pixabay.com
Cerpen S. Prasetyo Utomo
SEBAGAI pengantin yang baru empat bulan
menikah, Broto mesti segera kembali mengurus padepokan. Ia membangkitkan
kegiatan tari “Sarpakenaka” yang dalam
waktu dekat akan dipentaskan. Ia butuh
waktu untuk lebih mengenal Laksmita,
istri yang menampakkan kecintaan pada suami – dunia yang disentuhnya setelah masa
pelarian bersama ayahnya, preman yang bersembunyi dari bidikan penembak
misterius.
Broto tak pernah mengungkit-ungkit
kehidupan masa lalu Laksmita. Ia juga tak pernah memasung kebebasan istrinya.
Sungguh hal yang mengejutkan Broto, ketika ia mesti berhadapan dengan ibu
mertua. Hingga hari pernikahannya dengan Laksmita, istrinya hidup sebatang kara.
Sama sekali ia tak pernah berjumpa ibu mertua. Ibu mertua telah lama
meninggalkan rumah semenjak Laksmita kecil.
Selama ini Broto hanya mengenal Laksmita dan ayahnya,
tanpa ibu. Broto tak menduga bila perempuan setengah baya itu mendadak muncul
dalam kehidupannya. Ibu Laksmita seperti lenyap ditelan bumi. Laksmitalah yang
merawat ayahnya ketika lumpuh. Ketika ayah Laksmita meninggal, ibu yang
meninggalkan rumah itu tak juga menampakkan diri. Laksmita meminta Broto untuk mengurus
semua keperluan pemakaman ayahnya.
Dalam hati Broto bertanya-tanya: benarkah perempuan yang
pagi ini datang, duduk di pendapa, adalah ibu yang mengandung dan melahirkan
Laksmita? Perempuan setengah baya itu genit,
sepasang matanya suka mengerling dan berkejap-kejap memikat lelaki, rambutnya
cepak, suka sekali ngomong, situasi apa pun ditanggapi. Ia suka ngomong sambil memasukkan
makanan ke dalam mulut. Lidahnya sesekali terjulur-julur membasahi bibir
bergincu merah. Kuku-kukunya runcing, tajam, merah, siap mencakar wajah
seseorang yang bermusuhan dengannya. Kuku-kuku itu tampak bersih, menandakan ia
senantiasa meluangkan waktu untuk merawatnya. Warna merah menyala kuku-kuku ibu
mertua, bagi Broto, menggambarkan perempuan setengah baya itu suka melukai perasaan
orang lain.
***
EMPAT
gelas kopi diseduh Laksmita, panas mengepul.
Broto senantiasa minum kopi di pendapa, begitu bangun pagi, sebelum melakukan
apa pun. Laksmita menggoreng pisang yang dipetik dari kebun sendiri. Perempuan
itu duduk mendampingi suaminya, berhadapan
dengan ibunya yang duduk di samping seorang lelaki kekar bertato, dalam diam,
saling menjajagi perasaan masing-masing.
Masih terheran-heran, sesekali Broto
memandangi ibu mertua yang mengingatkannya
pada
Sarpakenaka – adik perempuan Rahwana – yang tak bisa mengendalikan birahinya
pada lelaki. Lagi pula, siapa lelaki kekar bertato, yang menampakkan sikap
menjaga diri itu?
“Mulai hari ini akan kutempati rumah kita itu!” kata
ibu Laksmita, menguasai perasaan anak gadisnya. Rumah itu memang dibiarkan
kosong, semenjak Laksmita dinikahi Broto.
“Ke mana saja ibu selama ini?”
“Tentu saja aku menyelamatkan diri,
ke suatu tempat yang menghindarkanku dari buruan penembak misterius! Sama
seperti kau dan ayahmu yang melarikan diri dari incaran penembak misterius, aku
mencari tempat yang aman untuk sembunyi. Adil, kan?”
Laksmita ingin menggugat ibunya.
Tetapi diurungkannya. Broto melihat wajah istrinya memendam perasaan tak suka
pada ibunya. Dalam hati Broto mulai membandingkan, betapa bertentangan perangai
ibu dan anak perempuannya. Laksmita berambut panjang tergerai sampai punggung,
ibunya berambut pendek. Laksmita beralis tebal hitam, alis ibunya dicukur
habis, digurat dengan pensil. Sepasang mata Lakmita bening, teduh,
menenteramkan. Sepasang mata ibunya
memendam godaan pada lelaki. Wajah Laksmita tanpa riasan. Wajah ibunya tertutup
rias tebal. Tubuh ibu Laksmita sintal dan terawat. Tubuh inilah rupanya yang
selalu dipamerkan, untuk menaklukkan laki-laki. Gerak geriknya selalu
menampakkan lekuk tubuhnya. Broto tak melihat kebiasaan itu pada Laksmita yang
tenang, dan menghindar untuk menarik perhatian laki-laki.
“Aku ingin kunci rumah dan
sertifikat kauserahkan sekarang! Hari ini juga mau kutempati rumah itu!”
Tanpa melakukan pertimbangan apa pun,
Laksmita masuk ke dalam kamar. Mengambil kunci dan sertifikat rumah. Diserahkan
pada ibunya. Tampak benar wajah dan sepasang mata yang rakus itu berbinar
sesaat. Ia yang telah lama menghilang, meninggalkan suami dan anak perempuannya,
kini tiba-tiba datang untuk menguasai warisan rumah – setelah suami meninggal
dunia.
***
SEPULUH
hari setelah menempati rumah suami, ibu Laksmita kembali datang ke
padepokan. Matanya sembab. Menahan
tangis. Gugup. Perilakunya hampir tanpa kendali. Broto memandangi perilaku ibu
mertuanya dengan pandangan tak mengerti. Sungguh perilaku seorang ibu yang tak
bisa disandingkan dengan anak perempuannya yang tenang, penuh dengan
pengendalian diri.
“Lelakiku meninggalkan rumah tiga hari
ini,” kata ibu Laksmita. “Tak biasanya dia meninggalkanku begitu rupa. Ia
selalu pulang.”
“Lalu, kenapa Ibu mengadu padaku?”
Perempuan setengah baya itu menjadi
tenang. Meredakan kegugupannya. “Aku mau
minta pertimbangan, bagaimana kalau aku menyuruh Tarko, anak buah ayahmu dulu,
untuk membawa suamiku pulang?”
“Kalau Ibu meminta pendapatku,
jangan lakukan itu,” kata Laksmita. “Akan berbahaya sekali. Tarko seringkali
tak dapat mengendalikan diri.”
Ibu Laksmita terdiam, memandangi
anak perempuannya: ingin membantah
Laksmita. Tetapi perempuan separuh baya itu meredakan gejolak pikirannya
sendiri. Tampak benar bila di dalam hatinya masih bergejolak kehendak yang
mendesak-desak, dibakar api kemarahan. Ibu Laksmita meninggalkan padepokan, dan
Laksmita masih juga dijalari perasaan cemas. Laksmita tahu pasti tabiat Tarko,
anak buah almarhum Ayah – patuh, setia, berbuat tanpa nalar. Ia tak bisa
membayangkan apa yang akan dilakukan Tarko terhadap laki-laki bertato yang diakui
sebagai suami ibu.
***
DATANG
lagi ibu Laksmita, pagi masih gelap berkabut, orang-orang di padepokan mulai meninggalkan kamar. Di pendapa rumah,
ibu Laksmita sudah duduk menanti anak perempuannya menemui. Tiap kali datang,
perempuan setengah baya itu membawa persoalan hidupnya. Broto sudah dapat
menduga, tentu ibu mertua tertimpa suatu masalah – yang ia sendiri tak pernah
bisa menyelesaikannya.
Laksmita membawa nampan berisi teh
hangat dan ketela goreng. Ia baru saja meletakkan cangkir teh, dan belum meletakkan
sepiring ketela goreng, ketika ibunya berkata, “Suamiku ditemukan mati terbunuh
di rumah seorang perempuan, di pinggir kota.”
“Ibu terlibat pembunuhan itu?”
“Aku tak pernah minta Tarko
mengakhiri hidup suamiku!”
“Tapi tak urung ibu juga akan jadi
buron,” tukas Laksmita. “Mestinya Ibu tak perlu melibatkan Tarko untuk
menyelesaikan persoalan ini.”
Gugup, dengan tatapan nanar, ibu
Laksmita berpamitan. Ia buru-buru meninggalkan padepokan Broto. Tak seorang pun tahu ke mana ia akan mencari
perlindungan. Bagi Laksmita, peristiwa pelarian ibunya dengan gugup serupa ini
sudah dialaminya dua kali. Pertama kali dulu ketika teman-teman Ayah – beberapa
preman yang brutal – diburu penembak misterius, bangkainya dibuang di tempat
sampah atau tanggul sungai. Ibu berpamitan melarikan diri, dan tak pernah
bertemu dengan Laksmita. Kini, untuk kedua kali, ketika Laksmita baru saja
bertemu dengan ibu, kembali perempuan itu berpamitan, untuk melakukan pelarian.
Tentu saja Laksmita tak dapat menghalanginya.
***
SEBENARNYA
Broto merasa tak tega membiarkan
Laksmita mengalami nasib buruk bertubi-tubi. Tetapi ia hanya dapat memberikan
ketenteraman batin di padepokan, dan tak terlalu larut dalam persoalan keluarga
istrinya. Juga ketika polisi berdatangan, dengan diam-diam mengintai padepokan,
Broto tetap tenang. Ia tak terlibat dengan pembunuhan suami ibu mertua. Ia juga
tak memberi tempat bagi persembunyian ibu mertua.
Broto tak tercengang ketika datang
mobil polisi memasuki padepokan. Berloncatan turun empat aparat keamanan bersenjata,
menemuinya di pendapa. Ia sudah bisa menduga, bila mereka bakal datang ke
padepokan, dan memburu ibu mertua. Tanpa rasa cemas sama sekali, Broto menghadapi mereka.
Wajah-wajah garang para aparat keamanan itu mencair, ketika berhadapan dengan
Broto yang ramah, murah senyum.
“Kami datang untuk menjemput ibu!”
kata salah seorang di antara mereka yang paling tua, dan dihormati di antara
teman-temannya.
“Sayang sekali, ibu mertua tak ada
di sini!”
“Boleh kami periksa semua ruangan?”
Broto mengantar ke ruang-ruang kamar
padepokan, juga ruang-ruang kamar rumah kayu yang ditempatinya. Keempat aparat
keamanan itu memeriksa tiap relung ruang dengan menjaga kewaspadaan dan
kecurigaan. Memang tak ditemukan ibu mertua di rumah dan padepokan. Tetapi
keempat aparat itu tak segera pulang. Mereka terus mendesak Laksmita, mencecar
dengan pertanyaan-pertanyaan, ke mana ibunya melarikan diri. Tanpa kehendak
untuk dusta, Laksmita mengabarkan berbagai kemungkinan ke mana ibunya bersembunyi.
Keempat aparat keamanan itu terpana, melihat betapa jujurnya Laksmita, dan sama
sekali tak menampakkan keinginan melindungi ibunya.
***
DI
sela-sela latihan tari “Sarpakenaka” di padepokan, sesekali Broto melihat beberapa lelaki berambut panjang
dengan sepasang mata menyelidik menyusup ke dalam padepokan, membaur di antara
cantrik. Broto sudah menduga: mereka intel polisi, yang memata-matai padepokan,
ingin menangkap ibu mertua. Tetapi memang ibu mertua Broto tak pernah sekali pun mencari
perlindungan ke padepokan.
Broto
juga tidak mencurahkan perhatiannya
untuk mengikuti penangkapan ibu mertuanya. Ia yakin, suatu saat, dan itu
tak lama, ibu mertuanya akan dihadapkan pada pengadilan dan mungkin penjara. Broto merasa yakin, ibu mertuanya bakal tertangkap. Tetapi ia mesti menjaga perasaan
istrinya agar tak terluka. Dia tak ingin menyinggung perasaan istrinya.
Laksmita juga tak pernah menunjukkan perasaan sedih, atau mungkin perempuan itu
terbiasa menyembunyikan perasaan-perasaan pedih dalam hidupnya? Broto sedang menduga-duga: tidakkah Laksmita merasakan kehilangan
ibunya?
***
BERITA penangkapan
ibu mertua sampai juga ke telinga Broto. Laksmita yang mengabarkannya dengan
tenang, seperti sebuah peristiwa biasa – berita di koran, yang terjadi pada
orang lain yang tak dikenal. Broto sampai pada sebuah pertanyaan dalam hati: apa istriku sudah kehilangan pertautan jiwa
dengan ibu yang mengandung dan melahirkannya?
Laksmita
mengajak Broto untuk menengok ibunya
yang ditahan, menunggu sidang dan putusan pengadilan. Kini statusnya sebagai terdakwa
dalang pembunuhan suaminya sendiri.
Sama
sekali tak terlihat perasaan sedih pada wajah Laksmita. Apakah kepahitan hidup yang tertubi-tubi datang telah menyebabkannya
tak lagi bisa merasakan kesedihan? Pertemuan dengan ibunya, juga bukan suatu
peristiwa yang mengharukan. Ibu Laksmita masih menampakkan kegenitannya, dengan
tatapan mata yang senantiasa menebarkan daya pikat kewanitaannya, dan bibir bergincu
merah yang sesekali dibasahi dengan lidahnya. “Tolong, carikan aku pengacara
yang bisa membebaskanku dari jerat hukum! Kalau aku terlalu lama dipenjara,
nanti tidak lagi laku kawin!”
“Biar
suamiku yang akan mencarikan pengacara untuk ibu!”
“Aku
tak betah hidup di penjara, tanpa lelaki di sampingku!” tukas ibu Laksmita.
“Jangan lupa, kirimi aku kutek merah darah!”
Dalam
diam, Broto meneguhkan keyakinan: ibu mertuanya senantiasa tak tahan untuk bercumbu dengan lelaki. Kuku-kukunya masih
tampak runcing, tajam, merah dan siap mencakar wajah seseorang yang bermusuhan
dengannya. Kuku-kuku berkutek merah menyala itu seperti memberi kekuatan
hidupnya agar selalu memikat lelaki.(*)
Pandana
Merdeka, April 2020
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
S. Prasetyo Utomo,
lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes
pada 9 Maret 2018 dengan disertasi “Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh
Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno
Gumira Ajidarma”.
Semenjak 1983 ia menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di beberapa media massa
seperti Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media
Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia, Suara Karya,
Majalah Noor, Majalah
Esquire, Basabasi.
Kumpulan cerpen tunggalnya Bidadari
Meniti Pelangi (Penerbit Buku Kompas, 2005), dibukukan setelah lebih dari
dua puluh tahun masa proses kreatifnya. Novel yang telah diterbitkannya dalam
bentuk buku adalah Tangis Rembulan di Hutan Berkabut (HO Publishing,
2009).
Menerima Anugerah Kebudayaan 2007
dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen “Cermin Jiwa”, yang
dimuat Kompas, 12 Mei 2007. Menerima
penghargaan Acarya Sastra 2015 dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Menerima penghargaan Prasidatama 2017 dari Balai Bahasa Jawa Tengah. Cerpen
“Sakri Terangkat ke Langit” dimuat dalam Smokol: Cerpen Kompas Pilihan
2008. Cerpen “Penyusup Larut Malam” dimuat dalam Pada Suatu Hari, Ada Ibu
dan Radian: Cerpen Kompas Pilihan 2009 dan diterjemahkan Dalang
Publishing ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Midnight Intruder” (Juni
2018). Cerpen “Pengunyah Sirih” dimuat
dalam Dodolitdodolitdodolibret: Cerpen Pilihan Kompas 2010. Novel
terbarunya Tarian Dua Wajah (Pustaka
Alvabet, 2016), Cermin Jiwa (Pustaka
Alvabet, 2017). Kumpulan cerpen yang segera terbit adalah Kehidupan di Dasar Telaga (Penerbit Buku Kompas, 2020).
0 comments:
Posting Komentar