Cerpen Syukur Budiardjo
Sudah hampir sebulan lelaki sangat tua itu mencari alamat
seseorang di Jakarta. Baik melalui buku telepon maupun media sosial. Karena ia
tak berputus asa, alamat seseorang yang dicarinya itu akhirnya ditemukan juga.
Wajahnya cerah!
Di kota pusat pemerintahan ini ia tak perlu tinggal di
hotel atau losmen. Karena ia dapat makan, minum, tidur, dan beristirahat dengan
nyaman di rumah cucunya yang sangat menyayanginya.
Setelah salat Subuh,
sarapan pagi dengan dua potong roti bakar, dan minum teh hangat kesukaannya
yang disediakan oleh cucunya, lelaki sangat tua itu pergi. Meski dengan langkah
pincang. Pistol revolver berisi sebutir peluru tersembunyi di dalam baju,
terselip di pinggang. Ia melangkah dengan pasti. Wajahnya sedikit tegang.
Tetapi ia kemudian dapat menenteramkannya kembali.
Ketika cucunya menanyakan tujuan kepergiannya, ia tak
menjawab. Hanya diam. Meski cucunya sudah memintanya agar tidak pergi seorang
diri, ia menolaknya, Karena tidak mau menyinggung perasaan kakeknya, cucunya
membiarkannya pergi.
"Hati-hati
Kek!" Pesan cucunya.
"Terima kasih. Saya hanya ingin berjalan-jalan saja. Merasakan nikmatnya
udara pagi di kota metropolitan ini."
***
Pagi hari yang cerah menyapa Jakarta. Matahari belum
begitu garang. Daun-daun pohon akasia di sepanjang jalan di kompleks perumahan
mewah itu bergoyang-goyang ditiup angin pagi. Masih pukul enam.
Seorang lelaki juga sangat tua sedang berjemur di teras
rumah. Ia berlari-lari kecil mengelilingi taman. Sambil mengusap keringat yang
membasahi lehernya dengan handuk kecil, ia kemudian duduk di kursi jati
kesukaannya.
Di meja dekat kursi jati yang didudukinya tersedia
sebotol air mineral. Ia kemudian meminumnya tanpa gelas. Menenggaknya begitu
saja. Setelah itu ia mengambil koran pagi yang dilanggannya. Meski sudah sangat
tua, ia masih memelihara kebiasaan membaca koran. Matanya menyapu berita utama
di halaman pertama. Ia tersenyum. Entah apa yang membuatnya tersenyum.
Dengan langkah tegap meski sedikit goyah, laki-laki itu
berjalan menuju almari jati yang bersandar di tembok. Ia kemudian membukanya.
Dengan gemetar ia mengambil sepucuk pistol FN yang selama ini disimpannya.
Jari-jarinya yang keriput mengelusnya perlahan. Diperiksanya sebutir peluru
yang telah terpasang.
"Hmmm .... Masih ada," katanya lirih.
Ia kemudian menimang pistol itu, kemudian menentengnya.
Lalu meletakannya di meja. Matanya menatap matahari pagi. Cuma sekejap.
Pikirannya menerawang jauh ke masa silam ketika ia masih berdinas sebagai
militer. Ia teringat kembali saat berjuang memimpin pasukan di Ambarawa dan
Salatiga. Mempertahankan kemerdekaan Republik ini.
***
Ia kaget ketika di depannya telah berdiri seseorang yang
sangat dikenalnya.
"Kau. Bukankah engkau sudah meninggal dunia? Apakah
ini arwahmu?" Ia berkata lantang. Tangan kanannya mengusap matanya.
"Ya, saya! Saya masih hidup, Jenderal! Setelah
Jenderal menunjukkan persembunyian saya, juga teman-teman lainnya, tentara
Belanda menghabisi kami dengan berondongan tembakan. Namun saya masih
beruntung. Hanya saya yang selamat! Delapan teman kita lainnya tewas
mengerikan! Hanya kaki sebelah kanan ini yang terkena peluru hingga saya
pincang! Bertahun-tahun saya memikirkannya, Jenderal. Hingga menjelaga menjadi
kesumat!"
"Lalu mau apa engkau ke sini? Sepagi ini? Uang?
Perempuan? Jabatan? Atau apa? Katakan saja!"
"Dasar pengkhianat! Aku hanya menginginkan
nyawamu!"
"Kita sudah sama-sama tua. Tak perlu lagi kita
menumpahkan darah. Kita sekarang ini tinggal menikmati masa tua dengan berbuat
apa saja yang kita mau", kata lelaki tua bersiasat mengulur-ulur waktu.
"Meskipun dengan berkhianat? Meskipun kita perbuat
dengan tidak jujur?" Balas lelaki sangat tua dan pincang.
"Apa boleh buat. Bukankah sekarang ini zaman
gila?" Kata lelaki itu, kemudian tangan kanannya mengambil sepucuk pistol
FN yang tergeletak di meja. Ia menodongkannya ke arah lelaki sangat tua dan
pincang.
"Jenderal memang masih seperti dulu. Meskipun sudah
tua, tetapi masih bersemangat. Benar-benar pengkhianat," kata laki-laki
sangat tua dan pincang dengan suara tenang tetapi sangat waspada. Sang jenderal
itu tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia tak mau membuang-buang waktu. Ditariknya
pelatuk pistol FN yang berisi sebutir peluru.
“Dor!”
Naluri militer lelaki sangat tua dan pincang itu muncul
kembali. Ia merunduk. Pada saat yang bersamaan istri sang jenderal berjalan di
belakangnya. Tangan kanannya menenteng barang-barang belanjaan yang baru saja
dibelinya di pasar swalayan. Sang jenderal tak menyangka kalau ada orang lain
di belakang lelaki sangat tua dan pincang.
Peluru yang dimuntahkan oleh sepucuk pistol FN yang
dipegang sang jenderal tepat mengenai dada istrinya. Istri sang jenderal
menjerit, kemudian rubuh ke tanah. Kedua tangannya memegang dadanya. Sang
jenderal gemetar. Lututnya lemas. Ia pucat pasi.
Lelaki sangat tua dan pincang itu mendekati sang
jenderal. Tangan kanannya mengambil revolver yang terselip di pinggang. Sang
jenderal sangat terkejut.
"Jongkok Jenderal! Tutup matamu dengan sapu tangan
ini," kata lelaki sangat tua dan pincang. Tangan kanannya menodongkan
revolvernya ke arah sang jenderal, sedangkan tangan kirinya memberikan sehelai
sapu tangan berwarna hitam.
Sang jenderal menuruti perintah lelaki sangat tua dan
pincang itu. Menutup kedua belah matanya dengan sapu tangan yang diberikan oleh
tamunya yang tak diundang. Nyalinya hilang. Ia membayangkan kematian yang akan
menjemputnya.
"Ini sebagai penghormatan terakhir bagimu,
Jenderal," kata lelaki sangat tua dan pincang itu. Sambil jongkok di depan
sang jenderal ia menarik pelatuk revolvernya dan mengarahkannya ke udara di
samping telinga kanan sang jenderal.
"Dor!"
Peluru terakhir dari revolver milik lelaki sangat tua dan
pincang itu menyalak. Cuma sekali. Membelah udara pagi. Ia kemudian berdiri.
Setelah menyimpan revolver di balik baju di pinggangnya, ia meninggalkan sang
jenderal yang masih jongkok dan gemetar.
Lelaki sangat tua dan pincang itu kemudian berjalan ke
luar meninggalkan rumah sang jenderal. Menyusuri jalan di kompleks perumahan
mewah. Menikung. Hilang ditelan bangunan tinggi.
Cibinong, Januari 2020
---------------------------------------------------------------
Syukur Budiardjo, Pensiunan Guru
ASN di Provinsi DKI Jakarta. Alumnus Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS)
IKIP Jakarta Jurusan Bahasa Indonesia. Menulis artikel, cerpen, dan puisi di
media massa cetak, media online, dan media sosial. Kontributor sejumlah buku
antologi puisi. Menulis buku puisi Mik Kita Mira Zaini dan Lisa yang Menunggu
Lelaki Datang (2018), Demi Waktu (2019), dan Beda Pahlawan dan Koruptor (2019),
buku kumpulan esai Enak Zamanku, To! (2019) dan Solilokui Menulis Puisi (2019),
dan buku nonfiksi Strategi Menulis
Artikel Ilmiah Populer di Bidang Pendidikan Sebagai Pengembangan Profesi Guru (2018).
No. Telepon atau WA yang bisa dihubungi 0877-1139-9908. Akun Facebook,
Instagram, dan Youtube miliknya menggunakan nama Sukur Budiharjo. Emailnya
adalah budiharjosukur@gmail.com.
Tingga di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
0 comments:
Posting Komentar