Sabtu, 10 Oktober 2020

Kisah Sebutir Peluru

BY Agus Pribadi IN No comments

 

pixabay.com


Cerpen Syukur Budiardjo

Sudah hampir sebulan lelaki sangat tua itu mencari alamat seseorang di Jakarta. Baik melalui buku telepon maupun media sosial. Karena ia tak berputus asa, alamat seseorang yang dicarinya itu akhirnya ditemukan juga. Wajahnya cerah!

Di kota pusat pemerintahan ini ia tak perlu tinggal di hotel atau losmen. Karena ia dapat makan, minum, tidur, dan beristirahat dengan nyaman di rumah cucunya yang sangat menyayanginya.

Setelah salat Subuh, sarapan pagi dengan dua potong roti bakar, dan minum teh hangat kesukaannya yang disediakan oleh cucunya, lelaki sangat tua itu pergi. Meski dengan langkah pincang. Pistol revolver berisi sebutir peluru tersembunyi di dalam baju, terselip di pinggang. Ia melangkah dengan pasti. Wajahnya sedikit tegang. Tetapi ia kemudian dapat menenteramkannya kembali.

Ketika cucunya menanyakan tujuan kepergiannya, ia tak menjawab. Hanya diam. Meski cucunya sudah memintanya agar tidak pergi seorang diri, ia menolaknya, Karena tidak mau menyinggung perasaan kakeknya, cucunya membiarkannya pergi.

"Hati-hati Kek!" Pesan cucunya.
"Terima kasih. Saya hanya ingin berjalan-jalan saja. Merasakan nikmatnya udara pagi di kota metropolitan ini."

***

Pagi hari yang cerah menyapa Jakarta. Matahari belum begitu garang. Daun-daun pohon akasia di sepanjang jalan di kompleks perumahan mewah itu bergoyang-goyang ditiup angin pagi. Masih pukul enam.

Seorang lelaki juga sangat tua sedang berjemur di teras rumah. Ia berlari-lari kecil mengelilingi taman. Sambil mengusap keringat yang membasahi lehernya dengan handuk kecil, ia kemudian duduk di kursi jati kesukaannya.

Di meja dekat kursi jati yang didudukinya tersedia sebotol air mineral. Ia kemudian meminumnya tanpa gelas. Menenggaknya begitu saja. Setelah itu ia mengambil koran pagi yang dilanggannya. Meski sudah sangat tua, ia masih memelihara kebiasaan membaca koran. Matanya menyapu berita utama di halaman pertama. Ia tersenyum. Entah apa yang membuatnya tersenyum.

Dengan langkah tegap meski sedikit goyah, laki-laki itu berjalan menuju almari jati yang bersandar di tembok. Ia kemudian membukanya. Dengan gemetar ia mengambil sepucuk pistol FN yang selama ini disimpannya. Jari-jarinya yang keriput mengelusnya perlahan. Diperiksanya sebutir peluru yang telah terpasang.

"Hmmm .... Masih ada," katanya lirih.

Ia kemudian menimang pistol itu, kemudian menentengnya. Lalu meletakannya di meja. Matanya menatap matahari pagi. Cuma sekejap. Pikirannya menerawang jauh ke masa silam ketika ia masih berdinas sebagai militer. Ia teringat kembali saat berjuang memimpin pasukan di Ambarawa dan Salatiga. Mempertahankan kemerdekaan Republik ini.

***

Ia kaget ketika di depannya telah berdiri seseorang yang sangat dikenalnya.

"Kau. Bukankah engkau sudah meninggal dunia? Apakah ini arwahmu?" Ia berkata lantang. Tangan kanannya mengusap matanya.

"Ya, saya! Saya masih hidup, Jenderal! Setelah Jenderal menunjukkan persembunyian saya, juga teman-teman lainnya, tentara Belanda menghabisi kami dengan berondongan tembakan. Namun saya masih beruntung. Hanya saya yang selamat! Delapan teman kita lainnya tewas mengerikan! Hanya kaki sebelah kanan ini yang terkena peluru hingga saya pincang! Bertahun-tahun saya memikirkannya, Jenderal. Hingga menjelaga menjadi kesumat!"

"Lalu mau apa engkau ke sini? Sepagi ini? Uang? Perempuan? Jabatan? Atau apa? Katakan saja!"

"Dasar pengkhianat! Aku hanya menginginkan nyawamu!"

"Kita sudah sama-sama tua. Tak perlu lagi kita menumpahkan darah. Kita sekarang ini tinggal menikmati masa tua dengan berbuat apa saja yang kita mau", kata lelaki tua bersiasat mengulur-ulur waktu.

"Meskipun dengan berkhianat? Meskipun kita perbuat dengan tidak jujur?" Balas lelaki sangat tua dan pincang.

"Apa boleh buat. Bukankah sekarang ini zaman gila?" Kata lelaki itu, kemudian tangan kanannya mengambil sepucuk pistol FN yang tergeletak di meja. Ia menodongkannya ke arah lelaki sangat tua dan pincang.

"Jenderal memang masih seperti dulu. Meskipun sudah tua, tetapi masih bersemangat. Benar-benar pengkhianat," kata laki-laki sangat tua dan pincang dengan suara tenang tetapi sangat waspada. Sang jenderal itu tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia tak mau membuang-buang waktu. Ditariknya pelatuk pistol FN yang berisi sebutir peluru.

“Dor!”

Naluri militer lelaki sangat tua dan pincang itu muncul kembali. Ia merunduk. Pada saat yang bersamaan istri sang jenderal berjalan di belakangnya. Tangan kanannya menenteng barang-barang belanjaan yang baru saja dibelinya di pasar swalayan. Sang jenderal tak menyangka kalau ada orang lain di belakang lelaki sangat tua dan pincang.

Peluru yang dimuntahkan oleh sepucuk pistol FN yang dipegang sang jenderal tepat mengenai dada istrinya. Istri sang jenderal menjerit, kemudian rubuh ke tanah. Kedua tangannya memegang dadanya. Sang jenderal gemetar. Lututnya lemas. Ia pucat pasi.

Lelaki sangat tua dan pincang itu mendekati sang jenderal. Tangan kanannya mengambil revolver yang terselip di pinggang. Sang jenderal sangat terkejut.

"Jongkok Jenderal! Tutup matamu dengan sapu tangan ini," kata lelaki sangat tua dan pincang. Tangan kanannya menodongkan revolvernya ke arah sang jenderal, sedangkan tangan kirinya memberikan sehelai sapu tangan berwarna hitam.

Sang jenderal menuruti perintah lelaki sangat tua dan pincang itu. Menutup kedua belah matanya dengan sapu tangan yang diberikan oleh tamunya yang tak diundang. Nyalinya hilang. Ia membayangkan kematian yang akan menjemputnya.

"Ini sebagai penghormatan terakhir bagimu, Jenderal," kata lelaki sangat tua dan pincang itu. Sambil jongkok di depan sang jenderal ia menarik pelatuk revolvernya dan mengarahkannya ke udara di samping telinga kanan sang jenderal.

"Dor!"

Peluru terakhir dari revolver milik lelaki sangat tua dan pincang itu menyalak. Cuma sekali. Membelah udara pagi. Ia kemudian berdiri. Setelah menyimpan revolver di balik baju di pinggangnya, ia meninggalkan sang jenderal yang masih jongkok dan gemetar.

Lelaki sangat tua dan pincang itu kemudian berjalan ke luar meninggalkan rumah sang jenderal. Menyusuri jalan di kompleks perumahan mewah. Menikung. Hilang ditelan bangunan tinggi.

Cibinong, Januari 2020

 ---------------------------------------------------------------

Syukur Budiardjo, Pensiunan Guru ASN di Provinsi DKI Jakarta. Alumnus Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) IKIP Jakarta Jurusan Bahasa Indonesia. Menulis artikel, cerpen, dan puisi di media massa cetak, media online, dan media sosial. Kontributor sejumlah buku antologi puisi. Menulis buku puisi Mik Kita Mira Zaini dan Lisa yang Menunggu Lelaki Datang (2018), Demi Waktu (2019), dan Beda Pahlawan dan Koruptor (2019), buku kumpulan esai Enak Zamanku, To! (2019) dan Solilokui Menulis Puisi (2019), dan buku nonfiksi  Strategi Menulis Artikel Ilmiah Populer di Bidang Pendidikan Sebagai Pengembangan Profesi Guru (2018). No. Telepon atau WA yang bisa dihubungi 0877-1139-9908. Akun Facebook, Instagram, dan Youtube miliknya menggunakan nama Sukur Budiharjo. Emailnya adalah budiharjosukur@gmail.com. Tingga di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

 


0 comments:

Posting Komentar