pixabay.com
Cerpen Wiwid Prasetiyo
Terserah orang mau kata apa, aku melayani suamiku seorang diri, tanpa pembantu.
Aku mencuci pakaian dinasnya, membuatkan masakan terlezat untuknya,
membersihkan rumah mungil kami, menyetrika baju, mencuci piring, memandikan
anak setiap pagi dan sorenya. Di sore yang selalu pukul empat, karena pukul
16.30 WIB suamiku akan pulang dan sibuk menggendongnya hingga menciuminya.
Bau minyak kayu putih sangat disukainya, juga bedak bayi yang sangat harum. Aku
sangat malu menjadi seorang istri jika bau apek yang kupersembahkan karena
terlambat memandikannya.
Para tetangga yang kebanyakan kaya-kaya seringkali ngasih saran—tentu saja
sarannya orang kaya, “Kenapa nggak pakai pembantu, Mbak?” atau, “Apa Mbaknya nggak capek seharian ngurusin
rumah, kita ini wanita Mbak, kodratnya itu dandan, shopping, masak saja bukan urusan kita kok. Makanya, jangan heran
kalau Nia Rahmadani nggak bisa ngupas salak, karena itu bukan kodratnya!” Ih,
batinku, mau nyindir saja pakai atas nama kodrat segala!
Semua pekerjaan itu sangat mudah bagiku, namun hanya satu yang sulit, menyuapi
anak. Kalau bisa berteriak, berteriaklah aku, ini sangat menjengkelkan. Anakku
paling sulit makan. Ia akan memulai pengalaman barunya untuk mengunyah makanan
yang lebih kasar. Pengalaman itu baginya mungkin horor sekali.
Tidak seperti bulan-bulan sebelumnya, ia hanya minum asi dan mengecup bau
ketekku, itu seperti surga baginya, tapi kali ini ia harus menjadi anak manusia
yang normal, yang giginya memang dirancang untuk mengunyah makanan kasar,
tetapi nampaknya ia belum siap dengan itu semua.
Sewaktu masih minum asi, tanpa makanan pendampingnya, badannya gemuk sekali,
tubuhnya seperti dipompa dan membesar, menyenangkan bagi siapapun yang
melihatnya, tetapi atas saran ahli gizi, tujuh bulan berikutnya ia harus
terpapar makanan bumi. Sayangnya para ibu tak pernah diajari ilmunya jadi orang
tua, bagaimana mempersiapkan makan untuk anak-anaknya.
Mula-mula kuborong bubur bayi, semacam makanan instan-nya bayi, lebih praktis
dan tidak ribet, cocok sekali untuk aku yang tak punya banyak waktu luang untuk
sekadar menyiapkan makanannya si kecil. Makanan ini sungguh gurih waktu aku
mencicipinya, tapi anakku menolak dengan penolakan yang tak pernah kubayangkan,
sendok yang mau masuk ke mulutnya itu ditampiknya, sisa makanan di genggaman,
diacak-acakkan ke rambut sambil menjerit keras.
“Bubur bayi begituan tuh, nggak ada gizinya, cari yang alami coba ...,” kata
mertua saat main kemari dan melihat makanan apa yang
kusajikan.
Sejak itu, bubur kemasan yang bertuliskan bubur tim ayam ini kuletakkan dengan
mubazir begitu saja, selebihnya aku sudah browsing
ke internet perihal makanan sehat apakah yang paling bergizi, ada ikan salmon,
ada brokoli ada wortel dan nasi, semua kuaduk dalam mesin pelebur, setelah itu
kududukkan dia di kursi, dan aku menyuapinya setengah mati, tetapi ia menangis,
menangis terus, bagai dilukai atau sakitnya berpindah alam dari kandunganku ke
dunia.
Apa yang salah denganku coba, makanan anakku tidak lagi bubur kemasan, tapi
bahan alami yang bahannya kubeli dari supermarket, mahal pastinya, tapi anakku
tetap tidak mau makan.
Badannya yang dulu delapan kilo, susut sekilo, lehernya memanjang, kaki-kakinya
bagai gurita, panjang-panjang pula, sementara aku semakin cemas, teman-teman
seusianya sudah bisa jalan, tapi anakku, merangkak saja belum, atau kalau tidak
mau merangkak dan langsung jalan, rambatan saja belum.
Pernah suamiku bertanya, kok anak kami belum bisa jalan, padahal seusianya
sudah, ia kutentramkan hatinya, “Begitulah anak cewek, bicaranya dulu baru
jalannya.” Untung saja Ia percaya,
walaupun aku sendiri ragu dengan perkataanku sendiri, benar atau tidak
bicaranya dulu, sepatah kata, dua patah kata saja tak pernah ia ucapkan.
Ya Allah, betapa ingin aku membahagiakan suamiku, melalui anak kami yang sehat,
tangkas dan bisa berjalan, tetapi bagaimana mau sehat dan pertumbuhannya cepat.
Ia masih seperti bayi, makannya kasar sedikit saja langsung dilepehi lagi.
Kamu maunya maem apa sih Sayang ... apa-apa kok nggak mau? kataku dalam hati
sambil menyuapkan nasi bercampur telur dan ikan tengiri yang ditumbuk halus. Ia
kembali menampik suapanku, untuk yang ke-ratusan kali, dan setiap kali
tampikan itu, hatiku rasa-rasanya bagai terbakar sedikit demi sedikit.
Ya Allah, ibu macam apa aku, hanya urusan menyuapi anak saja tak becus, istri
macam apa aku, membuat senang suami dengan mempersembahkan anak-anak yang
gemuk, manis dan lucu saja tidak bisa.
Semua pemberontakannya, tangisannya, tampikannya telah mendorong mekanisme alam
untuk menjadi sebuah sebab akibat yang logis. Anakku jatuh sakit, badannya
panas sekali, tapi tidak batuk dan pilek. Nafsu makannya tambah menurun, hampir
tiga hari tangisnya tak berhenti, tangisnya malam-malam bahkan telah membuat
matanya menyekung, ada lingkaran hitam di bawah matanya, seperti mata panda.
Karena sakitnya, ia jadi sangat merepotkan, aku tak bisa melakukan pekerjaan
seperti biasanya, menyapu, mengepel, hingga mencuci baju. Makannya juga sangat
sedikit, disuapi sedikit sudah muntah dan maunya minum air putih terus, air
putih juga muntah.
Barangkali ada yang salah dari cara menyuapiku, kata suami, “Cobalah sambil
jalan-jalan, melihat burung, melihat kucing, agar perhatiannya teralihkan.” Katanya,
“Dulu kalau aku tidak mau makan, dinaikkanlah aku pada kuda-kudaan yang hanya
bisa bergoyang maju dan mundur, waktu itu makanku banyak sekali.”
Lain hari, ketika panas anakku sudah turun dan di kulitnya timbul ruam-ruam
merah di badan, tapi nafsu makannya tetap terbatas, disuapi juga mengunci
mulutnya, diajak berkeliling komplek rumah kami dan waktu itu kulihat sarang
burung, lengkap dengan anak-anaknya yang menciap-ciap kelaparan, kemudian induk
burung itu datang dengan secuil makanan di mulutnya dan melolohkan makanan ke
mulut anak-anaknya. Namun, makanan itu hanya sedikit dan tak setiap anak
mendapatkannya.
“Kalau kau memang tak sanggup untuk menyuapinya, biar aku saja ...,” kata
suamiku, setelah aku menyuapinya dan nasi masih tersisa sedikit di mangkuk. Ia
mengambil selendang dan mulai menggendong anak kami, sambil tangan kanannya
memegang mangkuk kecil. Ia tak hanya tampak kikuk, tetapi juga aneh bagi mata
siapapun yang memandang, bahkan bagi anak kecil, tetangga komplek kami yang
tiba-tiba bertanya, “Kok yang nyuapi nggak ibunya?” Aku memperhatikan dari
jauh, dan suamiku hanya menyunggingkan senyumnya. Ia lantas berkeliling
komplek, menyuapi dengan caranya sendiri.
Aku tak tahu sampai di mana ia menyuapi anakku, tahu-tahu sudah kembali ke
rumah dengan keadaan mangkuk yang isinya masih utuh. “Nggak mau Mi ...,”
katanya. Hanya itu yang dikatakannya. Mudah sekali menyerah. Kumaklumi, mungkin
karena lelaki tidak lebih sabar dari wanita.
***
Tiada yang lebih sabar dari istriku, kesabaran itu adalah pantang mengeluh,
mengerjakan segalanya sendiri, tidak pernah meminta bantuanku, tak mau meminta
pelayanan, meski aku sanggup membayarinya.
Namun kesabarannya diuji oleh anak kami yang susah makannya, semenjak ia harus
makan selain asi. Aku tahu ia sudah berusaha, dan yang sekuat tenaga itu jika
tak tahu caranya atau barangkali makanannya yang tak enak, makanan itu hanya
mampu dimuntahkan saja.
Sebetulnya aku takkan menceritakan kesusahan istriku ini, aku sadar tak sanggup
membantunya, aku pasti tidak sabar untuk menyuapinya, tetapi ibu tahu sendiri
sewaktu ia main ke rumah kami dan melihat apa makanan untuk anakku. Semua yang
serba instant bukanlah jalan keluar
terbaik untuk anakku. Ia butuh nutrisi alami, maka ketika makanan instan itu
yang diberikan, ibu marah.
“Bubur bayi begituan tuh nggak ada gizinya, cari yang alami coba ...,” kata
ibuku. Ibu terkenal ceplas-ceplos, boleh jadi dianggapnya galak. Tapi tidak
bagiku, Ia tetap memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya, juga cucunya.
“Sikap Ibu jangan diambil hati Dik,” kataku.
“Ya Mas, aku tahu, kita turuti saja keinginan Ibu,” katanya. Kamipun pergi ke
supermarket dan membeli apapun kebutuhan anak kami. Apapun yang menurutnya baik
kami beli, Ia sudah browsing internet
dan mencari dari situs terpercaya komposisi makanan yang bergizi. Kemudian
dilebur dalam mesin. Tentu saja ini cara yang terbaik untuk anakku yang
belum bisa mengunyah makanan kasar. Namun, tetap saja ia tak mau makan.
Istriku sudah tak tahu lagi, cara apa yang harus dilakukan untuk menyuapi
anakku, kesabarannya sudah habis, hingga akhirnya anakku jatuh sakit, panas
tinggi dan tubuhnya jadi lebih kurus, aku sebetulnya kasihan. Kufoto dirinya,
kukirim ke grup whatsapp milik keluarga, tanpa ada istriku sebagai anggotanya,
celakanya ibu membaca, dan memanggilku tanpa sepengetahuan istriku.
“Anakmu sakit itu karena ulah istrimu, dia tidak bisa menyuapi anaknya, eehh...
malah dikasih makanan instan, ya tidak ada gizinya.”
“Kami sudah membeli makanan dari supermarket kok.”
“Baguslah kalau itu, tapi cara nyuapinya jangan didudukkan begitu, anak merasa tersiksa, jalan-jalan, ajak melihat suasana,” kata ibu lagi.
Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, apa yang menjadi saran ibu, kukatakan
pada istriku, dan kuanggap itu sebagai saranku. Ia menurut dan sekarang kalau
menyuapi makanan sambil keliling-keliling kompleks.
Keesokan harinya ibu menelpon lagi setelah aku mengunggah foto anakku di
fesbuk, sudah cukup baik suhu tubuhnya, panasnya turun, tetapi timbul ruam-ruam
merah, pasti akibat dari panas tingginya.
“Sudah berkali-kali kubilang, istrimu itu tak becus merawat anak, coba lihat,
anak kok sampai kurus kering gitu, pantasnya kalian ini orang tidak punya uang,
sama anak jangan eman-eman …”
“Jadi aku harus bagaimana?”
“Kalau istrimu yang tidak sanggup menyuapi, ya coba kamu saja ...”
Mana pernah aku membantah perintah ibu, ketika aku pulang melihat dedek sedang
disuapi, aku langsung mengatakan padanya, biar aku yang meneruskan suapannya,
menggendong dengan selendang dan mulai menyuapkan ke mulutnya, tapi sungguh
terkunci, tak sebutir nasipun masuk.
Aku tentu tak lebih baik dari istriku, tidak lebih sabar padanya, termasuk juga
ibu yang hanya sebagai penonton, tak merasakah jerihnya menyuapi anakku.
Aku melihat induk burung menyuapi anaknya di dekat rumah tetangga, anakku
dalam gendongan kutunjukkan, mungkin ia takkan pernah mengerti, tapi aku
perhatikan benar kegigihannya menyuapi anak-anaknya, tak semua anak-anaknya
dapat makanan sehingga ada yang tidak kebagian.
***
Kesabaran apa yang lebih tinggi dari burung-burung? Kesabaran istriku jauh
lebih tinggi, karena sampai saat ini ia tak mengeluh, mencuci pakaian dinasku,
menyapu dan mengepel, hingga memasak yang kesemuanya dilakukan seorang diri. Di
antara semua pekerjaan itu, yang paling sulit tetaplah menyuapi anak kami.
Aku sudah berusaha membantunya, untuk menuruti perintah ibu dengan apa adanya,
sekadar menggugurkan kewajibanku sebagai anak untuk menaatinya. Hanya beberapa
kali mencoba menyuapinya dan gagal, aku segera putus asa dan mengatakan dia
tidak mau makan. Hanya sekadar itu, tidak kemudian aku berusaha untuk gigih
menyuapinya, dengan berbagai macam cara dan kerepotan saat harus mengulek
nasinya menjadi lembut, juga ikannnya dan sayur-sayurannya, tidak, semua
dilakukan istriku seorang diri.
***
Tiada yang memiliki kesabaran lebih tinggi dari burung-burung melainkan
kesabaran istriku saat kulihat induk burung itu malah menginjak-injak anaknya
yang lemah sampai mati dan terjatuh dari sarangnya di atas pohon. Aku
memungutnya, dan mempersiapkan lubang kecil untuk menguburkan si burung kecil
yang malang.
Sementara istriku di belakang masih dengan tekun menyuapi anakku.
“Masih sulit untuk makan Mi?” tanyaku.
“Ya seperti itulah, namanya juga anak-anak, yang dewasa harus sabar.”
Aku lupa dengan ilmu kesabaran itu, kesabaran yang membawanya tetap anggun,
tetap pantang mengeluh dan terus berikhtiar menyuapi anakku. Kesabaran akan
membawa dirinya melintasi lorong waktu, sampai kapanpun anakku meminta terus
untuk disuapi, akan dikerjakannya, disaat orang lain mencak-mencak, cemas, ia
malah menikmati prosesnya untuk terus menjadi ibu, tanpa pernah berhenti.(*)
Wiwid Prasetiyo, lahir di Semarang, 9 November 1981, adalah alumni IAIN
Walisongo Fakultas Dakwah. Termasuk penulis produktif, karya-karyanya antara
lain:
Novel Pendidikan
1.
Orang Miskin Dilarang
Sekolah ( cetakan ke 13) Diva Press Yogya sekaligus karya perdananya, novel
perdananya ini sekaligus juga diterjemahkan berbahasa Malaysia dengan judul
yang sama
2.
Miskin kok Mau
Sekolah, Sekolah dari Hongkong, Diva Press Yogya 2010
3.
Nak, Maafkan Ibu Tak
Mampu Menyekolahkanmu, Diva Press Yogya 2010
4.
Sekolah Ayo Sekolah,
Diva Press Yogya 2010
5.
Orang Cacat Dilarang
Sekolah, Diva Press Yogya 2010
Karya Religi
6.
Demi Cintaku Pada-Mu
(Novel religi) Diva Press Yogya 2010
7.
Hati yang Bercahaya,
(novel religi) revisi dari novel Demi Cintaku Padamu, Diva Press Yogya 2011
8.
Saat Langit Bercumbu
dengan Bumi (Novel Religi) Diva Press Yogya 2012
9.
Khidir (Novel Religi)
Diva Press Yogya 2012
10. Mata Moses (Novel Religi) Diva Press Yogya 2012
11. Senyum Tuhan di Barcelona (Novel Religi) Diva Press Yogya
2012
12. 99 Hari di Perancis (Novel Religi) Diva Press Yogya 2012
Karya Non Fiksi
13. Mental Kepepet for Succes (Buku Motivasi) Real Books
Yogya 2011
14. The Chicken Soup of Asmaul Husna Diva Press Yogya 2010
15. Mengapa Rezekiku Melimpah Setelah Menikah? Real Books
Yogya 2011
16. 100 Kecerdasan Setan
17. La Tahzan for
Muslim/Muslimah, Real Books, 2018
18. Dari Guru oleh Guru
untuk Guru, Real Books, 2018
19. Bahagiamu, Bahagiaku,
Real Books, 2018
20. 30 Seni Membahagiakan Istri (motivasi) diterbitkan oleh
Real Books Yogya (Motivasi)
21. 30 Seni Membahagiakan Suami (motivasi) diterbitkan oleh
Real Books Yogya (Motivasi)
Karya Anak
22. Dongeng 30 Mancanegara 2009, Diva Press Yogya 2010
23. Sup Tujuh Samudera 2010, Diva Press Yogya 2010
24. Aha, Aku Bunuh Harry Potter 2010, Diva Press Yogya 2010
25. Siapakah Allah ya? 2011, Diva Press Yogya 2010
26. Idolaku Rasulullah SAW 2010, Diva Press Yogya 2010
Novel Sejarah
27. The Chronicle of Kartini, Diva Press Yogya 2011
28. Cheng Ho Laksamana Muslim dari Negeri Seberang, Diva
Press Yogya 2011
29. Ibrahim Rindu Allah, Diva Press Yogya 2011
30. Kilat Mata Ksatria Allah, Diva Press 2012
31. Dan, Lilinpun Dipadamkannya (biografi Umar bin Abdul
Aziz) Real Books, Yogya 2012
Akan terbit
32. Si Pitung (Novel)
33. Trilogi Novel Perempuan Bahu Laweyan (Novel)
34. Rekishi—Impian Bunuh Diri Tanpa Rasa Sakit (Novel) Diva
Press
35. Chicken Soup of Asmaur Rasul (Cerita Motivasi) Diva Press
36. Sunan Pandanaran (Novel) Diva Press
37. Dampo Awang (Novel) Diva Press
38. Rasulullah Orangnya
Asyik (Non Fiksi) Real Books
39. Nikah Barokah (Non
Fiksi) Real Books
0 comments:
Posting Komentar