Sabtu, 31 Oktober 2020

Wanita Penjahit Dada

BY Agus Pribadi IN No comments

 

pixabay.com

Cerpen Bagus Sulistio

 

“Silahkan masuk. Ada yang bisa saya bantu?”

“Saya ingin bertanya, apakah di sini tempat untuk kursus menjahit?”

“Oh tentu. Apakah kau ingin kursus menjahit baju? Atau celana?”

“Bukan. Aku ingin bisa menjahit dada.”

***

Desa memang selalu berusaha menyamankan penghuninya dengan keasrian alam. Membuat kakek-kakek lebih senang bermain di sawah daripada ke panti jompo yang berujung berkeluh-kesah. Anak-anak tanpa asap knalpot di hidungnya lebih suka memanjat pohon-pohon bercabang. Mereka sangat senang bergelayutan sambil menikmati buah dari pohon yang tumbuh dari jari-jari ranting. Hal tersebut suatu pemandangan yang indah untuk dinikmati di pagi hari.

Pemandangan indah itu dinafikan oleh sesuatu pemandangan di dalam salah satu rumah dari desa tersebut. Pemandangan yang menguras air mata dan emosi sedih bagi penontonnya. Harus butuh ribuan lembar tisu untuk menghapus air yang mengalir dari mata. Namun, sang aktris begitu tegar menjalani peran nyatanya.

“Kamu ini seorang perempuan. Anak perempuan harus rajin.”

Ia hanya diam saja mendengar perkataan ayahnya. Melawan atau menjawab ucapannya merupakan hal yang sia-sia bahkan bahaya. Jadi, mau tidak mau dirinya harus diam sambil terus bergerak menjalani perintah ayahnya.

Mengepel lantai plester acian hitam adalah tugas kesekian di pagi ini. Tenaganya hampir setengah lelah. Namun, dirinya tetap berusaha menjadi perempuan yang rajin. Perempuan tanpa mengeluh atas perintah-perintah tak manusiawi. Kalau ada kata atau kalimat celetukan keluh kesah itu hanya alat penghapus rasa kesal, yang harus segera dihilangkan secepatnya.

“Jika sudah selesai mengepel, jangan lupa kebun belakang rumah kamu sapu. Jangan ada kotoran yang tersisa.”

Tugas berikutnya keluar dari mulut ayahnya. Ia mempercepat gerakan tangannya. Menggosok kain pel ke plester hitam hingga bersih secepat mungkin. Ia terus mengepel sampai plester tersebut sedikit dapat memantulkan sketsa dirinya. Menggambarkan wajah gadis desa pekerja keras dan penuh didikan tegas.

“Kok masih di situ saja? Cepat kerjakan tugas berikutnya. Jangan lambat kalau kerja!”

Ia pun mengerjakannya dengan buru-buru. Asal mengepel dan yang terpenting terlihat basah. Itu saja yang ada di pikirannya ketika ia lakukan pekerjaan mengepel di pagi itu. Ia takut bapaknya yang garang terlalu lama menunggunya untuk melakukan pekerjaan lain. Hal itu bakal membuatnya mengamuk.

Sang gadis harus segera melakukan pekerjaan selanjutnya. Seperti membersihkan kebun belakang rumah. Padahal dirinya saja belum sempat beristirahat bahkan sarapan sesuap pun. Namun, apa boleh buat bapaknya adalah tuannya. Orang yang membesarkannya. Hingga ia harus menuruti apa yang diperintahkan sebagai tanda terima kasih atas jasa-jasanya.

Matanya menjelajahi kebun sekitar. Beberapa jenis daun dari berbagai macam pohon berserakan di atas tanah dan rumput liar yang jarang. Tanpa ba-bi-bu lagi ia mulai mengambil sapu serta mengumpulkan kepingan-kepingan daun berguguran. Punggungnya membungkuk agar sapu yang pendek termakan usia dapat menyentuh permukaan tanah. Tangannya bergerak luwes bak penari. Sapuan demi sapuan menghimpun gunung-gunung daun hingga siap dibakar. Sebungkus korek api menjadi pemantik api di pucuk gundukan sampah. Dan asap mengepul terbang ke langit bersama uapan keringatnya.

“Kalau sudah selesai menyapu, pergilah ke dapur. Ayah sudah memasakkan nasi goreng untukmu sarapan.”

Inilah yang ditunggu-tunggu olehnya. Secercah kelembutan dari ayah yang tegas. Perhatian yang nyata untuk anak pekerja keras. Sebenarnya tidak ada orang tua yang benar-benar penindas. Hanya saja mereka ingin anaknya menjadi seorang pantas. Pantas menjadi manusia yang mempunyai sifat tangkas.

Ia mengambil sebuah piring. Lalu memindahkan nasi goreng dari wajan ke piringnya. Namun sarapan hari ini tak sampai piringnya penuh. Baginya sarapan hanya untuk mengganti tenaga yang telah digunakan dan menyiapkan tenaga yang digunakan. Jadi cukup setengah piring nasi goreng untuk sarapan pada pagi hari ini.

Ia memakan dengan agak lambat. Memasukkan sesuap dua suap dan seterusnya. Hingga tak terasa setengah porsi yang ia ambil hampir habis. Tangannya yang bergerak memasukkan paham betul posisi mulut. Tanpa dibantu mata untuk melihat, ia pandai sekali membuat makanan masuk ke dalam mulut. Padahal matanya menatap kosong sebuah mesin jahit yang tak jauh dari meja makannya. Mesin jahit tua peninggalan ibunya dulu. Andai saja ibunya belum meninggal, pasti mesin jahit itu masih terlihat bersih bahkan tidak ada debu menempel di badannya. Sayangnya sepeninggal ibunya tidak ada lagi tangan yang memegangnya lagi. Walaupun ayahnya sama seperti ibunya; pintar menjahit, tapi tetap saja ia tidak mau menjahit lagi. Katanya, “Menjahit adalah pekerjaan untuk perempuan. Lelaki yang menjahit adalah banci.”

“Kenapa kau menatap mesin jahit itu?” tanya ayahnya ketika ia kepergok melamun sambil melihat mesin jahit lama.

“Tidak ada apa-apa, Yah,” jawabnya gugup.

“Kamu ingin bisa menjahit menggunakan mesin itu?” tanya ayahnya dan ia balas dengan anggukan.

“Baiklah, mulai nanti siang Ayah akan mengajarimu menggunakan mesin jahit itu. Sekarang kamu bersihkan dahulu mesin tersebut.”

Sebuah baju bekas rupa compang-camping ia gunakan untuk mengelap mesin jahit penuh debu. Sesekali kain tersebut ia celupkan ke air yang berada di gayung agar basah. Lalu digunakan sebagai lap kembali hingga mesin jahit yang tadinya terlihat begitu kotor, kini nampak agak bersih dan layak digunakan.

“Apakah kau sudah siap untuk belajar?”

“Siap Ayah,” jawabnya dengan penuh senang.

Ia duduk di sebuah kursi yang berhadapan langsung dengan sang mesin. Sedangkan ayahnya berada di sisi kanan sambil berdiri. Tangannya yang penuh urat menuntun tangan anak gadisnya. Ia memberi tahu satu persatu kegunaan organ-organ yang menempel di mesin jahit itu.

“Kalau sudah siap, roda ini kau putar dan genjot langsung pedal tersebut. Jarumnya akan bergerak sendiri, menjahit baju dengan cepat.”

Ia mulai mempraktikkan apa yang diajari ayahnya. Ia sangat fokus dan konsentrasi terhadap apa yang dikerjakan. Walaupun demikian, jarinya yang mungil tetap tidak terhindarkan dari jarum yang bergerak cukup cepat. Dan tetes demi tetes darah kian keluar dari telunjuknya.

“Kau tidak apa-apa, Nak?”

“Aku tidak apa, Yah.”

“Syukurlah kalau begitu. Aku takut nasibmu seperti ibumu.”

“Maksud Ayah?” Sang gadis kebingungan dengan pernyataan ayahnya. Ia tidak tahu apa hubungannya tertusuk jarum dengan ibunya yang telah meninggal. Lalu kenapa ayahnya menghubungkan hal yang barus saja terjadi dengan kenangan waktu dirinya masih kecil. Segala bentuk pertanyaan menggenangi pikirannya. Ia berprasangka ada rahasia besar yang telah ayahnya tutupi hingga saat ini.

“Maksud Ayah apa? Kenapa Ayah bawa-bawa nama Ibu?” tanya kembali sang gadis karena belum mendapatkan jawaban.

Sang ayah menghela napas cukup panjang. Ia merasa berat untuk menceritakannya.  Namun ia terus disudutkan hingga akhirnya ia terpaksa mulai membuka mulutnya, “Dulu Ayah adalah orang yang tak mempunyai hati. Sering minum-minuman keras, berjudi bahkan bermain perempuan. Dan apa yang Ayah lakukan tentu menyakiti hati ibumu.”

“Lalu apa yang terjadi?”

“Ibumu mengorbankan hatinya untuk aku yang tak punya hati ini. Ia memberanikan diri merobek dadanya sendiri dan dadaku ketika aku sedang tidur. Lalu ia pindahkan hatinya ke dalam dadaku agar aku mempunyai hati yang kelak digunakan untuk dirimu. Setelah itu ia jahit kembali dadaku dan dadanya yang tadinya sobek hingga rapat kembali.”

Sang gadis menangis tersedu mendengar cerita dari ayahnya. Ia tidak menyangka begitu besar kebaikan ibunya. Sampai-sampai ibunya rela mengorbankan dada dan hati untuk ayahnya yang dahulunya bengis. Namun ia tidak mau larut dalam kesedihan. Ia harus bisa seperti ibunya yang mempunyai kebajikan dalam tubuh orang lain.

“Ayah, apakah Ayah bisa mengajariku cara menjahit dada?” pinta sang gadis.

“Untuk apa kau belajar menjahit dada?”

“Agar aku bisa mengisi dada-dada yang kosong dengan kebajikan. Dan menjahit kembali dada mereka dengan kencang hingga kebajikan itu takkan keluar dari dada mereka.”(*)

 

 -----------------------------------------------------------------------------------------------------

Bagus Sulistio, lahir di Banjarnegara, 16 Agustus 2000. Berdomisili di Pondok Pesantren Al-Hidayah, Karangsuci, Purwokerto. Saat ini ia masih berstatus sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab dan mentor kepenulisan cerpen di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) IAIN Purwokerto. Ia juga menjadi wakil ketua Forum Lingkar Pena (FLP) ranting Banjarnegara dan anggota di KPBJ. Karyanya terdokumentasikan dalam beberapa antologi cerpen serta tersiar pada media beberapa media seperti Kompas.id, Minggu Pagi, Solopos, Banjarmasin Post, Harian Sultra dan masih banyak lagi.

Puisi-puisi Nurul Mahabbah

BY editor IN 1 comment

 MEMBALUT LUKA

tangisan para papa dalam kemudi kezaliman
pilu ditimang kemiskinan
terbayang-bayang wajah kepongahan
menjerat menginjak menindas jelata 
oh nirkemanusiaan dalam buaian ibu pertiwi
masihkah ada kasih yang tersisa di sepiring risau
masihkah ada sayang yang mengecup duka
dalam balutan cinta
takhta yang cedera terperangkap fatamorgana
bumi masih bersetia menampung bakti dan insaf
langit masih biru di antara gulita dan kelabu

Cirebon, 15 Oktober 2020


SEBUAH MEMORI

Harus dengan apa aku membayar rindu
duhai ingatan
tak pernah rehat barang sejenak
menyedot darah
menyatu dalam dimensi kasih
seolah tak ada ruang dihuni
selain denyar yang mengisi
palung-palung diri

Aku hendak memusnahkan duri yang bercokol
dalam petikan narasi
namun enggan kulepaskan mawar yang bersimpul erat dengannya
Kugali liang sedalam mungkin
sebagai tampungan nyeri
agar tak mencuat ke permukaan
Bilakah ada hati yang menyentuhnya
sedikit saja
Kengiluan kembali mengerang
dan deras hujan membasuhnya
walau begitu menyayat-nyayat
berharap ingatan perlahan disapu hujan sekian malam


Cirebon, 13 Oktober 2020

 

 


 

NYANYIAN PEREMPUAN

Perempuan yang melukis pantai dengan air matanya acapkali lunglai berjalan di keterasingan
Ingar-bingar kota tak jua mampu membobol sangkar yang kerap diburu sejuta mata
ia temukan pulau paling sunyi di ujung khatulistiwa
Tak pernah sekali pun riak-riak di bibir pulau terdengar kecuali sepoi angin yang meniupkan tanda kasih di musim kemarau
Rumput-rumput liar dibiarkannya meninggi
Air matanya berembun di sela-sela kehijauan, di pucuk ilalang sampai mengering dan basah kembali
Di dalamnya timbunan harta karun sulit dijangkau karena tak pernah ada yang mengira dan tak terbaca di segala peta, nirwana yang terpendam di inti bumi
Ia menari dan melukis yang menjelma di ombak puisi
Selebrasi luka yang dikecup pasang semalam begitu mengganas
Tubuh kaku, tatapnya dingin, terkapar digerus gelombang
Sang petualang enggan berkisah tentang penyelaman yang nyaris merenggut nyawa
pula kesempurnaan mahakarya yang dinikmatinya
Itulah mengapa kesunyian adalah nyanyian paling mesra yang diputarnya berkali-kali meloncati batas waktu mekar dan layunya
Hidup dan matinya hanyalah perpindahan jasad
sedang roh tak pernah singgah dari kerahasiaannya


Cirebon, 16 Oktober 2020

 


SIMPUL KEMERDEKAAN

Kemerdekaan ialah puisi yang bertumbuh di gerak lincahmu
Mencari mendapatkan melepaskan
Kau tak terusik celoteh burung-burung yang menyambangi hari-hari
Membebaskan diri dari sangkar kemasygulan
menuju jalan harapan di ruas-ruas kehidupan
Tanda-tanda yang menyemburat saat kausibak bumantara
selalu menjejak dalam benak
Nyalimu berkibar tak gentar dihantam badai
Dan ribuan nyawa kaumiliki menggantikan hati-hati yang telah mati dijajah kenestapaan
Bukan hanya rayuan sukacita mengalun merdu yang hendak menerjemahkan bahagia
Seolah-olah memang tampak menawan
Melukis rupawan dari citramu yang mengindahkan makna tawa dan tangis dari balik gelita dan kirana
Sesungguhnya bahagia selalu wafa dalam napas kesabaran yang indah
Merdeka tak pernah beranjak darinya
Hatimu adalah kemerdekaan di atas segala makna-makna

Cirebon, 13 Oktober 2020

 

 


Nurul Mahabbah bernama lengkap Nur Zulfiani Imamah, merupakan anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Cirebon. Puisi-puisinya kerap dimuat di Radar Cirebon dan Fajar Cirebon. Aktivitasnya sekarang menjadi guru bahasa Indonesia di SMP IT Al-Muqoddas Sumber Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Alamat sur-el: nurzulfiani.imamah@gmail.com, Facebook Nur Zulfiani Imamah, dan Instagram @nurzulfiani.imamah. 

Sabtu, 24 Oktober 2020

Puisi-puisi Irna Novia Damayanti

BY editor IN No comments


 Di Hulu Sungai


di hulu sungai

apa yang mesti aku lepas

membiarkan arus membawanya ke hilir

orang-orang yang biasa mencuci pakaiannya

di pinggir atau anak-anak yang hobinya mandi

tidak membutuhkan kata yang

kubawa dari rumah

di hulu sungai memang telah menjadi tempatku

melayani hidup mencium degup

membasah hati yang digersangkan resah

mereka menunggu makanan

biar perut tidak berdemo setiap hari

biar maut seakan tidur lelap

meski sebenarnya hanya menutup matanya

dan tetap berjaga setiap saat

di hulu sungai aku

benar-benar hanya melepas doa setiap harinya

karena itulah harta satu-satunya yang kupunya

Rajawana, September 2020



Dari Gagang Telepon

; Ida

dari gagang telepon

aku mengenal suaramu

awalnya aku menyangka kau sedang

mengenalkan usiamu yang hanya diisi murka

sebab setiap kata membunuh senyum ranum

tapi ternyata kau sedang terluka

sebab doa yang sempat kau ucap salah alamat

dan kau merancang rencana demi rencana demi

menyelamatkan doamu yang sebenarnya

tidak mendapat restu dari semesta sampai

kau berkali berlari mengantar luka lebih nganga

tapi kau rasa surga

sementara usia telah memintamu untuk pulang

tapi kau masih melawan

hingga sebuah pesan telah menguburkan semua riwayat

di dalam malam dan

gagang telepon tidak lagi berdering

memanggil namamu

Rajawana, September 2020



Ayu Drupadi

;Hastri

nak, aku juga melihat ayu drupadi hidup di wajahmu

mungkin karena itulah banyak puisi indah hinggap di sana

banyak kata yang bertamu meski

hanya meminta nama serta alamat menuju hatimu

siapa yang tinggal hanya yang

tidak menanggalkan harapan dan keyakinan pada

perjalanan usianya

siapkan saja al fatikhah setiap harinya

sebagai jamuan selamat datang

biarkan Allah yang akan menentukan

doa mana yang harus dipatahkan

di depan matamu

hari ini, cukuplah kamu menjaga ayu drupadi yang

hidup di wajahmu

2020



Setelah Subuh


Nay, kekasih telah datang sebagai tamu

setelah subuh lusuh

aku sudah dipanggil dan dipeluknya di kesepian sambil

menjelaskan bahwa bunga di depan rumah

pada masanya akan berakhir menghibur diri yang

gelisah

nay, maukah kau ikut bersamaku

sebagai perempuan berjabat tangan dan bergandengan

bersama orang yang matanya terbuka

yang tidak buta

yang di hatinya tempat merawat rahmat

tanpa lagi saling menyuguhkan punggung

dan berjalan

pasti, kita akan sampai tanpa susah payah

membaca simbol pada peta buta

di tangan kita masing-masing yang belum jelas

kemana ujung berakhirnya

Rajawana, September 2020



Di Hutan


di dalam hutan yang sudah kuhafal jalannya

tidak akan ada ketakutan yang menggantung di mataku

ketakutan telah kutitipkan kepada Tuhan sebelum

aku menghirup kesegaran udara di celah pohon besar

sebelum tanah mengotori kaki telanjangku

karena itulah aku memulai mengeja

lalu membaca dengan terbata dan berusaha

sampai menghafal

biar hidupmu yang seperti hutan

mampu kudatangi tanpa ada ketakutan

membuntuti langkahku

Rajawana, September 2020



Irna Novia Damayanti. Lahir di Purbalingga, 14 September 1992. Beralamat di

Rajawana Rt19/07 Kec.Karangmoncol Kab.Purbalingga. Seorang Santri di Pesantren

Mahasiswa An Najah Purwokerto. Aktif di Komunitas Sastra Santri Pondok Pena.



Lelaki Penjaja Puisi

BY Agus Pribadi IN No comments

pixabay.com


Cerpen Riswandi

 

Aku mengamati lelaki setengah baya itu sejak awal keberadaannya di sana. Mungkin sekitar sebulan yang lalu. Aku lupa tepatnya. Tapi, aku ingat bagaimana dia melobi security toko agar dibolehkan menyapa para pengunjung di samping pintu masuk.

 Tentu saja semula keinginannya ditolak mentah-mentah. “Di sini tidak boleh mengamen, Pak!” Security yang masih muda itu berulang kali mengatakan hal itu.

“Saya tidak mengamen, Pak. Saya di sini hanya dua jam, untuk menawarkan puisi saya kepada para pengunjung. Saya janji, Pak, hanya dua jam sehari sehabis Asar.” Lelaki tua itu memohon dengan mimik memelas.

“Itu apa namanya kalau bukan ngamen?” Wajah security tampak kesal.

Kegigihan lelaki itu yang membuatku tertarik mengamatinya. Setiap hari, dalam seminggu ia terus memohon agar diizinkan menawarkan puisi di sana. Hingga akhirnya pemilik toko buku terbesar di Yogyakarta itu memberinya izin.

Itulah dia. Lelaki setengah baya penjaja puisi. Ia akan berdiri di samping pintu keluar masuk toko selepas Asar hingga dua jam ke depan. Jas hitam di tubuhnya telah kecokelatan di beberapa bagian. Warna dasi yang dikenakan tak lagi jelas. Merah buluk. Celana panjang hitam yang dikenakannya berpadu dengan sepatu kulit yang usang. Wajahnya terlihat bersih meskipun tampak sedikit pucat. Dari kios rokok tempatku berjualan di samping pintu masuk parkiran toko, aku mampu mendengar intonasi suaranya dengan jelas.

Sesekali aku mendekati lelaki itu. Sekadar melintas. Tidak untuk menegur. Saat aku melintas di depannya, aroma parfum yang cukup menyegarkan tercium dari badannya. Namun, penampilannya membuat orang-orang yang keluar dari toko memandang sebelah mata.

“Sudikah Tuan dan Nyonya mendengarkan puisi hamba?” ucapnya pada orang-orang yang keluar toko. Kebanyakan dari mereka memandang lelaki itu sekilas. Tanpa senyum. Lantas melekaskan langkah menuju mobil atau motor terparkir.

Bibir lelaki itu melukis lengkung. “Masih banyak pengunjung yang mungkin mau mendengar puisi.” Mungkin begitu kata hatinya setiap mendapatkan penolakan dari pengunjung.

Wajah lelaki itu tampak menyala saat seorang pemuda keluar sambil membaca buku. Ia mengintip judul buku bersampul cokelat berpadu merah saat sang pemuda lewat di depannya.

“Aku ini binatang jalang. Dari kumpulannya terbuang,” ucapnya dengan lantang.

Sang pemuda berhenti, lalu berpaling dan menatapnya. Dahinya mengerut. “Bapak tahu puisi itu?”

Lelaki itu terkekeh. “Siapa yang tidak tahu puisi Chairil Anwar?” Ia kembali terkekeh. “Apa kau mencintai puisi, Anak Muda?”

Pemuda itu menggeleng. Ia meliarkan pandangan ke pelataran toko, seperti enggan menanggapi omongan lelaki di depannya.

“Maukah kau mendengarkan puisiku, Anak Muda?”

Pemuda itu kembali menatap lelaki yang memandangnya penuh harap. Tangan kanannya merogoh saku celana. Selembar uang lima ribuan ia sodorkan.

“Maaf, saya sedang terburu-buru!” Ia menjatuhkan uang itu, karena lelaki tua itu tidak mengambilnya. Ia bergegas menuju motor sport yang terparkir di halaman toko.

Lelaki tua itu mendesah. Dengan lunglai dipungutnya uang tadi, lalu dimasukkan ke dalam kotak kaca bertuliskan kotak amal yang terpajang di samping pintu toko.

Berkali-kali selama beberapa hari lelaki itu setia menawarkan hal serupa. Tapi, hanya segelintir orang yang merespon hangat. Selebihnya, picingan mata, langkah tergesa, palingan muka, juga gerutu tak jelas yang ia dapatkan. Meski begitu, ia terus menjajakan puisinya. Hanya untuk didengar, bukan minta dibeli. Namun, hingga hari ke-27 tak juga ada yang mau mendengarnya dengan serius. Lelaki itu hampir putus asa.

“Zaman sekarang puisi tak ada harganya.” Ia berkata saat membeli sebatang rokok di kiosku. Wajahnya tampak mengguratkan kelelahan. Bukan hanya raga, tapi juga jiwa. Angan lelaki tua itu seperti sedang mengembara. Ia mengisap rokoknya dalam-dalam, menahan asap yang memenuhi rongga pernapasannya beberapa saat, lalu mengembuskannya dengan perlahan.

“Apa kamu mau mendengarkan puisiku, Mas?” Pertanyaannya membuatku sedikit terkejut.

“Apa arti puisi bagi penjual rokok seperti saya, Pak?”

Ia terkekeh. “Puisi tidak mengenal kasta, Mas. Hidup kita ini sendiri adalah sebuah puisi. Masa lalu, masa kini, dan masa depan adalah puisi. Impian-impian kita, impian anak-anak kita adalah puisi.” Mata lelaki itu menewarang jauh. “Nasib yang kita hadapi, takdir yang kita jalani, bisa jadi hanyalah sebatas permainan kata-kata para pujangga.”

Aku memandang wajahnya. Penderitaan batin tercermin jelas dalam tatapannya.

Ia baru saja mematikan rokoknya saat seseorang menghampiri kami.

“Boleh saya mendengarkan puisi Bapak?”

Suara itu pelan, tapi mampu membuat mata yang dikelilingi kulit keriput menjadi segar. Lelaki itu segera bangkit, memutar badan, mencari asal suara. Seorang pemuda berkaos krem biru dengan topi cokelat tersenyum memandangnya.

“Boleh saya mendengarkan puisi Bapak?” tanyanya sekali lagi.

“Yakin kamu mau mendengarnya, Anak Muda?” Lelaki itu menatap si pemuda, seolah meminta kepastian.

Si pemuda mengangguk mantap.

Lelaki itu merapikan baju, seakan hendak tampil di panggung pertunjukan. Ia mengambil lipatan kertas yang terlihat sudah lusuh di saku baju, lalu membukanya. Tidak lama kemudian, suaranya mengalun hingga terdengar ke dalam toko. Orang-orang terdiam sejenak dari aktivitasnya. Mereka ikut menikmati alunan suara lelaki itu.

 

Pemburu Embun

 

Aku pemburu embun

Berbekal lubuk seluas samudra

Sesal sekujur saraf jadi senjata

Pun ratap yang merimbun

 

Aku pernah terjerat kelam

Terpikat rupa; terlekat alpa

Membakar ruang antara kita

Kau menjauh; aku berdebam

 

Aku pemburu embun

Berpeluk rindu berhalimun

Saat fajar memagut sinar

Dan aroma sekar menguar

 

Tak ada hujan katamu

Tuk dinginkan kalbu

Pun begitu dengan angin

Tak lagi mampu menyejukkan

 

“Maaf! Tak ada maaf untukmu.”

Ucapmu meluruhkan egoku

 

Tidakkah kau simpan embun?

Setetes; hanya setetes

“Tidak! Ia ‘tlah menguap.

Lenyap!

Bersama sajak-sajakmu!”

 

Yogyakarta, Maret 2004

 

Air bening mengembun di kelopak mata lelaki itu. Suasana menjadi sunyi. Hening. Semua sibuk dengan suasana hati masing-masing. Sebuah tepuk tangan membangunkan semuanya. Suara berubah riuh saat tepukan tangan saling bersaut. Air bening semakin santer mengalir dari sudut mata lelaki itu. Bibirnya melukis sebuah senyum: antara sedih dan bahagia.

****

Keesokan hari dan hari-hari berikutnya Si Pemuda rutin mengunjungi lelaki itu. Mereka sering ngobrol di samping kiosku. Hampir setiap hari, selepas Asar dia ke sini. Dan setiap datang, ia meminta dibacakan puisi yang berbeda. Bukan cuma satu, kadang tiga atau lima puisi. Lelaki itu senang karena ada yang mengapresiasi puisinya. Puisi yang selama ini dijajakannya kepada orang-orang.

“Luar biasa!” puji Sang Pemuda setelah lelaki itu membacakan puisi keempatnya hari ini. “Bagaimana Bapak bisa menulis puisi sebanyak ini?”

“Ah, itu hanya catatan yang aku torehkan, Anak Muda. Catatan selama aku mencari keberadaan istri dan anakku. Puisi pertama yang kau dengar beberapa hari lalu adalah awal pencarianku. Enam belas tahun silam.”

Sang Pemuda memandang wajah keriput di depannya. Aku melihat matanya berkaca-kaca.

“Ah, harusnya kau paham isi puisiku itu, Anak Muda. Inilah aku. Seorang pemburu pengampunan dari istri dan anakku.” Mata yang sudah cekung itu menerawang jauh.

“Kenapa?” Si Pemuda itu mengusap matanya dengan punggung tangan.

“Kenapa? Kenapa pertanyaan itu tak muncul waktu itu di benakku. Kenapa aku harus bersikukuh menjadi pemuisi dan mengabaikan mereka? Kenapa?” ucap lelaki itu seolah bicara dengan dirinya sendiri. “Ah, sudahlah! Aku sudah senang ada orang yang mau mendengar puisi-puisiku. Terima kasih, Anak Muda. Sudah sebulan lebih aku di sini. Sudah saatnya aku menjajakan puisi di tempat lain, sambil berharap dapat bertemu istri dan anakku. Sebab, hanya itu yang dapat aku lakukan untuk menebus kesalahan. Penyesalan dan harapan bertemu dengan merekalah yang membuatku bertahan hingga kini. Selamat tinggal, Anak Muda!”

Usai mengucapkannya, setelah berpamitan padaku dan kepada Si Pemuda, lelaki itu melangkah menyeberangi jalanan yang ramai.

Aku melihat Si Pemuda ingin menahan langkah lelaki itu. Namun, mulutnya tak mampu berkata. Lelaki itu melangkah mantap meninggalkan pelataran parkir toko. Si Pemuda memandanginya dengan mata yang kembali basah. Aku hanya memandanginya.

Lamat-lamat aku mendengar Si Pemuda itu berujar lirih.

“Ayah, tak bisakah kau mengenali putramu sendiri?”(*)

 

 

Tangerang Selatan, Agustus 2020

 

---------------------------------------------------------------------------------------

Riswandi, lahir di Kebumen, 19 Maret 1981. Sekarang tinggal di Pamulang, Tangerang Selatan. Seorang driver ojek online yang suka dan sedang belajar menulis fiksi. Antologi cerpen yang pernah diikuti:

-          Janda Hamida dan Langit yang Terbelah (Antologi LCMBUA #9)

-          Reuni, Nostalgia Kata-kata (Antologi 10 tahun LCMBUA)

 

Sabtu, 17 Oktober 2020

Penunggu Hujan

BY Agus Pribadi IN No comments

 

pixabay.com

Cerpen Nina Rahayu Nadea


“Ayah!” Aku berlari ke arahnya.

“Ada apa?” Langkah Ayah terhenti. “Mengapa, Yan?” tanyanya kembali.

Aku terdiam. “Ayah jangan pergi.” Akhirnya keluar dari bibirku, suara yang pelan. “Hujannya sangat deras.”

Ayah menghela napas. Mendekat dan membelaiku. “Yan, hujan memang deras. Namun kau tak usah takut. Hujan itu anugrah. Dan kita tetap harus berjuang untuk hidup walau hujan deras.”

“Aku ... aku tidak suka hujan, Yah. Aku benci hujan!”

“Ayah tahu. Namun ada baiknya kau mulai belajar menghilangkan duka. Ingat semua sudah ada yang mengatur, jangan pernah takut.”

Hujan adalah bencana bagiku. Karena hujan, Ibu dan adikku tiada. Aku kehilangan orang tercinta. Kasih sayangku harus terberai.

Semua begitu cepat. Selalu terekam dalam ingatan. Masih kuingat saat itu. Di suatu pagi. Pagi yang basah, karena semalam hujan mengguyur. Kami bergembira menyambut pagi. Tentu bahagia, karena kami punya kios baru. Kios kecil yang dibangun tepat di depan rumah. Menutupi selokan besar.  Yang paling berbahagia tentulah Ibu karena sudah lama  ingin berjualan.

Kami semua berkemas menuju kios. Menata barang-barang yang baru dibeli Ayah kemarin sore. Rencananya hari ini Ibu mulai berjualan.

“Hujan kali ini mudah-mudahan membawa rezeki. Pertanda baik untuk kita semua.” Ibu memandang ke luar kios.

“Aamiin. Mi ini pindahkan ke rak sebelah sana, Bu.” Ayah mengambil mi, menyerahkannya pada Ibu.

Ibu masih asyik menata, ketika hujan mulai turun. “Yan. Simpan kopi ini ke rumah. Raknya sudah kepenuhan.”

“Di bawah saja, Bu. Biar tidak repot mengambil kalau habis.”

“Gampang. Tinggal ngambil. Lagian di bawah tidak nyaman. Ada tikus.”

“Baik, Bu.”

Baru sebentar berada di rumah. Ketika tiba-tiba terdengar suara petir begitu besar, diiringi suara gelegar. Hujan besar tetiba datang.

Beberapa saat aku di rumah menunggu hujan reda.

Bruuuk.

“Ibu ... Caca!” Suara dari luar terdengar jelas.

“Ibu ...!” Aku berteriak, berlari menembus hujan. Kios luluh lantak. Air selokan menguap. Tak kudapati Ibu dan Caca.  “Ibu... Ayah...” Aku histeris. Berusaha mencari mereka diantara puing  reruntuhan.

“Yan! Ibu dan Caca terseret air.” Tiba-tiba Ayah berdiri di belakangku.

Dari para tetangga yang bercerita, baru aku tahu bahwa hujan deras telah meruntuhkan kios baru kami. Air yang meluap membuat kios yang berada di atas selokan ambrol. Tidak hanya itu mereka membawa hanyut Ibu dan Caca.

“Moga kau bisa segera ditemukan, Bu.” Aku menyeka air mata.

Satu jam, dua jam  sampai malam... kutunggu tentang kabar mereka. Namun semua tak ada pertanda. Kabar baru diterima ketika keesokan harinya. Itu pun kabar yang membuatku sedih. Ibu dan Caca ditemukan sudah meninggal dengan kondisi saling berpelukan.

Kejadian yang membuatku begitu terpuruk. Yang lebih membuat semua orang khawatir aku begitu takut dengan hujan. Aku menjadi seorang yang gemar menyendiri dan selalu mengurung diri di kamar. Aku hanya bercakap secukupnya, itu pun dengan yang kukenal.

Ayah terus menerus memotivasiku untuk mengalahkan rasa takut.  Namun kiranya semua sia-sia. Fobia tetap menjadi temanku. Terbalik dengan Ayah. Ia penyuka hujan.  Hujan adalah penyemangat baginya. Bersama hujan Ayah dapat menjumpai berjuta kenangan. Kenangan tentang Ibu dan Caca. Bermain dalam kenangan, menyeruput bayang-bayang Ibu dan Caca dalam ingatan.

Tak heran  jika Ayah begitu giat bekerja. Tak peduli hujan deras. Petir yang mengilat adalah imaji yang mampu hantarkan kekuatan untuk bertemu sang dirindu. Pekerjaan Ayah sebagai debt collector di sebuah perusahaan mobil pun terus digeluti, dengan alasan tadi. Dapat merajut kenangan di alam lepas. Tak heran jika Ayah menolak tawaran head collector. Menurutnya itu adalah penjara. Ayah lebih menyukai petualangannya di lapangan, tentulah berpetualang dengan hujan.

“Kenapa tawaran itu ditolak, Yah?”

“Ayah ingin tetap merajut kenangan bersama Ibu dan Caca. Hanya dengan itu Ayah mengobati diri.”

“Merajut kenangan?”

*

“Ayah ...!” Aku terbangun seketika di suatu malam. Mimpi telah membuatku berpeluh keringat. Semua seolah nyata. Kulihat Ayah terperangkap dalam hujan. Badan dan tangannya dengan lincah bergerak menyambut hujan, namun kakinya tak terlihat.

Mimpi buruk itu ternyata menjadi kenyataan. Ketika beberapa jam kemudian datang seseorang membawa kabar. Ayah masuk rumah sakit karena mendapat kecelakaan. Kecelakaan yang terjadi diantara hujan deras. Ah, lagi-lagi karena hujan. Kecelakaan itu membuatku lebih terpuruk karena Ayah kehilangan kakinya, juga kehilangan pekerjaan yang selama ini begitu didambanya.

“Yan. Kau tak boleh bersedih. Harus tetap tersenyum menghadapi hidup. Bangkitlah, Nak. Ayah yakin suatu saat pasti kau sembuh.” Ayah tersenyum memandangku.

Aku hanya mampu menangis. Hatiku begitu sedih melihat Ayah tak berdaya. Semakin teriris melihat ketegaran dan senyum yang tersungging dari bibirnya. Apa yang harus aku lakukan? Ah, berulang kali aku merutuk diri. Kenapa sekolahku putus? kenapa selama ini hanya berdiam diri dalam rumah? Kenapa tak pernah membantu Ayah sedikit pun.  Aku begitu tak berguna. Di usiaku yang dewasa aku terus saja menyusahkan Ayah.

Kuselimuti Ayah yang terbaring di atas kasur. Kupandangi langit di luar sana. Hujan masih bergerimis. Suara rintiknya terdengar dari genting jendela. Lagi-lagi hujan. Aku benci hujan. Hujan itu petaka bagiku.

“Kenapa. Yan?” Suara Ayah membuatku tersadar. “Dari tadi Ayah lihat kau melamun saja, kenapa?” tanyanya lagi.

“Tidak apa-apa. Aku hanya ... malu. Tak bisa berbuat apa-apa. Maafkan aku, Yah.”

“Sudahlah yang penting kau berdoa saja. Kendati Ayah cacat. Ayah tetap akan menjagamu. Ayah akan berusaha mencari pekerjaan kembali. Apapun itu asalkan halal.” Ayah menatap langit-langit kamar. Ada parau dari suaranya. “Yan, di luar masih hujan?”

“Ya,” jawabku pendek.

“Musim penghujan telah tiba. Semoga membawa berkah.” Ayah membenarkan letak bantalnya, berusaha pejamkan mata

Aku berjalan meninggalkan kamar Ayah. Duduk di kursi ruang tamu. Suara rintik hujan masih terdengar. Menemani kesepian  yang semakin merayapi  dinding hati. Kusingkap gorden, memerhatikan hujan.

Tik ... tik ... tik ... suara itu kembali datang. Berirama. Lambat tapi nyata. Dan tak terasa mengiringiku seperti nyanyian indah. Aku berjinjit, membuka pintu luar perlahan. Dingin menusuk kulit. Kutarik jaket menutupi leherku. Duduk  di kursi teras. Kuangkat kaki tinggi, menghindari dingin yang menusuk.

`Nyanyian hujan  terus berada di kepalaku. Kakiku terulur merasakan dingin yang merambat. “Aku harus membiasakan diri...,” gumamku. “Aku ingin Ayah bangga, bahwa aku dapat terbebas dari trauma.”

“Aw ...!” Aku kaget. Seketika hujan deras. Angin bertiup kencang, menjatuhkan rintiknya hingga menerpa wajahku. Kuusap wajahku yang basah. Tidak kenapa napa bukan? Seperti ada yang mengguman dalam hatiku. Ingat hujan itu adalah anugerah. Bangkitlah. Rasakan, hujan itu tidak seperti yang terpikirkan. Tidak menakutkan.

Aku bangkit. Mengambil payung yang bersandar di samping pintu. Membuka perlahan dan langkahkan kaki menuju hujan. Kubiarkan kakiku basah. kubuka tangan kananku lebar, menangkap hujan yang datang,  terus kutangkap. Ah, mengasyikan batinku. Kubuang payung dan kembali bermain menangkap air hujan yang datang. Hujan tak menyakitkan seperti yang  kupikirkan.  Aku harus taklukan hujan.

Tanpa sepengetahuan Ayah aku belajar. Belajar menjadi seseorang yang kekar. Belajar untuk mandiri. Satu yang lebih penting. Belajar untuh enyahkan trauma.

Kata Ayah hujan adalah anugerah. Dan kali ini adalah musim hujan. Aku harus bergerak. Aku harus berjuang membuat Ayahku bangga. Maka ketika Subuh tiba. Ketika hujan tetap saja datang. Aku berjuang mengambil beberapa payung di rumahku. Aku bertekad untuk menaklukan hujan dan membuat Ayah bangga.

*

“Payungnya, Bu... payungnya ...” Suaraku bergetar di tengah hujan yang mengguyur.

“Payung!” Suara Ibu memanggil.

Aku gegas berlari menuju Ibu yang memanggil. Kuberikan payung padanya. Berjalan perlahan di belakangnya.

“Makasih, Bu,” ucapku sumringah ketika Ibu itu memberikan beberapa lembar uang padaku. Dan menjadi lebih bersemangat untukku agar dapat meraup uang yang lebih.

“Payungnya, Bu. Payungnya, Pak...” Aku berlari menembus hujan. Rasa bahagia menyelimuti hati. Bahagia karena ternyata aku sembuh.... Sembuh. Aku berteriak girang. Tak kuhiraukan berpuluh pasang mata menyaksikan. Ah, biarlah mereka tak akan tahu bagaimana mulanya aku. Yang penting akan kuteriakan pada mereka. Akulah sang penunggu hujan.   Benar kata Ayah hujan adalah anugrah. Hujan itu pemberi rezeki.

“Ayah aku pulang!”  Aku berteriak dari depan rumah. Ayah pasti berada di kamar. Batinku. “Yah, maaf aku pulangnya telat. Lihatlah apa yang kubawa. Aku membelikan makanan untukmu. Makanan kesukaanmu. Rendang.” Aku berdiri di balik pintu kamarnya. Mengetuk pintu beberapa kali.

Hening. Tak ada pertanda suara Ayah.

“Yah.” Aku menyorongkan pintu kamar. “Ayah!” aku terpekik melihat kamar yang berantakan. Atap kamar ambrol dan mengenai  kasur tempat Ayah tertidur. “Ayah.” Aku membuang kayu-kayu juga genting yang menutupi tubuh Ayah. Berharap Ayah dapat terselamatkan. “Ayah, aku telah sembuh, Yah. Lihat yang kubawa.” Aku menggoyangkan tubuhnya. Berharap ia dapat terbangun dan berkata-kata, seperti malam tadi.***

-----------------------------------------------------------------------------

Nina Rahayu Nadea. Menulis dalam bahasa Indonesia jeung bahasa Sunda. Karyanya dimuat di:  Pikiran Rakyat, Galamedia, Kabar Priangan, Majalah Kartini, Analisa Medan, Radar Bojonegoro, Majalah Potret Banda Aceh, Majalah Baca Banda Aceh, Suara Karya, Suara Daerah, Majalah Kandaga, Majalah Mangle, SundaMidang, Galura,  Tabloid Ganesha, Tribun Jabar, Koran Merapi Yogyakarta, Majalah HAI, Majalah Loka Tasikmalaya, Majalah Guneman,  Sastra Sumbar, Majalah Bobo, Buletin Jejak, KOMPAS, Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Solo Pos, Joglo Semar, Radar Banyuwangi, Jabar Ekspres, Majalah Geliat, Rakyat Sultra-Sulawesi Tenggara,  Koran Pantura Probolinggo, Majalah Cianjur, Koran Haluan Sumatera, FTBM Jabar online, Kompas Online, dll

Buku solo yang telah dibuat: diantaranya: Memahar Rembulan (BIP – Gramedia digital), Ilalang Belakang Sekolah ( BIP- Gramedia digital), Dua Hati (BIP – Gramedia digital), Menantimu ( di penerbit Anomali), Suara dari Langit (penerbit Anomali), Bersama Bapak dalam Goresan Tinta (Guneman Publisher). Cerita dari Sahabat Terbaik (Proses terbit), Kisah 4 Kucing (Proses terbit), Kamu Akhirnya Bisa Menulis Fiksi dan Nonfiksi (Proses terbit) 


Puisi-puisi Budi Wahyono

BY editor IN No comments

RIUH TUKANG SAYUR


kampung dikepung lapak-lapak

asam, gurih, manis lauk menggoda mesra selera

berebut dengan sayur mentah segar di mulut pagar


istriku tinggal merendanya dengan segebung bumbu

bersama resep yang tenggelam di layar hape

ia akan menerbangkan dengan penuh gairah

di atas kompor listrik yang siaga mengunyah


ah, semua pedagang kakilima seperti lulus dari diklat

semacam webinar dengan materi kepul segar

mereka fasih mengeja para pelanggan setia

yang semakin kampiun membuang muka

lihatlah kerut jidat para tukang sayur yang kian perkasa

kampiun nian membaca makin sulitnya rupiah diraba


tak usah keluar pagar istriku

di depan pagar barisan bakul siap menyerbu

ambil rumus setia matematika untuk dompet tipismu.  


Semarang, Oktober 2020



GELINJANG TUNANETRA


akulah lelaki yang diterkam hembusan isu

raga renta yang menguatkan beban

tempat kerja semakin menepi

tak kudengar deru sepeda motor terhenti


jika yang terngiang suara bernada sama

segera kubayangkan sang juragan bergegas tiba

sehari, seminggu, sebulan cukup hitungan untuk melayang

menjadi laba-laba purba

memajang kerupuk bergantungan di pinggir pertigaan


sambil menggenggam hp murahan

barangkali pesanan pijat masih mau datang

astaga, sebulan hanya ada hitungan tiga

itu pun tetangga yang baik semua.


Semarang, Oktober 2020







GEROBAK DAN SEJUMLAH BOTOL

: Lik Sam Kedungwuni


gerobag jamu melaju. Bersama puluhan  botol

semesra gelutan es dan dawet cendol

menawar jagat harap – aroma menyelinap

beras kencur, godhong kates, cabe puyang,

bersih darah – melawan mulut bergerak muntah


penyebabnya sederhana – bersliwernya corona

dan liar mata yang berbulan terus dipenjara

tak ada anggaran ketemu untuk sekadar menguyub jamu

ia pun kian digilas genderang dendang lesu


dengan desis gas yang tersengal napas

lauk terbatas – telur pun diadu tepung

mengundang pertempuran masa lalu

bundar telur dibagi rata tanpa merana

 

Semarang, Oktober 2020



RINDU KAPAL SELAM


aku memburumu bukan lantaran ular mengaum lapar

tapi imajinasi membelukar yang

semalam merajam dendam

“Sudah sebulan bapak tidak menjulurkan piring buat

menampung mpek-mpek kapal selam kesukaan,” batinmu


Giliran terbayang lelaki kurus beranak satu

yang menerawangkan telinga untuk deru amuk susu

“ASI saja tidak cukup, perlu gizi tambahan,” istrimu

mendiagnosis secerdas bidan puskesmas idaman

pikiran kecilku pun melesat pada kamar-kamar kos-kosan


dan kamu seperti membiarkan kicau istrimu dengan semacam

hiburan simpulan: Lagi-lagi hidup harus dijuangkan!


aku sengaja melipat beberapa jalan dan gang-gang 

merindu keluh kesahmu – sepertinya belum berakhir

sekalipun bulan di langit berebut menyingkir.

 

Semarang, Oktober 2020



Budi Wahyono, penulis kelahiran Wonogiri. puisinya tersebar di berbagai media cetak/elektronik dan sejumlah antologi.  Pemenang II (dua) dalam Lomba Puisi Iklan yang diselenggarakan Koran Kampus Manunggal, Undip (1989), Pemenang Lomba Puisi Lingkungan Hidup yang diselenggarakan IKIP PGRI Semarang. Tahun 2016, dalam Lomba menulis  Puisi bertema “Aku Cinta Jawa Tengah” yang diadakan Balai Bahasa Jateng menempatkan sebuah Puisi miliknya sebagai Pemenang 1.