Cerpen Dewi Sukmawati
Bertapa di rahim yang miskin itu kutukan untukku. Tidak
banyak asupan yang diterima dari rahim itu. Saban hari hanya kangkung tua,
tempe, dan nasi yang bisa tersalurkan pada tubuhku yang masih setengah jadi.
Siapa kira itu makanan baru. Itupun makanan sisa yang dipungut. Saat aku lahir,
darah yang membasahi tubuhku pula tidak berbau amis melainkan berbau
makanan-makanan sisa. Mataku ketika itu malas untuk terbuka. Mulutku pula malas
untuk mengeluarkan suara. Saat masih di rahim, aku telah mempersiapkan
mentalku. Tapi, tidak. Itu sia-sia. Aku masih tidak mampu untuk membuka mata
dan mulutku.
***
“Jo. Tolong bantu ibu.”
“Bantu apa Bu?”
“Tolong kamu menyapu lantai yah. Ibu sedang terburu-buru.
Nanti ibu akan segera pulang kalau urusan ibu udah selesai dan membawakanmu
makanan.”
Aku hanya menganggukkan kepala. Itu hal biasa. Untuk
menemani kesendirianku, aku menyalakan televisi. Tepat di acara berita.
“Puluhan mahasiswa di berbagai wilayah menggelar aksi
unjuk rasa di depan rektorat kampus masing-masing guna menuntut pengembalian
uang kuliah tunggal atau UKT. Aksi yang dilakukan sempat diwarnai ketegangan
karena mahasiswa akan terus menuntut bila keinginan mereka tidak dikabulkan.
Hal ini dikarenakan mahasiswa merasa dirugikan karena hanya beberapa kali tatap
muka, tidak ada subsidi kuota, dan pembelajaran mengalami ketidakjelasan.”
Tanganku yang sedang menyapu seketika berhenti dan
mendengarkan berita itu dengan seksama.
“Orang-orang memang biasa menuntut haknya. Lalu,
bagaimana dengan kewajiban mereka? Bila aku boleh menuntut hakku. Aku menuntut
segalanya. Aku menuntut hakku untuk sekolah dan berkuliah seperti mereka. Aku
menuntut kesejahteraan keluargaku. Aku menuntut hakku atas kepulangan ayah
kembali. Dan aku percaya ibu pasti akan menuntut haknya agar tidak di-PHK
karena pandemi yang datang dari negeri tetangga itu.”
Saat aku selesai bergumam, tetanggaku datang. Dia Gadis
lembut. Dia sahabatku.
“Jo. Kamu belum selesai menyapu? Sini biar aku saja.”
“Kamu tidak kuliah di ponselmu?”
“Tidak. Dosen hanya memberikan tugas tanpa ada referensi yang
diberikan. Sudahlah lupakan. Kuliah di tengah pandemi ini benar-benar membuatku
gila. Di kampung tidak ada buku, sinyal sulit, dan aku malah disibukkan dengan berlama-lama
memegang ponsel ini.”
“Kamu tidak ikut serta melakukan unjuk rasa?”
“Unjuk rasa? Buat apa? Itu hanya akan melelahkan saja.
Sudahlah lupakan. Ini ada makanan untukmu.”
Aku menerima dan memakannya. Kami berdiskusi panjang
mengenai berita hanya yang diperbincangkan di televisi. Tidak lama kemudian ibu
kembali. Ibu berbicara dengan nada tinggi kepada Gadis. Ibu menyuruh Gadis
pulang dan diperingatkan untuk tidak kembali. Aku memegang erat tangannya yang
lembut. Aku tidak ingin Gadis pergi. Tapi apa daya, ibu memukul tanganku sampai
tangannya terlepas dan Gadis pergi dari rumahku.
Ibu membisu seketika. Aku bisa merasakan kemarahannya
saat ibu membanting barang-barang yang ada. Semenjak ibu di-PHK, ibu menjadi
buruh cuci di rumah Gadis. Biasanya ibu baik-baik saja setelah bekerja, tapi
sekarang ibu marah besar. Aku hanya bisa terdiam menunggu amarah ibu mereda.
***
Apa yang dipikirkan ibu, setiap harinya ibu diam membisu
dan tidak pergi bekerja. Mulutku sudah tidak bisa lagi terbungkam. Aku sungguh
tidak lagi bisa menerka ibu. Dan aku putuskan untuk bertanya.
“Ibu, apakah ibu dipecat lagi?”
“Diam kamu. Jangan bicara apa-apa lagi.”
“Ibu, Selama ini Jo sudah diam. Jo diam dilahirkan dari
rahim ibu. Jo diam saat ayah meninggalkan kita. Jo diam semenjak di rahim ibu Jo
ditakdirkan miskin. Bahkan Jo diam tidak menuntut saat Jo terlahir buta.”
Ibu menangis. Aku mendengar rintih suaranya. Aku memeluk
ibu dan air matanya membasahi bahuku. Aku telah salah bicara. Tapi, ibu hanya
menangis tanpa kata sekarang. Sungguh aku merasa bersalah. Di gubuk berukuran 4
x 5 meter ini, aku hanya hidup bersama ibu. Gubuk ini telah menjadi saksi
ketabahan ibu dalam menjalani kewajiban tanpa menuntut sedikitpun haknya.
Sedangkan aku hanya mengkritisi kewajiban yang telah susah payah ibuku lakukan.
***
Aku masih menyimpan surat dari Gadis sampai saat ini.
Gadis menyuruhku membukanya ketika dia telah benar-benar jauh dariku. Aku tidak
tahu kapan tepatnya waktu itu. Saat ini, aku hanya bisa memegang surat darinya.
Pasti sulit dia membuat surat ini karena bukan dengan pena. Mungkin gadis
menulisnya dengan reglet dan stylus.
“Jo. Apa yang sedang kamu pegang?”
“Bukan. Bukan apa-apa Bu.”
“Ya sudah. Ayo sekarang kita makan. Ibu sudah memasak
sayur kangkung dan tempe.”
Aku segera menyimpan kembali surat itu dan pergi ke dapur
untuk makan. Masakan ibu selalu sama rasanya. Entah rasa apa ini aku tidak bisa
mendefinisikannya. Seandainya aku bisa melihat, aku ingin sekali melihat
tampilan masakan ibu. Mungkinkah ibu benar-benar memasaknya atau ibu memungut
sisa makanan dari warung makan sebelah. Entahlah. Aku hanya bisa berpura-pura
melahapnya dengan penuh kegembiraan.
“Nanti ibu akan pergi sebentar. Seperti biasa kamu di
rumah saja yah. Jangan pergi ke mana-mana.”
Aku hanya mengangguk. Tidak ada yang harus aku katakan di
sini. Saat ibu melangkahkan kaki keluar, aku selesai dengan sarapanku yang
tidak terlalu istimewa. Setelah itu, aku menyapu lantai. Untuk menemani
kesendirianku, aku menyalakan televisi. Mendengarkan acara berita yang monoton.
Ya. Berita mengenai perkembangan virus yang semakin lama semakin tidak tahu
diri. Sembari menyapu, aku pula bergumam sendiri.
“Ini bukan persoalan salah siapa. Ini persoalan kebutuhan
setiap harinya. Memang, virus ini tidak bisa dianggap biasa saja. Tapi,
bagaimana dengan orang miskin? Sungguh. Lebih baik mati dalam keadaan kenyang,
daripada mati kelaparan.”
Saat bergumam, aku berharap Gadis datang. Aku berharap
Gadis membantuku menyapu. Tapi itu tidak terjadi. Tidak ada orang yang mengetuk
pintu dan datang menghampiriku. Hanya
ada suara rintik hujan yang merintih kesepian. Ya. Karena itu aku segera
menyelesaikan pekerjaan ini sendiri sebelum gemuruh di langit hujan membabi
buta dan aku tidak bisa mendengarkan berita dengan seksama.
Sial. Saat itu hujan datang dengan derasnya dan diiringi
gemuruh pula. Aku tidak bisa mendengar berita dengan seksama. Karena itu, aku
putuskan untuk mematikan televisinya. Aku takut ibu pulang dan memarahiku
karena menonton televisi di saat hujan. Ibu selalu beranggapan kalau demikian
aku lakukan maka petir akan menyambar merusak antena, televisi bututku, dan
membakar gubuk ini. Maka aku putuskan untuk pergi ke teras rumah. Duduk di sana
mendengarkan tangisan langit yang amat derasnya.
Saat hujan mereda, dari masjid terdengar berita kematian.
“Innalillahi wa inna ilaihirojiun, innalillahi wa inna
ilaihirojiun, innalillahi wa inna ilaihirojiun. Telah meninggal dunia bapak
Sajo bin Mojo, ibu Yuyu binti Arim, dan Gadis binti Sajo pada hari minggu di
jam sembilan pagi. Mari sama-sama kita mendoakan semoga amal ibadahnya diterima
di sisi-Nya”
Aku terkejut. Aku langsung mencari surat dari Gadis dan
membacanya. Tapi sayang, aku tidak bisa membacanya. Dia tidak menulisnya dengan
reglet dan stylus. Aku sangat gelisah. Sunguh. Tidak lama kemudian ibu datang.
Aku langsung mendatangi ibu dan memintanya membacakan surat itu untukku. Ibu
terkejut. Itu surat wasiat keluarga Gadis. Keluarga gadis menuntut untuk aku segera
melakukan operasi mata dan bersekolah dengan uang warisan yang diberikan oleh
mereka. Aku masih tidak percaya mengapa mereka meninggal dunia dan meninggalkan
surat itu. Aku memegang tangan ibu. Ibu pasti menyembunyikan sesuatu. Dan
akhirnya ibu jujur. Keluarga gadis memang mengidap penyakit menular dan
mematikan. Maka dari itu ibu dipecat oleh keluarga Gadis dan Gadis tidak
diperkenankan bermain kembali ke gubukku ini. Bahkan sampai kematian dan
pemakaman mereka, mereka tidak diantar oleh kerabat, tetangga, maupun sahabat.(*)
Dewi Sukmawati
lahir di Cilacap, 21 April 2000. Sekarang sedang menempuh pendidikan di IAIN
Purwokerto Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam jurusan Perbankan Syariah. Dia
aktif di SKSP IAIN Purwokerto dan KSEI IAIN Purwokerto. Karyanya dimuat
Antologi dan Koran Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Banjarmasin
Pos, Radar Banyumas, Minggu Pagi, Merapi, Analisa, Radar Cirebon, Media Cakra
Bangsa, Rakyat Sumbar, Bangka Pos, Suara NTB, ideide.id, Malang Post,
Simalaba.Net, Kabar Madura, DinamikaNews, Tantaka.id, dan Nusantara News.
Alamat di Desa Tambakreja Rt 02 Rw 01, Kecamatan Kedungreja, Kabupaten Cilacap,
Jawa Tengah. Email: sukmawatid608@gmail.com.
0 comments:
Posting Komentar