Cerpen Yuditeha
Akhir tahun 1742 di Ujung Timur Bumi Sukowati
Duka itu terlalu dalam. Warga Sambungmacan kehilangan Aryasuta, sosok pahlawan tiada banding yang gugur ditembak Belanda. Aryasuta ternyata keturunan salah satu raja di bumi Nusantara. Hebatnya, dalam pergerakan itu Aryasuta tidak membeberkan siapa jati dirinya, semata karena dia tidak ingin disalah-mengerti dengan perjuangannya. Warga heran, mengapa setiap kali mereka merasa mulai menemukan orang yang diharap bisa menjadi ratu adil bagi Nusantara, lebur sebelum mekar karena gugur di tengah jalan oleh kesewenang-wenangan penguasa.
Malam sangat gelap, tidak tampak satu pun bintang yang terjaga. Langit hitam itu mewakili kelamnya perasaan warga Sambungmacan. Terlebih bagi Wanggi dan keenam anak buahnya, Yasyar, Barak, Widaga, Braja, Anggit dan Dasih. Kematian Aryasuta memukul kejiwaan mereka. Selama ini secara tidak langsung Aryasuta telah menjadi penyemangat perjuangan di antara mereka
“Kita kebumikan di mana, Kang?” tanya Anggit.
“Dia bukan orang sembarangan. Roh dan jasadnya harus kita muliakan. Untuk memberi penghormatan kepadanya, kita akan cari tempat khusus untuk memuliakannya, dan di dekat tanah yang akan kita pakai untuk pemakaman Aryasuta, akan kita jadikan padepokan,” jawab Wanggi.
Saran Wanggi, sebelum mereka mencari dan menentukan di mana letak makam itu, untuk sementara jasad Aryasuta diinapkan di rumahnya. Dia berharap sebelum fajar, pencarian tempat untuk makam itu sudah bisa ditemukan.
Usai
memberesi
jasad Aryasuta, mereka
menandunya
dengan rasa hormat. “Dia pahlawan besar. Tandulah jasad Aryasuta selayaknya kalian
menandu seorang raja, karena dia
memang pantas untuk mendapatkan penghormatan itu,” sambung Wanggi.
Di rumah Wanggi sudah banyak orang menunggu kedatangan mereka. Ketika rombongan pembawa jenazah memasuki pelataran, hening seakan melingkupi seisi ruang dan waktu. Patung-patung buatan Wanggi yang berjajar di halaman rumahnya semakin menambah hening suasana. Rasa pilu yang bersemayam di hati para warga ikut menambah suasana duka itu semakin terasa menyedihkan. Tak kuasa membendung rasa haru, ketika mereka melihat rombongan pembawa jenazah, sayup nama Aryasuta digumamkan. “Aryasuta, Aryasuta, Aryasuta.”
“Letakkan jenazah di ruang tengah, biar warga leluasa memberi penghormatan terakhirnya,” kata Wanggi.
Usai makan dan istirahat, keenam anak buah Wanggi gegas pergi mencari tempat untuk penguburan Aryasuta. Pencarian itu dilakukan bersama-sama, dan tentang jarak, Wanggi mengatakan, di mana pun asal tidak sampai keluar kadipaten Sukowati. Wanggi ingin jiwa perjuangan yang dipunyai Aryasuta dapat memompa semangat anak buahnya, juga segenap warga Sukowati untuk meneruskan perjuangan yang masih terus dilakukan demi kemerdekaan Nusantara dari kesewenangan para penjajah.
Setelah mereka berangkat, suasana di ruang tengah rumah Wanggi menggema doa. Semakin malam gema itu seperti semakin keras dan dengungannya terdengar memilukan. Malam bertambah malam, dan duka semakin dalam. Meski duka itu hanya terjadi di wilayah Sukowati, tapi dengan kemuliaan jiwa Aryasuta dan dari segala harap seluruh warganya, duka itu seakan menjadi dukanya Nusantara.
Dini hari seperti datang begitu cepat, anak buah Wanggi telah kembali, bahkan belum sempat mereka istirahat langsung ingin menghadap Wanggi. Kelelahan fisik tidak mereka rasakan. Kekebalan tubuh mereka tiba-tiba seperti muncul dalam diri karena rasa yang mereka punya adalah rasa semangat persaudaraan. Mereka ingin mempersembahkan penghormatan bagi Aryasuta sebaik mungkin, seperti kebaikan Aryasuta yang tanpa pamrih berjuang bagi Nusantara hingga tak peduli dengan dunia yang bagi Aryasuta sesungguhnya serba mengenakkan. Seakan darah keprihatinan dan kepedulian Aryasuta masuk ke dalam raga mereka hingga menjelma kekuatan. Saat itu tidak ada keinginan lain, kecuali memberi layanan yang terbaik bagi sahabat mereka itu. Kini mereka telah kembali berkumpul di hadapan jasad Aryasuta. Menggumamkan doa-doa untuk arwahnya kepada Gusti Allah. Tak berselang lama Wanggi keluar menemui mereka.
“Kami telah menemukan tempatnya, Kang,” lapor Braja.
“Di mana, itu?” tanya Wanggi.
“Di Gunung Banyak, Kang. Perbatasan desa Gesi dan Tangen, dari sini ke arah barat laut,” jawab Widaga.
“Bagus, aku percaya pilihan kalian yang terbaik,” sahut Wanggi.
“Tapi menurut kabar yang beredar daerah itu masih sangat sepi, Kang. Bahkan kabarnya pula jalan-jalan di sana masih sering terjadi aksi begal dan pelecehan terhadap para perempuan,” kata Dasih.
“Tidak masalah. Justru dengan peristiwa ini semoga daerah itu akan menjadi baik,” sahut Wanggi.
“Oya, lantas bagaimana tentang penggali kubur?” tanya Wanggi kemudian.
Yasyar menceritakan kepada Wanggi bahwa sekembalinya mereka dari pencarian itu ternyata diikuti beberapa orang yang berasal dari daerah sekitar Gunung Banyak. Mereka ingin membantu menandu jenazah Aryasuta. Ada yang lain lagi sudah siap di Gunung Banyak membantu membuat liang lahat. Mereka melakukannya dengan suka rela. Orang-orang desa yang hidupnya sederhana dan jujur. Kesediaan mereka semakin mantab saat Ki Suro, panutan mereka di daerah itu juga menyuruhnya begitu.
“Agar tidak kesiangan, kalian semua segera
makan dulu sebelum nanti kita berangkat
bersama,” kata Wanggi.
***
Sementara itu, kabar kematian Aryasuta sampai juga ke telinga Ambar, perempuan muda yang berasal dari desa Sukowati. Ia seorang kaya, pedagang kain batik di pasar-pasar besar, termasuk pasar Sala dan Semarang. Untuk pergi ke Semarang biasanya rombongan Ambar memakai dokar dengan memotong jalan yang melintasi daerah Gunung Banyak.
Saat ini Ambar tidak sedang berjualan. Ketika mendengar kabar duka itu dia langsung pergi dari rumah dan menghubungi beberapa orang untuk mencari tahu keberadaan jenazah Aryasuta. Setelah mendapat keterangan pasti bahwa jasad Aryasuta berada di rumah Wanggi, dengan diantar pembantunya dia pergi ke sana. Beberapa penduduk yang mengetahui hal itu merasa heran, mengapa orang dari kalangan orang kaya dan berasal dari kalangan orang terpandang seperti Ambar bertanya perihal Aryasuta. Begitu sampai di rumah Wanggi, Ambar disambut beberapa penduduk yang saat itu memang bertugas mengurus segala sesuatunya di rumah itu.
“Benar, jenazah Kang Aryasuta tadi di sini, tapi saat ini telah dibawa ke Gunung Banyak untuk dimakamkan di sana,” jawab salah satu orang yang menunggu rumah Wanggi.
“Kapan mereka berangkat?” tanya Ambar.
“Belum lama. Jika disusul dengan dokar, tentu masih bisa terkejar karena mereka hanya berjalan.”
Mengetahui hal itu, Ambar langsung mohon diri dan berlalu. Usai Ambar pergi, seperti halnya yang digunjingkan sebagian penduduk, orang-orang yang berada di rumah Wanggi dan kebetulan menyaksikan kejadian itu juga mempunyai pemikiran sama dengan apa yang dibicarakan para warga. Bertanya-tanya, ada hubungan apa antara Aryasuta dengan perempuan kaya itu.
Benar adanya, sampai di pertigaan besar desa Pemalang, Ambar menyusul rombongan Wanggi. Dokar yang dinaiki Ambar menyalip lantas dengan penuh rasa hormat Ambar menghentikan jalan mereka. Orang-orang yang saat itu bertugas memanggul peti jenazah merasa heran. Robongan itu berhenti. Ambar turun dari dokar dan menemui Wanggi.
“Izinkan saya ikut membantu membawakan jenazahnya,” kata Ambar.
Wanggi tidak langsung menanggapi, setelah dia melihat Ambar, dia melihat ke arah rombongan lalu kembali melihat ke arah Ambar dengan saksama dan terlihat menyelidik. Ambar yang merasa diperhatikan seperti itu menjadi sungkan.
“Perkenalkan, saya Ambar. Saya tidak punya maksud apa-apa. Saya hanya ingin membantu, sama halnya dengan orang-orang itu, yang ingin membantu,” kata Ambar lagi.
Lagi-lagi Wanggi tidak langsung menanggapi. Tampaknya Wanggi masih ragu, tapi akhirnya dia memberi kode kepada anak buahnya untuk menaruh jenazah ke dalam dokar. Perjalanan dilanjutkan. Sementara, di atas dokar, Wanggi dan Ambar yang ikut naik tidak lantas melakukan perbincangan. Keduanya dalam keadaan diam. Pastinya mereka sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri.
Di belakang dokar, rombongan Wanggi dan orang-orang desa yang mengikutinya juga bersikap diam. Tentu saja pikiran mereka juga sibuk. Mungkin mereka sedang menduga-duga, siapa sesungguhnya perempuan kaya itu. Tampilannya yang begitu mewah dengan tubuh menawan, serta wajah cantiknya menjadi hal pembeda yang paling kentara di antara mereka. Tapi dari mereka semua, hanya Anggit yang wajahnya terlihat menegang. Sebagai orang yang paling dekat dengan Aryasuta, kehadiran Ambar yang baginya tiba-tiba itu merusak suasana hatinya. Meski belum jelas tentang hubungan macam apa antara Aryasuta dengan Ambar, tetapi pikiran Anggit sudah ke mana-mana. Ada rasa cemburu di dalam dirinya. Meski Aryasuta telah tiada, perasaan tidak suka terhadap Ambar tetap bercokol dalam benaknya. Keadaan diam tetap berlangsung selama perjalanan. Bahkan sampai tiba di Gunung Banyak tidak terjadi perbincangan yang berarti. Jika ada, itu pun sekadar basa-basi.
Pada saat upacara pemakaman Aryasuta selesai, satu demi satu penduduk setempat yang disesepuhi Ki Suro kembali ke rumah masing-masing. Wanggi dan anak buahnya istirahat di bawah pohon besar dekat sungai sebelah tenggara makam Aryasuta. Wanggi sendiri mulai berpikir, di mana kira-kira letak padepokan yang akan dibangun. Sedangkan Ambar, justru perlahan berjalan mendekat ke makam. Duduk lama di dekat sana.
“Saya sedang berpikir, bagaimana nasib saya andai waktu itu Kang Aryasuta tidak menolong saya dari aksi perampokan itu. Pasti saya tidak akan baik-baik saja seperti sekarang ini. Belum sempat saya membalas kebaikan itu, Kang Arya keburu menghadap Sang Illahi. Saya telah mendengar siapa sebenarnya Kang Arya. Kang Aryasuta ternyata pejuang hebat. Meski kita beda kasta, tapi saya merasa latar belakang Kang Arya hampir sama dengan saya. Saya merasa beruntung bisa mengenal Kakang. Dan apa yang Kang Arya putuskan, apa yang Kang Arya jalani, sungguh telah memberi buah ilham kepada saya. Izinkan saya mengikuti jejak itu. Terima kasih. Selamat jalan Kang Arya. Beristirahatlah dengan tenang.” Usai Ambar mengucapkan pernyataan itu dan berdoa, dia berdiri lalu permisi kepada Wanggi.
Wanggi menanggapi sapaan Ambar tetap dalam diam. Hanya anggukan pelan sebagai tanda hormat. Rupanya Anggit tidak bisa menahan rasa penasarannya. Dia bangkit dari duduk lalu maju dua langkah. “Ada hubungan apa kau dengan Kang Aryasuta?” tanya Anggit.
Ambar berhenti, lalu menoleh ke arah Anggit. Ambar menatap Anggit dengan matanya yang sayu. “Saya tidak ada hubungan apa-apa dengan dia. Sudah saya katakan tadi, saya hanya ingin membantu. Saya ingin mengantar orang baik,” jawab Ambar.***
Yuditeha.
Penulis tinggal di Karanganyar - Jawa Tengah. Buku terbarunya Kumcer Filosofi Perempuan dan Makna Bom
(Rua Aksara, 2020).
0 comments:
Posting Komentar