Sabtu, 15 Agustus 2020

Kesabaran Apa yang Lebih Tinggi dari Burung-Burung?

BY Agus Pribadi IN No comments

 

pixabay.com

Cerpen Wiwid Prasetiyo

 

Terserah orang mau kata apa, aku melayani suamiku seorang diri, tanpa pembantu. Aku mencuci pakaian dinasnya, membuatkan masakan terlezat untuknya, membersihkan rumah mungil kami, menyetrika baju, mencuci piring, memandikan anak setiap pagi dan sorenya. Di sore yang selalu pukul empat, karena pukul 16.30 WIB suamiku akan pulang dan sibuk menggendongnya hingga menciuminya.

Bau minyak kayu putih sangat disukainya, juga bedak bayi yang sangat harum. Aku sangat malu menjadi seorang istri jika bau apek yang kupersembahkan karena terlambat memandikannya.

Para tetangga yang kebanyakan kaya-kaya seringkali ngasih saran—tentu saja sarannya orang kaya, “Kenapa nggak pakai pembantu, Mbak?” atau, “Apa Mbaknya nggak capek seharian ngurusin rumah, kita ini wanita Mbak, kodratnya itu dandan, shopping, masak saja bukan urusan kita kok. Makanya, jangan heran kalau Nia Rahmadani nggak bisa ngupas salak, karena itu bukan kodratnya!” Ih, batinku, mau nyindir saja pakai atas nama kodrat segala!

Semua pekerjaan itu sangat mudah bagiku, namun hanya satu yang sulit, menyuapi anak. Kalau bisa berteriak, berteriaklah aku, ini sangat menjengkelkan. Anakku paling sulit makan. Ia akan memulai pengalaman barunya untuk mengunyah makanan yang lebih kasar. Pengalaman itu baginya mungkin horor sekali.

Tidak seperti bulan-bulan sebelumnya, ia hanya minum asi dan mengecup bau ketekku, itu seperti surga baginya, tapi kali ini ia harus menjadi anak manusia yang normal, yang giginya memang dirancang untuk mengunyah makanan kasar, tetapi nampaknya ia belum siap dengan itu semua.

Sewaktu masih minum asi, tanpa makanan pendampingnya, badannya gemuk sekali, tubuhnya seperti dipompa dan membesar, menyenangkan bagi siapapun yang melihatnya, tetapi atas saran ahli gizi, tujuh bulan berikutnya ia harus terpapar makanan bumi. Sayangnya para ibu tak pernah diajari ilmunya jadi orang tua, bagaimana mempersiapkan makan untuk anak-anaknya.

Mula-mula kuborong bubur bayi, semacam makanan instan-nya bayi, lebih praktis dan tidak ribet, cocok sekali untuk aku yang tak punya banyak waktu luang untuk sekadar menyiapkan makanannya si kecil. Makanan ini sungguh gurih waktu aku mencicipinya, tapi anakku menolak dengan penolakan yang tak pernah kubayangkan, sendok yang mau masuk ke mulutnya itu ditampiknya, sisa makanan di genggaman, diacak-acakkan ke rambut sambil menjerit keras.

“Bubur bayi begituan tuh, nggak ada gizinya, cari yang alami coba ...,” kata mertua saat main kemari dan melihat makanan apa yang kusajikan.    

Sejak itu, bubur kemasan yang bertuliskan bubur tim ayam ini kuletakkan dengan mubazir begitu saja, selebihnya aku sudah browsing ke internet perihal makanan sehat apakah yang paling bergizi, ada ikan salmon, ada brokoli ada wortel dan nasi, semua kuaduk dalam mesin pelebur, setelah itu kududukkan dia di kursi, dan aku menyuapinya setengah mati, tetapi ia menangis, menangis terus, bagai dilukai atau sakitnya berpindah alam dari kandunganku ke dunia.

Apa yang salah denganku coba, makanan anakku tidak lagi bubur kemasan, tapi bahan alami yang bahannya kubeli dari supermarket, mahal pastinya, tapi anakku tetap tidak mau makan.

Badannya yang dulu delapan kilo, susut sekilo, lehernya memanjang, kaki-kakinya bagai gurita, panjang-panjang pula, sementara aku semakin cemas, teman-teman seusianya sudah bisa jalan, tapi anakku, merangkak saja belum, atau kalau tidak mau merangkak dan langsung jalan, rambatan saja belum.

Pernah suamiku bertanya, kok anak kami belum bisa jalan, padahal seusianya sudah, ia kutentramkan hatinya, “Begitulah anak cewek, bicaranya dulu baru jalannya.”  Untung saja Ia percaya, walaupun aku sendiri ragu dengan perkataanku sendiri, benar atau tidak bicaranya dulu, sepatah kata, dua patah kata saja tak pernah ia ucapkan.

Ya Allah, betapa ingin aku membahagiakan suamiku, melalui anak kami yang sehat, tangkas dan bisa berjalan, tetapi bagaimana mau sehat dan pertumbuhannya cepat. Ia masih seperti bayi, makannya kasar sedikit saja langsung dilepehi lagi.

Kamu maunya maem apa sih Sayang ... apa-apa kok nggak mau?  kataku dalam hati sambil menyuapkan nasi bercampur telur dan ikan tengiri yang ditumbuk halus. Ia kembali menampik suapanku,  untuk yang ke-ratusan kali, dan setiap kali tampikan itu, hatiku rasa-rasanya bagai terbakar sedikit demi sedikit.

Ya Allah, ibu macam apa aku, hanya urusan menyuapi anak saja tak becus, istri macam apa aku, membuat senang suami dengan mempersembahkan anak-anak yang gemuk, manis dan lucu saja tidak bisa.

Semua pemberontakannya, tangisannya, tampikannya telah mendorong mekanisme alam untuk menjadi sebuah sebab akibat yang logis. Anakku jatuh sakit, badannya panas sekali, tapi tidak batuk dan pilek. Nafsu makannya tambah menurun, hampir tiga hari tangisnya tak berhenti, tangisnya malam-malam bahkan telah membuat matanya menyekung, ada lingkaran hitam di bawah matanya, seperti mata panda.

Karena sakitnya, ia jadi sangat merepotkan, aku tak bisa melakukan pekerjaan seperti biasanya, menyapu, mengepel, hingga mencuci baju. Makannya juga sangat sedikit, disuapi sedikit sudah muntah dan maunya minum air putih terus, air putih juga muntah.

Barangkali ada yang salah dari cara menyuapiku, kata suami, “Cobalah sambil jalan-jalan, melihat burung, melihat kucing, agar perhatiannya teralihkan.” Katanya, “Dulu kalau aku tidak mau makan, dinaikkanlah aku pada kuda-kudaan yang hanya bisa bergoyang maju dan mundur, waktu itu makanku banyak sekali.”

Lain hari, ketika panas anakku sudah turun dan di kulitnya timbul ruam-ruam merah di badan, tapi nafsu makannya tetap terbatas, disuapi juga mengunci mulutnya, diajak berkeliling komplek rumah kami dan waktu itu kulihat sarang burung, lengkap dengan anak-anaknya yang menciap-ciap kelaparan, kemudian induk burung itu datang dengan secuil makanan di mulutnya dan melolohkan makanan ke mulut anak-anaknya. Namun, makanan itu hanya sedikit dan tak setiap anak mendapatkannya.

“Kalau kau memang tak sanggup untuk menyuapinya, biar aku saja ...,” kata suamiku, setelah aku menyuapinya dan nasi masih tersisa sedikit di mangkuk. Ia mengambil selendang dan mulai menggendong anak kami, sambil tangan kanannya memegang mangkuk kecil. Ia tak hanya tampak kikuk, tetapi juga aneh bagi mata siapapun yang memandang, bahkan bagi anak kecil, tetangga komplek kami yang tiba-tiba bertanya, “Kok yang nyuapi nggak ibunya?” Aku memperhatikan dari jauh, dan suamiku hanya menyunggingkan senyumnya. Ia lantas berkeliling komplek, menyuapi dengan caranya sendiri.

Aku tak tahu sampai di mana ia menyuapi anakku, tahu-tahu sudah kembali ke rumah dengan keadaan mangkuk yang isinya masih utuh. “Nggak mau Mi ...,” katanya. Hanya itu yang dikatakannya. Mudah sekali menyerah. Kumaklumi, mungkin karena lelaki tidak lebih sabar dari wanita.

***

Tiada yang lebih sabar dari istriku, kesabaran itu adalah pantang mengeluh, mengerjakan segalanya sendiri, tidak pernah meminta bantuanku, tak mau meminta pelayanan, meski aku sanggup membayarinya.

Namun kesabarannya diuji oleh anak kami yang susah makannya, semenjak ia harus makan selain asi. Aku tahu ia sudah berusaha, dan yang sekuat tenaga itu jika tak tahu caranya atau barangkali makanannya yang tak enak, makanan itu hanya mampu dimuntahkan saja.

Sebetulnya aku takkan menceritakan kesusahan istriku ini, aku sadar tak sanggup membantunya, aku pasti tidak sabar untuk menyuapinya, tetapi ibu tahu sendiri sewaktu ia main ke rumah kami dan melihat apa makanan untuk anakku. Semua yang serba instant bukanlah jalan keluar terbaik untuk anakku. Ia butuh nutrisi alami, maka ketika makanan instan itu yang diberikan, ibu marah.

“Bubur bayi begituan tuh nggak ada gizinya, cari yang alami coba ...,” kata ibuku. Ibu terkenal ceplas-ceplos, boleh jadi dianggapnya galak. Tapi tidak bagiku, Ia tetap memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya, juga cucunya.

“Sikap Ibu jangan diambil hati Dik,” kataku.

“Ya Mas, aku tahu, kita turuti saja keinginan Ibu,” katanya. Kamipun pergi ke supermarket dan membeli apapun kebutuhan anak kami. Apapun yang menurutnya baik kami beli, Ia sudah browsing internet dan mencari dari situs terpercaya komposisi makanan yang bergizi. Kemudian dilebur dalam mesin. Tentu saja ini cara  yang terbaik untuk anakku yang belum bisa mengunyah makanan kasar. Namun, tetap saja ia tak mau makan.

Istriku sudah tak tahu lagi, cara apa yang harus dilakukan untuk menyuapi anakku, kesabarannya sudah habis, hingga akhirnya anakku jatuh sakit, panas tinggi dan tubuhnya jadi lebih kurus, aku sebetulnya kasihan. Kufoto dirinya, kukirim ke grup whatsapp milik keluarga, tanpa ada istriku sebagai anggotanya, celakanya ibu membaca, dan memanggilku tanpa sepengetahuan istriku.

“Anakmu sakit itu karena ulah istrimu, dia tidak bisa menyuapi anaknya, eehh... malah dikasih makanan instan, ya tidak ada gizinya.”

“Kami sudah membeli makanan dari supermarket kok.”

“Baguslah kalau itu, tapi cara nyuapinya jangan didudukkan begitu, anak merasa tersiksa, jalan-jalan, ajak melihat suasana,” kata ibu lagi.

Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, apa yang menjadi saran ibu, kukatakan pada istriku, dan kuanggap itu sebagai saranku. Ia menurut dan sekarang kalau menyuapi makanan sambil keliling-keliling kompleks.

Keesokan harinya ibu menelpon lagi setelah aku mengunggah foto anakku di fesbuk, sudah cukup baik suhu tubuhnya, panasnya turun, tetapi timbul ruam-ruam merah, pasti akibat dari panas tingginya.

“Sudah berkali-kali kubilang, istrimu itu tak becus merawat anak, coba lihat, anak kok sampai kurus kering gitu, pantasnya kalian ini orang tidak punya uang, sama anak jangan eman-eman …”

“Jadi aku harus bagaimana?”

“Kalau istrimu yang tidak sanggup menyuapi, ya coba kamu saja ...”

Mana pernah aku membantah perintah ibu, ketika aku pulang melihat dedek sedang disuapi, aku langsung mengatakan padanya, biar aku yang meneruskan suapannya, menggendong dengan selendang dan mulai menyuapkan ke mulutnya, tapi sungguh terkunci, tak sebutir nasipun masuk.

Aku tentu tak lebih baik dari istriku, tidak lebih sabar padanya, termasuk juga ibu yang hanya sebagai penonton, tak merasakah jerihnya  menyuapi anakku.

Aku melihat induk burung menyuapi anaknya  di dekat rumah tetangga, anakku dalam gendongan kutunjukkan, mungkin ia takkan pernah mengerti, tapi aku perhatikan benar kegigihannya menyuapi anak-anaknya, tak semua anak-anaknya dapat makanan sehingga ada yang tidak kebagian.

***

Kesabaran apa yang lebih tinggi dari burung-burung? Kesabaran istriku jauh lebih tinggi, karena sampai saat ini ia tak mengeluh, mencuci pakaian dinasku, menyapu dan mengepel, hingga memasak yang kesemuanya dilakukan seorang diri. Di antara semua pekerjaan itu, yang paling sulit tetaplah menyuapi anak kami.

Aku sudah berusaha membantunya, untuk menuruti perintah ibu dengan apa adanya, sekadar menggugurkan kewajibanku sebagai anak untuk menaatinya. Hanya beberapa kali mencoba menyuapinya dan gagal, aku segera putus asa dan mengatakan dia tidak mau makan. Hanya sekadar itu, tidak kemudian aku berusaha untuk gigih menyuapinya, dengan berbagai macam cara dan kerepotan saat harus mengulek nasinya menjadi lembut, juga ikannnya dan sayur-sayurannya, tidak, semua dilakukan istriku seorang diri.

***

Tiada yang memiliki kesabaran lebih tinggi dari burung-burung melainkan kesabaran istriku saat kulihat induk burung itu malah menginjak-injak anaknya yang lemah sampai mati dan terjatuh dari sarangnya di atas pohon. Aku memungutnya, dan mempersiapkan lubang kecil untuk menguburkan si burung kecil yang malang.

Sementara istriku di belakang masih dengan tekun menyuapi anakku.

“Masih sulit untuk makan Mi?” tanyaku.

“Ya seperti itulah, namanya juga anak-anak, yang dewasa harus sabar.”

Aku lupa dengan ilmu kesabaran itu, kesabaran yang membawanya tetap anggun, tetap pantang mengeluh dan terus berikhtiar menyuapi anakku. Kesabaran akan membawa dirinya melintasi lorong waktu, sampai kapanpun anakku meminta terus untuk disuapi, akan dikerjakannya, disaat orang lain mencak-mencak, cemas, ia malah menikmati prosesnya untuk terus menjadi ibu, tanpa pernah berhenti.(*)

 ----------------------------------------------------------------------------------

Wiwid Prasetiyo, lahir di Semarang, 9 November 1981, adalah alumni IAIN Walisongo Fakultas Dakwah. Termasuk penulis produktif, karya-karyanya antara lain:

Novel Pendidikan

1.         Orang Miskin Dilarang Sekolah ( cetakan ke 13) Diva Press Yogya sekaligus karya perdananya, novel perdananya ini sekaligus juga diterjemahkan berbahasa Malaysia dengan judul yang sama

2.         Miskin kok Mau Sekolah, Sekolah dari Hongkong, Diva Press Yogya 2010

3.         Nak, Maafkan Ibu Tak Mampu Menyekolahkanmu, Diva Press Yogya 2010

4.         Sekolah Ayo Sekolah, Diva Press Yogya 2010

5.         Orang Cacat Dilarang Sekolah, Diva Press Yogya 2010

 

Karya Religi

6.         Demi Cintaku Pada-Mu (Novel religi) Diva Press Yogya 2010

7.         Hati yang Bercahaya, (novel religi) revisi dari novel Demi Cintaku Padamu, Diva Press Yogya 2011

8.         Saat Langit Bercumbu dengan Bumi (Novel Religi) Diva Press Yogya 2012

9.         Khidir (Novel Religi) Diva Press Yogya 2012

10.      Mata Moses (Novel Religi) Diva Press Yogya 2012

11.      Senyum Tuhan di Barcelona (Novel Religi) Diva Press Yogya 2012

12.      99 Hari di Perancis (Novel Religi) Diva Press Yogya 2012

 

Karya Non Fiksi

13.      Mental Kepepet for Succes (Buku Motivasi) Real Books Yogya 2011

14.      The Chicken Soup of Asmaul Husna Diva Press Yogya 2010

15.      Mengapa Rezekiku Melimpah Setelah Menikah? Real Books Yogya 2011

16.      100 Kecerdasan Setan

17.      La Tahzan for Muslim/Muslimah, Real Books, 2018

18.      Dari Guru oleh Guru untuk Guru, Real Books, 2018

19.      Bahagiamu, Bahagiaku, Real Books, 2018

20.      30 Seni Membahagiakan Istri (motivasi) diterbitkan oleh Real Books Yogya (Motivasi)

21.      30 Seni Membahagiakan Suami (motivasi) diterbitkan oleh Real Books Yogya (Motivasi)

 

Karya Anak

22.      Dongeng 30 Mancanegara 2009, Diva Press Yogya 2010

23.      Sup Tujuh Samudera 2010, Diva Press Yogya 2010

24.      Aha, Aku Bunuh Harry Potter 2010, Diva Press Yogya 2010

25.      Siapakah Allah ya? 2011, Diva Press Yogya 2010

26.      Idolaku Rasulullah SAW 2010, Diva Press Yogya 2010

 

Novel Sejarah

27.      The Chronicle of Kartini, Diva Press Yogya 2011

28.      Cheng Ho Laksamana Muslim dari Negeri Seberang, Diva Press Yogya 2011

29.      Ibrahim Rindu Allah, Diva Press Yogya 2011

30.      Kilat Mata Ksatria Allah, Diva Press 2012

31.      Dan, Lilinpun Dipadamkannya (biografi Umar bin Abdul Aziz) Real Books, Yogya 2012

 

 

Akan terbit

32.      Si Pitung (Novel)

33.      Trilogi Novel Perempuan Bahu Laweyan (Novel)

34.      Rekishi—Impian Bunuh Diri Tanpa Rasa Sakit (Novel) Diva Press

35.      Chicken Soup of Asmaur Rasul (Cerita Motivasi) Diva Press

36.      Sunan Pandanaran (Novel) Diva Press

37.      Dampo Awang (Novel) Diva Press

38.      Rasulullah Orangnya Asyik (Non Fiksi) Real Books

39.      Nikah Barokah (Non Fiksi) Real Books

 

0 comments:

Posting Komentar