pixabay.com
Cerpen
Pensil Kajoe
Laki-laki itu duduk dengan
menyilangkan kaki kanan di atas kaki kirinya. Kedua matanya menatap
langit-langit ruang tamu. Dua ekor cicak berkejaran menuntaskan birahi. Tangan
kanannya merogoh jas yang dikenakan, mengeluarkan sebungkus rokok, diambilnya
sebatang dan dinyalakan. Asap mulai mengepul dari mulutnya, membubung tinggi
seperti cerobong asap kereta api. Ruang tamu jadi bau nikotin, menyengat;
membuatku terbatuk namun laki-laki itu
seolah tak peduli dengan kode alam yang keluar dari mulutku.
Sebenarnya aku ingin memprotes
kelakuannya, toh ini di rumahku sendiri jadi tak boleh orang lain berkehendak
sesuka hatinya tanpa seizin tuan rumah. Tapi, dia adalah tamuku, dia adalah
raja yang harus dihormati termasuk dijamu dengan suguhan terbaik. Konon, rumah
yang disinggahi tamu itu adalah rumah yang diberkahi oleh Tuhan. Maka, sesiapa
yang tak bisa menghargai tamunya dia termasuk orang-orang keliru.
Baru saja rokok yang dihisapnya habis,
dia menyalakan lagi, padahal sisa asapnya belum hilang. Bagaimana caraku
menegur orang itu, tentu kurang sopan jika langsung memintanya berhenti untuk
tidak menyalakan rokok; istriku baru saja melahirkan dan sedang menyusui
bayinya, berkali-kali memberi kode dengan suara batuknya. Aku jadi serba salah
dengan keadaan ini; antara menghormati tamu, membiarkannya mengisi ruangan
rumah dengan asap rokoknya, atau membela istri dan bayiku yang tak boleh
menghirup asap rokok diusianya yang masih terlalu dini.
“Oh iya, tadi anda bilang katanya
mau lihat-lihat daerah sini?” Aku mencoba mencari siasat agar tamuku bisa
keluar rumah tanpa harus mematikan rokoknya.
“Hmm … nanti sajalah, lagi pula
udara di luar cukup panas,” mendengar jawabannya, aku memutar otak lagi agar
rencanaku membuat asap rokok dari mulutnya tak mengotori rumah.
“Justru aku akan menunjukkan sesuatu
pada Anda, dan saat udara panas seperti ini adalah waktu yang tepat. Ayolah
jangan sampai Anda menyesal nantinya.”
Dari raut wajahnya terlihat dia
mulai penasaran dengan ajakanku.
“Wah, sesuatu apa itu?”
“Ikut aku. Nanti akan kutunjukkan
sesuatu padamu. Baru nanti kau boleh komentar.”
Ajakanku kali ini berhasil
membawanya keluar dari rumah. Meski pada akhirnya orang itu justru banyak
bertanya ini dan itu, tentang apa yang dilihatnya. Aku layaknya tour guide saja.
“Kita sudah sampai di tempat yang
ingin kutunjukkan pada Anda,” kataku.
Laki-laki itu terpana melihat di
sekililingnya. Pemandangan yang belum pernah dia lihat selama ini. Maklumlah
orang kota, setiap hari berkutat dengan deru jalan raya, asap knalpot, bayangan
gedung pencakar langit, kemacetan hingga gaya hidup hedonis.
Kubiarkan saja orang itu berjalan
mondar-mandir di tepi telaga Dadap, airnya begitu bening, kalau kita
melongokkan kepala, seolah sedang berkaca.
“Kau tahu, seharusnya kita seperti
air di telaga ini. Begitu bening, tenang dan luas. Kalau toh ada ombak, itu
ibarat riak-riak kecil kehidupan.”
Tak kukira si perokok berat ini gaya
bicaranya seperti seorang filsuf.
Hmm
… seorang raja yang aneh. Tampak di luar seperti seorang yang tak tahu adab,
namun setiap tutur katanya begitu dalam, bahkan menyentil alam bawah sadarku
yang selama ini selalu merasa diri lebih baik.
“Sebenarnya aku ingin tinggal lebih
lama di sini, mungkin lain waktu aku akan menyempatkan diri untuk menjelajahi
setiap jengkal tanah kampung ini,” ucapnya seraya melirik jam pada ponselnya.
“Wah, kok buru-buru? Padahal hari
belum terlalu sore,” kataku sedikit basa-basi.
“Terima kasih. Lain kali aku akan ke
rumahmu lagi, boleh kan?”
Mendengar pertanyaan seperti itu,
kerongkonganku sedikit seperti tercekat, itu artinya dia akan kembali mengasapi
ruangan rumahku.
“Boleh, boleh. Mengapa tidak,”
jawabku.
Dari luar kulihat istriku sedang
asik mengobrol dengan seorang perempuan di ruang tamu. Begitu aku masuk,
perempuan itu duduk menghadap utara, kursi untuk para raja yang datang ke
rumahku.
“Mas, mana temanmu itu?” tanya
istriku.
“Dia sudah pulang,” jawabku singkat.
“Sebenarnya aku tadi …”
Belum selesai istriku bicara
langsung aku potong. Aku sudah tahu arah ucapannya.
“Ya, aku tahu. Kau tak suka dengan
asap rokok, apalagi ada bayi kita. Makanya aku ajak dia keluar rumah agar kau
dan bayi kita tak terpapar asap rokok terus menerus.”
“Mas, kenalkan ini Rena teman SMA
dulu,” istriku mengenalkan teman perempuannya.
Kulihat perempuan yang duduk di hadapan
istriku tersenyum. Aku kenal betul dengan perempuan itu, dia istri teman
sekantorku, Iwan. Perempuan yang membuat temanku tak betah tinggal di rumah.
“Huh, rasanya aku ingin menceraikannya saja.
Untuk apa aku mempertahankannya menjadi istriku,” keluh Iwan suatu hari saat
jam makan siang.
“Kalau itu memang sudah jadi keputusanmu,
kenapa tak kau lakukan?”
“Tapi masalahnya …” Iwan tak melanjutkan
ucapannya.
“Apa?” tanyaku.
“Dia pandai sekali bersandiwara di depan ibu
dan ayahku. Rena bisa bersikap sangat manis dan santun di depan mereka.”
“Ya, kau harus mengatakan hal yang sebenarnya
pada orang tuamu. Bukankah yang berhak memutuskan bercerai atau tidak itu kau
sendiri?”
“Kau tak perlu mengajariku. Masalahnya, kedua
orang tuaku justru tak menginginkan perceraian itu. Mereka lebih percaya pada
kata-kata istriku.” Nada suara Iwan meninggi terlihat otot-otot di lehernya
menegang.
Jangankan
Iwan, suami Rena; saban hari bertemu dan mendengar omelan istrinya tentu akan
sangat bosan, aku yang hanya seorang rekan kerjanya baru mendengar ceritanya
saja sudah bisa membayangkan seperti apa sumpeknya hawa dalam rumahnya. Mungkin
sama halnya ketika rumahku dipenuhi oleh kepulan asap rokok dari orang yang
bertamu ke rumah.
“Mas
Yuda, masih kenal saya kan?” tanya perempuan di depan istriku.
“Ya
saya ingat. Kau Rena, istrinya Iwan, bukan?”
Raut
wajahnya seketika berubah. Takut kalau rahasia dirinya terbongkar. Dia pasti
mengira kalau suaminya telah menceritakan semua kelakuannya padaku.
“I ... iya
benar. Mas Yuda teman sekantor Mas Iwan? Suamiku sering cerita tentang Mas Yuda.”
Kutangkap nada bicara Rena dibuat-buat agar terdengar akrab padahal kutahu
takut aibnya terbongkar di depan istriku yang juga teman sekelasnya dulu.
“Mbak
Kinan beruntung banget bisa punya suami sebaik Mas Yuda, tak seperti suamiku,”
sambungnya.
Kali
ini justru aku yang khawatir kalau istriku lama-lama terpengaruh oleh tabiat
buruk Rena apalagi dulu istriku adalah kawan akrabnya. Kata-katanya yang
menjelekkan suaminya sendiri di hadapan aku dan Kinan.
Cukup kau bersandiwara di depan mertuamu,
tapi jangan berani coba-coba kau bersandiwara di depan aku dan istriku.
Aku menghela napas panjang sambil
melangkah ke dalam meninggalkan mereka berdua. Biarlah mereka menikmati
kangen-kangenan masa sekolah dulu. Aku percaya pada istriku. Dia sangat jauh
berbeda dengan istri Iwan. Itulah sebabnya aku tak ingin berpaling dari Kinan,
perempuan yang telah melahirkan jagoan kecil; buah cinta kami berdua.
Hari ini, cukup sudah rumahku
dikunjungi dua orang aneh dan menjengkelkan, namun mereka adalah raja di
rumahku dan aku tengah menjadi abdi yang harus menjamu Sang Raja dengan suguhan
terbaik. Katanya rumah yang sering didatangi tamu, itu tandanya ada keberkahan
dalam rumah tersebut.
“Aamiin,” gumamku lirih.(*)
Tumiyang,
Pekuncen-Banyumas, 22 Juni 2019
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
PENSIL
KAJOE, lahir di Banyumas, 27 Januari. Tulisannya sudah banyak
dimuat di koran maupun majalah, baik itu cerpen atau puisi. Laki-laki yang
telah membukukan 14 buku antologi tunggal
dan 14 buku antologi bersama. Sekarang menjadi penulis rubric Banyumasan
di Majalah berbahasa Jawa di Yogyakarta.