Sabtu, 12 September 2020

Surat Gadis

BY Agus Pribadi IN No comments

 

pixabay.com

Cerpen Dewi Sukmawati

 

Bertapa di rahim yang miskin itu kutukan untukku. Tidak banyak asupan yang diterima dari rahim itu. Saban hari hanya kangkung tua, tempe, dan nasi yang bisa tersalurkan pada tubuhku yang masih setengah jadi. Siapa kira itu makanan baru. Itupun makanan sisa yang dipungut. Saat aku lahir, darah yang membasahi tubuhku pula tidak berbau amis melainkan berbau makanan-makanan sisa. Mataku ketika itu malas untuk terbuka. Mulutku pula malas untuk mengeluarkan suara. Saat masih di rahim, aku telah mempersiapkan mentalku. Tapi, tidak. Itu sia-sia. Aku masih tidak mampu untuk membuka mata dan mulutku.

***

“Jo. Tolong bantu ibu.”

“Bantu apa Bu?”

“Tolong kamu menyapu lantai yah. Ibu sedang terburu-buru. Nanti ibu akan segera pulang kalau urusan ibu udah selesai dan membawakanmu makanan.”

Aku hanya menganggukkan kepala. Itu hal biasa. Untuk menemani kesendirianku, aku menyalakan televisi. Tepat di acara berita.

“Puluhan mahasiswa di berbagai wilayah menggelar aksi unjuk rasa di depan rektorat kampus masing-masing guna menuntut pengembalian uang kuliah tunggal atau UKT. Aksi yang dilakukan sempat diwarnai ketegangan karena mahasiswa akan terus menuntut bila keinginan mereka tidak dikabulkan. Hal ini dikarenakan mahasiswa merasa dirugikan karena hanya beberapa kali tatap muka, tidak ada subsidi kuota, dan pembelajaran mengalami ketidakjelasan.”

Tanganku yang sedang menyapu seketika berhenti dan mendengarkan berita itu dengan seksama.

“Orang-orang memang biasa menuntut haknya. Lalu, bagaimana dengan kewajiban mereka? Bila aku boleh menuntut hakku. Aku menuntut segalanya. Aku menuntut hakku untuk sekolah dan berkuliah seperti mereka. Aku menuntut kesejahteraan keluargaku. Aku menuntut hakku atas kepulangan ayah kembali. Dan aku percaya ibu pasti akan menuntut haknya agar tidak di-PHK karena pandemi yang datang dari negeri tetangga itu.”

Saat aku selesai bergumam, tetanggaku datang. Dia Gadis lembut. Dia sahabatku.

“Jo. Kamu belum selesai menyapu? Sini biar aku saja.”

“Kamu tidak kuliah di ponselmu?”

“Tidak. Dosen hanya memberikan tugas tanpa ada referensi yang diberikan. Sudahlah lupakan. Kuliah di tengah pandemi ini benar-benar membuatku gila. Di kampung tidak ada buku, sinyal sulit, dan aku malah disibukkan dengan berlama-lama memegang ponsel ini.”

“Kamu tidak ikut serta melakukan unjuk rasa?”

“Unjuk rasa? Buat apa? Itu hanya akan melelahkan saja. Sudahlah lupakan. Ini ada makanan untukmu.”

Aku menerima dan memakannya. Kami berdiskusi panjang mengenai berita hanya yang diperbincangkan di televisi. Tidak lama kemudian ibu kembali. Ibu berbicara dengan nada tinggi kepada Gadis. Ibu menyuruh Gadis pulang dan diperingatkan untuk tidak kembali. Aku memegang erat tangannya yang lembut. Aku tidak ingin Gadis pergi. Tapi apa daya, ibu memukul tanganku sampai tangannya terlepas dan Gadis pergi dari rumahku.

Ibu membisu seketika. Aku bisa merasakan kemarahannya saat ibu membanting barang-barang yang ada. Semenjak ibu di-PHK, ibu menjadi buruh cuci di rumah Gadis. Biasanya ibu baik-baik saja setelah bekerja, tapi sekarang ibu marah besar. Aku hanya bisa terdiam menunggu amarah ibu mereda.

***

Apa yang dipikirkan ibu, setiap harinya ibu diam membisu dan tidak pergi bekerja. Mulutku sudah tidak bisa lagi terbungkam. Aku sungguh tidak lagi bisa menerka ibu. Dan aku putuskan untuk bertanya.

“Ibu, apakah ibu dipecat lagi?”

“Diam kamu. Jangan bicara apa-apa lagi.”

“Ibu, Selama ini Jo sudah diam. Jo diam dilahirkan dari rahim ibu. Jo diam saat ayah meninggalkan kita. Jo diam semenjak di rahim ibu Jo ditakdirkan miskin. Bahkan Jo diam tidak menuntut saat Jo terlahir buta.”

Ibu menangis. Aku mendengar rintih suaranya. Aku memeluk ibu dan air matanya membasahi bahuku. Aku telah salah bicara. Tapi, ibu hanya menangis tanpa kata sekarang. Sungguh aku merasa bersalah. Di gubuk berukuran 4 x 5 meter ini, aku hanya hidup bersama ibu. Gubuk ini telah menjadi saksi ketabahan ibu dalam menjalani kewajiban tanpa menuntut sedikitpun haknya. Sedangkan aku hanya mengkritisi kewajiban yang telah susah payah ibuku lakukan.

***

Aku masih menyimpan surat dari Gadis sampai saat ini. Gadis menyuruhku membukanya ketika dia telah benar-benar jauh dariku. Aku tidak tahu kapan tepatnya waktu itu. Saat ini, aku hanya bisa memegang surat darinya. Pasti sulit dia membuat surat ini karena bukan dengan pena. Mungkin gadis menulisnya dengan reglet dan stylus.

“Jo. Apa yang sedang kamu pegang?”

“Bukan. Bukan apa-apa Bu.”

“Ya sudah. Ayo sekarang kita makan. Ibu sudah memasak sayur kangkung dan tempe.”

Aku segera menyimpan kembali surat itu dan pergi ke dapur untuk makan. Masakan ibu selalu sama rasanya. Entah rasa apa ini aku tidak bisa mendefinisikannya. Seandainya aku bisa melihat, aku ingin sekali melihat tampilan masakan ibu. Mungkinkah ibu benar-benar memasaknya atau ibu memungut sisa makanan dari warung makan sebelah. Entahlah. Aku hanya bisa berpura-pura melahapnya dengan penuh kegembiraan.

“Nanti ibu akan pergi sebentar. Seperti biasa kamu di rumah saja yah. Jangan pergi ke mana-mana.”

Aku hanya mengangguk. Tidak ada yang harus aku katakan di sini. Saat ibu melangkahkan kaki keluar, aku selesai dengan sarapanku yang tidak terlalu istimewa. Setelah itu, aku menyapu lantai. Untuk menemani kesendirianku, aku menyalakan televisi. Mendengarkan acara berita yang monoton. Ya. Berita mengenai perkembangan virus yang semakin lama semakin tidak tahu diri. Sembari menyapu, aku pula bergumam sendiri.

“Ini bukan persoalan salah siapa. Ini persoalan kebutuhan setiap harinya. Memang, virus ini tidak bisa dianggap biasa saja. Tapi, bagaimana dengan orang miskin? Sungguh. Lebih baik mati dalam keadaan kenyang, daripada mati kelaparan.”

Saat bergumam, aku berharap Gadis datang. Aku berharap Gadis membantuku menyapu. Tapi itu tidak terjadi. Tidak ada orang yang mengetuk pintu dan datang menghampiriku. Hanya  ada suara rintik hujan yang merintih kesepian. Ya. Karena itu aku segera menyelesaikan pekerjaan ini sendiri sebelum gemuruh di langit hujan membabi buta dan aku tidak bisa mendengarkan berita dengan seksama.

Sial. Saat itu hujan datang dengan derasnya dan diiringi gemuruh pula. Aku tidak bisa mendengar berita dengan seksama. Karena itu, aku putuskan untuk mematikan televisinya. Aku takut ibu pulang dan memarahiku karena menonton televisi di saat hujan. Ibu selalu beranggapan kalau demikian aku lakukan maka petir akan menyambar merusak antena, televisi bututku, dan membakar gubuk ini. Maka aku putuskan untuk pergi ke teras rumah. Duduk di sana mendengarkan tangisan langit yang amat derasnya.

Saat hujan mereda, dari masjid terdengar berita kematian.

“Innalillahi wa inna ilaihirojiun, innalillahi wa inna ilaihirojiun, innalillahi wa inna ilaihirojiun. Telah meninggal dunia bapak Sajo bin Mojo, ibu Yuyu binti Arim, dan Gadis binti Sajo pada hari minggu di jam sembilan pagi. Mari sama-sama kita mendoakan semoga amal ibadahnya diterima di sisi-Nya”

Aku terkejut. Aku langsung mencari surat dari Gadis dan membacanya. Tapi sayang, aku tidak bisa membacanya. Dia tidak menulisnya dengan reglet dan stylus. Aku sangat gelisah. Sunguh. Tidak lama kemudian ibu datang. Aku langsung mendatangi ibu dan memintanya membacakan surat itu untukku. Ibu terkejut. Itu surat wasiat keluarga Gadis. Keluarga gadis menuntut untuk aku segera melakukan operasi mata dan bersekolah dengan uang warisan yang diberikan oleh mereka. Aku masih tidak percaya mengapa mereka meninggal dunia dan meninggalkan surat itu. Aku memegang tangan ibu. Ibu pasti menyembunyikan sesuatu. Dan akhirnya ibu jujur. Keluarga gadis memang mengidap penyakit menular dan mematikan. Maka dari itu ibu dipecat oleh keluarga Gadis dan Gadis tidak diperkenankan bermain kembali ke gubukku ini. Bahkan sampai kematian dan pemakaman mereka, mereka tidak diantar oleh kerabat, tetangga, maupun sahabat.(*)

 ----------------------------------------------------------------------------------------------

Dewi Sukmawati lahir di Cilacap, 21 April 2000. Sekarang sedang menempuh pendidikan di IAIN Purwokerto Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam jurusan Perbankan Syariah. Dia aktif di SKSP IAIN Purwokerto dan KSEI IAIN Purwokerto. Karyanya dimuat Antologi dan Koran Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Banjarmasin Pos, Radar Banyumas, Minggu Pagi, Merapi, Analisa, Radar Cirebon, Media Cakra Bangsa, Rakyat Sumbar, Bangka Pos, Suara NTB, ideide.id, Malang Post, Simalaba.Net, Kabar Madura, DinamikaNews, Tantaka.id, dan Nusantara News. Alamat di Desa Tambakreja Rt 02 Rw 01, Kecamatan Kedungreja, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Email: sukmawatid608@gmail.com.

0 comments:

Posting Komentar