Cerpen
Riswandi
Aku mengamati lelaki setengah baya itu
sejak awal keberadaannya di sana. Mungkin sekitar sebulan yang lalu. Aku lupa
tepatnya. Tapi, aku ingat bagaimana dia melobi security toko agar dibolehkan
menyapa para pengunjung di samping pintu masuk.
Tentu saja semula keinginannya ditolak
mentah-mentah. “Di sini tidak boleh mengamen, Pak!” Security yang masih muda
itu berulang kali mengatakan hal itu.
“Saya tidak mengamen, Pak. Saya di
sini hanya dua jam, untuk menawarkan puisi saya kepada para pengunjung. Saya
janji, Pak, hanya dua jam sehari sehabis Asar.” Lelaki tua itu memohon dengan
mimik memelas.
“Itu apa namanya kalau bukan ngamen?”
Wajah security tampak kesal.
Kegigihan lelaki itu yang membuatku
tertarik mengamatinya. Setiap hari, dalam seminggu ia terus memohon agar
diizinkan menawarkan puisi di sana. Hingga akhirnya pemilik toko buku terbesar
di Yogyakarta itu memberinya izin.
Itulah dia. Lelaki setengah baya
penjaja puisi. Ia akan berdiri di samping pintu keluar masuk toko selepas Asar
hingga dua jam ke depan. Jas hitam di tubuhnya telah kecokelatan di beberapa
bagian. Warna dasi yang dikenakan tak lagi jelas. Merah buluk. Celana panjang hitam
yang dikenakannya berpadu dengan sepatu kulit yang usang. Wajahnya terlihat
bersih meskipun tampak sedikit pucat. Dari kios rokok tempatku berjualan di
samping pintu masuk parkiran toko, aku mampu mendengar intonasi suaranya dengan
jelas.
Sesekali aku mendekati lelaki itu.
Sekadar melintas. Tidak untuk menegur. Saat aku melintas di depannya, aroma
parfum yang cukup menyegarkan tercium dari badannya. Namun, penampilannya
membuat orang-orang yang keluar dari toko memandang sebelah mata.
“Sudikah Tuan dan Nyonya mendengarkan
puisi hamba?” ucapnya pada orang-orang yang keluar toko. Kebanyakan dari mereka
memandang lelaki itu sekilas. Tanpa senyum. Lantas melekaskan langkah menuju
mobil atau motor terparkir.
Bibir lelaki itu melukis lengkung.
“Masih banyak pengunjung yang mungkin mau mendengar puisi.” Mungkin begitu kata
hatinya setiap mendapatkan penolakan dari pengunjung.
Wajah lelaki itu tampak menyala saat seorang
pemuda keluar sambil membaca buku. Ia mengintip judul buku bersampul cokelat
berpadu merah saat sang pemuda lewat di depannya.
“Aku ini binatang jalang. Dari
kumpulannya terbuang,” ucapnya dengan lantang.
Sang pemuda berhenti, lalu berpaling
dan menatapnya. Dahinya mengerut. “Bapak tahu puisi itu?”
Lelaki itu terkekeh. “Siapa yang tidak
tahu puisi Chairil Anwar?” Ia kembali terkekeh. “Apa kau mencintai puisi, Anak
Muda?”
Pemuda itu menggeleng. Ia meliarkan
pandangan ke pelataran toko, seperti enggan menanggapi omongan lelaki di
depannya.
“Maukah kau mendengarkan puisiku, Anak
Muda?”
Pemuda itu kembali menatap lelaki yang
memandangnya penuh harap. Tangan kanannya merogoh saku celana. Selembar uang
lima ribuan ia sodorkan.
“Maaf, saya sedang terburu-buru!” Ia menjatuhkan
uang itu, karena lelaki tua itu tidak mengambilnya. Ia bergegas menuju motor
sport yang terparkir di halaman toko.
Lelaki tua itu mendesah. Dengan lunglai
dipungutnya uang tadi, lalu dimasukkan ke dalam kotak kaca bertuliskan kotak
amal yang terpajang di samping pintu toko.
Berkali-kali selama beberapa hari lelaki
itu setia menawarkan hal serupa. Tapi, hanya segelintir orang yang merespon
hangat. Selebihnya, picingan mata, langkah tergesa, palingan muka, juga gerutu
tak jelas yang ia dapatkan. Meski begitu, ia terus menjajakan puisinya. Hanya
untuk didengar, bukan minta dibeli. Namun, hingga hari ke-27 tak juga ada yang
mau mendengarnya dengan serius. Lelaki itu hampir putus asa.
“Zaman sekarang puisi tak ada harganya.”
Ia berkata saat membeli sebatang rokok di kiosku. Wajahnya tampak mengguratkan
kelelahan. Bukan hanya raga, tapi juga jiwa. Angan lelaki tua itu seperti
sedang mengembara. Ia mengisap rokoknya dalam-dalam, menahan asap yang memenuhi
rongga pernapasannya beberapa saat, lalu mengembuskannya dengan perlahan.
“Apa kamu mau mendengarkan puisiku, Mas?”
Pertanyaannya membuatku sedikit terkejut.
“Apa arti puisi bagi penjual rokok
seperti saya, Pak?”
Ia terkekeh. “Puisi tidak mengenal
kasta, Mas. Hidup kita ini sendiri adalah sebuah puisi. Masa lalu, masa kini,
dan masa depan adalah puisi. Impian-impian kita, impian anak-anak kita adalah
puisi.” Mata lelaki itu menewarang jauh. “Nasib yang kita hadapi, takdir yang
kita jalani, bisa jadi hanyalah sebatas permainan kata-kata para pujangga.”
Aku memandang wajahnya. Penderitaan
batin
tercermin jelas dalam tatapannya.
Ia baru saja mematikan rokoknya saat
seseorang menghampiri kami.
“Boleh saya mendengarkan puisi Bapak?”
Suara itu pelan, tapi mampu membuat
mata yang dikelilingi kulit keriput menjadi segar. Lelaki itu segera bangkit,
memutar badan, mencari asal suara. Seorang pemuda berkaos krem biru dengan topi
cokelat tersenyum memandangnya.
“Boleh saya mendengarkan puisi Bapak?”
tanyanya sekali lagi.
“Yakin kamu mau mendengarnya, Anak
Muda?” Lelaki itu menatap si pemuda, seolah meminta kepastian.
Si pemuda mengangguk mantap.
Lelaki itu merapikan baju, seakan
hendak tampil di panggung pertunjukan. Ia mengambil lipatan kertas yang
terlihat sudah lusuh di saku baju, lalu membukanya. Tidak lama kemudian, suaranya
mengalun hingga terdengar ke dalam toko. Orang-orang terdiam sejenak dari
aktivitasnya. Mereka ikut menikmati alunan suara lelaki itu.
Pemburu
Embun
Aku pemburu embun
Berbekal lubuk seluas samudra
Sesal sekujur saraf jadi
senjata
Pun ratap yang merimbun
Aku pernah terjerat kelam
Terpikat rupa; terlekat alpa
Membakar ruang antara kita
Kau menjauh; aku berdebam
Aku pemburu embun
Berpeluk rindu berhalimun
Saat fajar memagut sinar
Dan aroma sekar menguar
Tak ada hujan katamu
Tuk dinginkan kalbu
Pun begitu dengan angin
Tak lagi mampu menyejukkan
“Maaf! Tak ada maaf untukmu.”
Ucapmu meluruhkan egoku
Tidakkah kau simpan embun?
Setetes; hanya setetes
“Tidak! Ia ‘tlah menguap.
Lenyap!
Bersama sajak-sajakmu!”
Yogyakarta, Maret 2004
Air bening
mengembun di kelopak mata lelaki itu. Suasana menjadi sunyi. Hening. Semua sibuk
dengan suasana hati masing-masing. Sebuah tepuk tangan membangunkan semuanya.
Suara berubah riuh saat tepukan tangan saling bersaut. Air bening semakin
santer mengalir dari sudut mata lelaki itu. Bibirnya melukis sebuah senyum: antara
sedih dan bahagia.
****
Keesokan hari dan
hari-hari berikutnya Si Pemuda rutin mengunjungi lelaki itu. Mereka sering
ngobrol di samping kiosku. Hampir setiap hari, selepas Asar dia ke sini. Dan
setiap datang, ia meminta dibacakan puisi yang berbeda. Bukan cuma satu, kadang
tiga atau lima puisi. Lelaki itu senang karena ada yang mengapresiasi puisinya.
Puisi yang selama ini dijajakannya kepada orang-orang.
“Luar biasa!” puji
Sang Pemuda setelah lelaki itu membacakan puisi keempatnya hari ini. “Bagaimana
Bapak bisa menulis puisi sebanyak ini?”
“Ah, itu hanya
catatan yang aku torehkan, Anak Muda. Catatan selama aku mencari keberadaan
istri dan anakku. Puisi pertama yang kau dengar beberapa hari lalu adalah awal
pencarianku. Enam belas tahun silam.”
Sang Pemuda
memandang wajah keriput di depannya. Aku melihat matanya berkaca-kaca.
“Ah, harusnya kau
paham isi puisiku itu, Anak Muda. Inilah aku. Seorang pemburu pengampunan dari
istri dan anakku.” Mata yang sudah cekung itu menerawang jauh.
“Kenapa?” Si Pemuda
itu mengusap matanya dengan punggung tangan.
“Kenapa? Kenapa pertanyaan
itu tak muncul waktu itu di benakku. Kenapa aku harus bersikukuh menjadi
pemuisi dan mengabaikan mereka? Kenapa?” ucap lelaki itu seolah bicara dengan
dirinya sendiri. “Ah, sudahlah! Aku sudah senang ada orang yang mau mendengar
puisi-puisiku. Terima kasih, Anak Muda. Sudah sebulan lebih aku di sini. Sudah
saatnya aku menjajakan puisi di tempat lain, sambil berharap dapat bertemu istri
dan anakku. Sebab, hanya itu yang dapat aku lakukan untuk menebus kesalahan. Penyesalan
dan harapan bertemu dengan merekalah yang membuatku bertahan hingga kini. Selamat
tinggal, Anak Muda!”
Usai
mengucapkannya, setelah berpamitan padaku dan kepada Si Pemuda, lelaki itu
melangkah menyeberangi jalanan yang ramai.
Aku melihat Si
Pemuda ingin menahan langkah lelaki itu. Namun, mulutnya tak mampu berkata.
Lelaki itu melangkah mantap meninggalkan pelataran parkir toko. Si Pemuda
memandanginya dengan mata yang kembali basah. Aku hanya memandanginya.
Lamat-lamat aku
mendengar Si Pemuda itu berujar lirih.
“Ayah, tak bisakah
kau mengenali putramu sendiri?”(*)
Tangerang
Selatan, Agustus 2020
---------------------------------------------------------------------------------------
Riswandi,
lahir di
Kebumen, 19 Maret 1981. Sekarang tinggal di Pamulang, Tangerang Selatan.
Seorang driver ojek online yang suka dan sedang belajar menulis fiksi. Antologi
cerpen yang pernah diikuti:
-
Janda
Hamida dan Langit yang Terbelah (Antologi LCMBUA #9)
-
Reuni,
Nostalgia Kata-kata (Antologi 10 tahun LCMBUA)
0 comments:
Posting Komentar