapi, hanya segelintir orang yang merespon hangat. Selebihnya, picingan mata, langkah tergesa, palingan muka, juga gerutu tak jelas yang ia dapatkan. Meski begitu, ia terus menjajakan puisinya. Hanya untuk didengar, bukan minta dibeli. Namun, hingga hari ke-27 tak juga ada yang mau mendengarnya dengan serius. Lelaki itu hampir putus asa.

“Zaman sekarang puisi tak ada harganya.” Ia berkata saat membeli sebatang rokok di kiosku. Wajahnya tampak mengguratkan kelelahan. Bukan hanya raga, tapi juga jiwa. Angan lelaki tua itu seperti sedang mengembara. Ia mengisap rokoknya dalam-dalam, menahan asap yang memenuhi rongga pernapasannya beberapa saat, lalu mengembuskannya dengan perlahan.

“Apa kamu mau mendengarkan puisiku, Mas?” Pertanyaannya membuatku sedikit terkejut.

“Apa arti puisi bagi penjual rokok seperti saya, Pak?”

Ia terkekeh. “Puisi tidak mengenal kasta, Mas. Hidup kita ini sendiri adalah sebuah puisi. Masa lalu, masa kini, dan masa depan adalah puisi. Impian-impian kita, impian anak-anak kita adalah puisi.” Mata lelaki itu menewarang jauh. “Nasib yang kita hadapi, takdir yang kita jalani, bisa jadi hanyalah sebatas permainan kata-kata para pujangga.”

Aku memandang wajahnya. Penderitaan batin tercermin jelas dalam tatapannya.

Ia baru saja mematikan rokoknya saat seseorang menghampiri kami.

“Boleh saya mendengarkan puisi Bapak?”

Suara itu pelan, tapi mampu membuat mata yang dikelilingi kulit keriput menjadi segar. Lelaki itu segera bangkit, memutar badan, mencari asal suara. Seorang pemuda berkaos krem biru dengan topi cokelat tersenyum memandangnya.

“Boleh saya mendengarkan puisi Bapak?” tanyanya sekali lagi.

“Yakin kamu mau mendengarnya, Anak Muda?” Lelaki itu menatap si pemuda, seolah meminta kepastian.

Si pemuda mengangguk mantap.

Lelaki itu merapikan baju, seakan hendak tampil di panggung pertunjukan. Ia mengambil lipatan kertas yang terlihat sudah lusuh di saku baju, lalu membukanya. Tidak lama kemudian, suaranya mengalun hingga terdengar ke dalam toko. Orang-orang terdiam sejenak dari aktivitasnya. Mereka ikut menikmati alunan suara lelaki itu.

 

Pemburu Embun

 

Aku pemburu embun

Berbekal lubuk seluas samudra

Sesal sekujur saraf jadi senjata

Pun ratap yang merimbun

 

Aku pernah terjerat kelam

Terpikat rupa; terlekat alpa

Membakar ruang antara kita

Kau menjauh; aku berdebam

 

Aku pemburu embun

Berpeluk rindu berhalimun

Saat fajar memagut sinar

Dan aroma sekar menguar

 

Tak ada hujan katamu

Tuk dinginkan kalbu

Pun begitu dengan angin

Tak lagi mampu menyejukkan

 

“Maaf! Tak ada maaf untukmu.”

Ucapmu meluruhkan egoku

 

Tidakkah kau simpan embun?

Setetes; hanya setetes

“Tidak! Ia ‘tlah menguap.

Lenyap!

Bersama sajak-sajakmu!”

 

Yogyakarta, Maret 2004

 

Air bening mengembun di kelopak mata lelaki itu. Suasana menjadi sunyi. Hening. Semua sibuk dengan suasana hati masing-masing. Sebuah tepuk tangan membangunkan semuanya. Suara berubah riuh saat tepukan tangan saling bersaut. Air bening semakin santer mengalir dari sudut mata lelaki itu. Bibirnya melukis sebuah senyum: antara sedih dan bahagia.

****

Keesokan hari dan hari-hari berikutnya Si Pemuda rutin mengunjungi lelaki itu. Mereka sering ngobrol di samping kiosku. Hampir setiap hari, selepas Asar dia ke sini. Dan setiap datang, ia meminta dibacakan puisi yang berbeda. Bukan cuma satu, kadang tiga atau lima puisi. Lelaki itu senang karena ada yang mengapresiasi puisinya. Puisi yang selama ini dijajakannya kepada orang-orang.

“Luar biasa!” puji Sang Pemuda setelah lelaki itu membacakan puisi keempatnya hari ini. “Bagaimana Bapak bisa menulis puisi sebanyak ini?”

“Ah, itu hanya catatan yang aku torehkan, Anak Muda. Catatan selama aku mencari keberadaan istri dan anakku. Puisi pertama yang kau dengar beberapa hari lalu adalah awal pencarianku. Enam belas tahun silam.”

Sang Pemuda memandang wajah keriput di depannya. Aku melihat matanya berkaca-kaca.

“Ah, harusnya kau paham isi puisiku itu, Anak Muda. Inilah aku. Seorang pemburu pengampunan dari istri dan anakku.” Mata yang sudah cekung itu menerawang jauh.

“Kenapa?” Si Pemuda itu mengusap matanya dengan punggung tangan.

“Kenapa? Kenapa pertanyaan itu tak muncul waktu itu di benakku. Kenapa aku harus bersikukuh menjadi pemuisi dan mengabaikan mereka? Kenapa?” ucap lelaki itu seolah bicara dengan dirinya sendiri. “Ah, sudahlah! Aku sudah senang ada orang yang mau mendengar puisi-puisiku. Terima kasih, Anak Muda. Sudah sebulan lebih aku di sini. Sudah saatnya aku menjajakan puisi di tempat lain, sambil berharap dapat bertemu istri dan anakku. Sebab, hanya itu yang dapat aku lakukan untuk menebus kesalahan. Penyesalan dan harapan bertemu dengan merekalah yang membuatku bertahan hingga kini. Selamat tinggal, Anak Muda!”

Usai mengucapkannya, setelah berpamitan padaku dan kepada Si Pemuda, lelaki itu melangkah menyeberangi jalanan yang ramai.

Aku melihat Si Pemuda ingin menahan langkah lelaki itu. Namun, mulutnya tak mampu berkata. Lelaki itu melangkah mantap meninggalkan pelataran parkir toko. Si Pemuda memandanginya dengan mata yang kembali basah. Aku hanya memandanginya.

Lamat-lamat aku mendengar Si Pemuda itu berujar lirih.

“Ayah, tak bisakah kau mengenali putramu sendiri?”(*)

 

 

Tangerang Selatan, Agustus 2020

 

---------------------------------------------------------------------------------------

Riswandi, lahir di Kebumen, 19 Maret 1981. Sekarang tinggal di Pamulang, Tangerang Selatan. Seorang driver ojek online yang suka dan sedang belajar menulis fiksi. Antologi cerpen yang pernah diikuti:

-          Janda Hamida dan Langit yang Terbelah (Antologi LCMBUA #9)

-          Reuni, Nostalgia Kata-kata (Antologi 10 tahun LCMBUA)

 

0 comments:

Posting Komentar