Sabtu, 13 Juni 2020

Kuku-Kuku Tajam Merah Menyala

BY Agus Pribadi IN No comments


pixabay.com

Cerpen S. Prasetyo Utomo

SEBAGAI pengantin yang baru empat bulan menikah, Broto mesti segera kembali mengurus padepokan. Ia membangkitkan kegiatan tari “Sarpakenaka”  yang dalam waktu dekat akan dipentaskan. Ia  butuh waktu untuk  lebih mengenal Laksmita, istri yang menampakkan kecintaan pada suami – dunia yang disentuhnya setelah masa pelarian bersama ayahnya, preman yang bersembunyi dari bidikan penembak misterius.

Broto tak pernah mengungkit-ungkit kehidupan masa lalu Laksmita. Ia juga tak pernah memasung kebebasan istrinya. Sungguh hal yang mengejutkan Broto, ketika ia mesti berhadapan dengan ibu mertua. Hingga hari pernikahannya dengan Laksmita, istrinya hidup sebatang kara. Sama sekali ia tak pernah berjumpa ibu mertua. Ibu mertua telah lama meninggalkan rumah semenjak Laksmita kecil.  

Selama ini  Broto hanya mengenal Laksmita dan ayahnya, tanpa ibu. Broto tak menduga bila perempuan setengah baya itu mendadak muncul dalam kehidupannya. Ibu Laksmita seperti lenyap ditelan bumi. Laksmitalah yang merawat ayahnya ketika lumpuh. Ketika ayah Laksmita meninggal, ibu yang meninggalkan rumah itu tak juga menampakkan diri. Laksmita meminta Broto untuk mengurus semua keperluan pemakaman ayahnya.

Dalam  hati Broto bertanya-tanya: benarkah perempuan yang pagi ini datang, duduk di pendapa, adalah ibu yang mengandung dan melahirkan Laksmita? Perempuan setengah baya itu  genit, sepasang matanya suka mengerling dan berkejap-kejap memikat lelaki, rambutnya cepak, suka sekali ngomong, situasi apa pun ditanggapi. Ia suka ngomong sambil memasukkan makanan ke dalam mulut. Lidahnya sesekali terjulur-julur membasahi bibir bergincu merah. Kuku-kukunya runcing, tajam, merah, siap mencakar wajah seseorang yang bermusuhan dengannya.  Kuku-kuku itu tampak bersih, menandakan ia senantiasa meluangkan waktu untuk merawatnya. Warna merah menyala kuku-kuku ibu mertua, bagi Broto, menggambarkan perempuan setengah baya itu suka melukai perasaan orang lain.  
                                                                       ***

EMPAT gelas  kopi diseduh Laksmita, panas mengepul. Broto senantiasa minum kopi di pendapa, begitu bangun pagi, sebelum melakukan apa pun. Laksmita menggoreng pisang yang dipetik dari kebun sendiri. Perempuan itu duduk mendampingi  suaminya, berhadapan dengan ibunya yang duduk di samping seorang lelaki kekar bertato, dalam diam, saling menjajagi perasaan masing-masing.

Masih terheran-heran, sesekali Broto memandangi ibu mertua yang  mengingatkannya pada Sarpakenaka – adik perempuan Rahwana – yang tak bisa mengendalikan birahinya pada lelaki. Lagi pula, siapa lelaki kekar bertato, yang menampakkan sikap menjaga diri itu?

“Mulai hari ini akan kutempati rumah kita itu!” kata ibu Laksmita, menguasai perasaan anak gadisnya. Rumah itu memang dibiarkan kosong, semenjak Laksmita dinikahi Broto.

“Ke mana saja ibu selama ini?”

“Tentu saja aku menyelamatkan diri, ke suatu tempat yang menghindarkanku dari buruan penembak misterius! Sama seperti kau dan ayahmu yang melarikan diri dari incaran penembak misterius, aku mencari tempat yang aman untuk sembunyi. Adil, kan?”

Laksmita ingin menggugat ibunya. Tetapi diurungkannya. Broto melihat wajah istrinya memendam perasaan tak suka pada ibunya. Dalam hati Broto mulai membandingkan, betapa bertentangan perangai ibu dan anak perempuannya. Laksmita berambut panjang tergerai sampai punggung, ibunya berambut pendek. Laksmita beralis tebal hitam, alis ibunya dicukur habis, digurat dengan pensil. Sepasang mata Lakmita bening, teduh, menenteramkan. Sepasang  mata ibunya memendam godaan pada lelaki. Wajah Laksmita tanpa riasan. Wajah ibunya tertutup rias tebal. Tubuh ibu Laksmita sintal dan terawat. Tubuh inilah rupanya yang selalu dipamerkan, untuk menaklukkan laki-laki. Gerak geriknya selalu menampakkan lekuk tubuhnya. Broto tak melihat kebiasaan itu pada Laksmita yang tenang, dan menghindar untuk menarik perhatian laki-laki.

“Aku ingin kunci rumah dan sertifikat kauserahkan sekarang! Hari ini juga mau kutempati rumah itu!”

Tanpa melakukan pertimbangan apa pun, Laksmita masuk ke dalam kamar. Mengambil kunci dan sertifikat rumah. Diserahkan pada ibunya. Tampak benar wajah dan sepasang mata yang rakus itu berbinar sesaat. Ia yang telah lama menghilang, meninggalkan suami dan anak perempuannya, kini tiba-tiba datang untuk menguasai warisan rumah – setelah suami meninggal dunia.
                                                                       ***

SEPULUH hari setelah menempati rumah suami, ibu Laksmita kembali datang ke padepokan. Matanya  sembab. Menahan tangis. Gugup. Perilakunya hampir tanpa kendali. Broto memandangi perilaku ibu mertuanya dengan pandangan tak mengerti. Sungguh perilaku seorang ibu yang tak bisa disandingkan dengan anak perempuannya yang tenang, penuh dengan pengendalian diri.

“Lelakiku meninggalkan rumah tiga hari ini,” kata ibu Laksmita. “Tak biasanya dia meninggalkanku begitu rupa. Ia selalu pulang.”

“Lalu, kenapa Ibu mengadu padaku?”

Perempuan setengah baya itu menjadi tenang. Meredakan kegugupannya. “Aku  mau minta pertimbangan, bagaimana kalau aku menyuruh Tarko, anak buah ayahmu dulu, untuk membawa suamiku pulang?”

“Kalau Ibu meminta pendapatku, jangan lakukan itu,” kata Laksmita. “Akan berbahaya sekali. Tarko seringkali tak dapat mengendalikan diri.”

Ibu Laksmita terdiam, memandangi anak perempuannya: ingin membantah  Laksmita. Tetapi perempuan separuh baya itu meredakan gejolak pikirannya sendiri. Tampak benar bila di dalam hatinya masih bergejolak kehendak yang mendesak-desak, dibakar api kemarahan. Ibu Laksmita meninggalkan padepokan, dan Laksmita masih juga dijalari perasaan cemas. Laksmita tahu pasti tabiat Tarko, anak buah almarhum Ayah – patuh, setia, berbuat tanpa nalar. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Tarko terhadap laki-laki bertato yang diakui sebagai suami ibu.
                                                                         ***

DATANG lagi ibu Laksmita, pagi masih gelap berkabut, orang-orang di padepokan  mulai meninggalkan kamar. Di pendapa rumah, ibu Laksmita sudah duduk menanti anak perempuannya menemui. Tiap kali datang, perempuan setengah baya itu membawa persoalan hidupnya. Broto sudah dapat menduga, tentu ibu mertua tertimpa suatu masalah – yang ia sendiri tak pernah bisa menyelesaikannya.

Laksmita membawa nampan berisi teh hangat dan ketela goreng. Ia baru saja meletakkan cangkir teh, dan belum meletakkan sepiring ketela goreng, ketika ibunya berkata, “Suamiku ditemukan mati terbunuh di rumah seorang perempuan, di pinggir kota.”

“Ibu terlibat pembunuhan itu?”

“Aku tak pernah minta Tarko mengakhiri hidup suamiku!”

“Tapi tak urung ibu juga akan jadi buron,” tukas Laksmita. “Mestinya Ibu tak perlu melibatkan Tarko untuk menyelesaikan persoalan ini.”

Gugup, dengan tatapan nanar, ibu Laksmita berpamitan. Ia buru-buru meninggalkan padepokan Broto. Tak  seorang pun tahu ke mana ia akan mencari perlindungan. Bagi Laksmita, peristiwa pelarian ibunya dengan gugup serupa ini sudah dialaminya dua kali. Pertama kali dulu ketika teman-teman Ayah – beberapa preman yang brutal – diburu penembak misterius, bangkainya dibuang di tempat sampah atau tanggul sungai. Ibu berpamitan melarikan diri, dan tak pernah bertemu dengan Laksmita. Kini, untuk kedua kali, ketika Laksmita baru saja bertemu dengan ibu, kembali perempuan itu berpamitan, untuk melakukan pelarian. Tentu saja Laksmita tak dapat menghalanginya.
                                                                    ***

SEBENARNYA  Broto merasa tak tega membiarkan Laksmita mengalami nasib buruk bertubi-tubi. Tetapi ia hanya dapat memberikan ketenteraman batin di padepokan, dan tak terlalu larut dalam persoalan keluarga istrinya. Juga ketika polisi berdatangan, dengan diam-diam mengintai padepokan, Broto tetap tenang. Ia tak terlibat dengan pembunuhan suami ibu mertua. Ia juga tak memberi tempat bagi persembunyian ibu mertua.      

Broto tak tercengang ketika datang mobil polisi memasuki padepokan. Berloncatan  turun empat aparat keamanan bersenjata, menemuinya di pendapa. Ia sudah bisa menduga, bila mereka bakal datang ke padepokan, dan memburu ibu mertua. Tanpa rasa cemas  sama sekali, Broto menghadapi mereka. Wajah-wajah garang para aparat keamanan itu mencair, ketika berhadapan dengan Broto yang ramah, murah senyum.

“Kami datang untuk menjemput ibu!” kata salah seorang di antara mereka yang paling tua, dan dihormati di antara teman-temannya.

“Sayang sekali, ibu mertua tak ada di sini!”

“Boleh kami periksa semua ruangan?”

Broto mengantar ke ruang-ruang kamar padepokan, juga ruang-ruang kamar rumah kayu yang ditempatinya. Keempat aparat keamanan itu memeriksa tiap relung ruang dengan menjaga kewaspadaan dan kecurigaan. Memang tak ditemukan ibu mertua di rumah dan padepokan. Tetapi keempat aparat itu tak segera pulang. Mereka terus mendesak Laksmita, mencecar dengan pertanyaan-pertanyaan, ke mana ibunya melarikan diri. Tanpa kehendak untuk dusta, Laksmita mengabarkan berbagai kemungkinan ke mana ibunya bersembunyi. Keempat aparat keamanan itu terpana, melihat betapa jujurnya Laksmita, dan sama sekali tak menampakkan keinginan melindungi ibunya.
                                                                     ***

DI sela-sela latihan tari “Sarpakenaka” di padepokan, sesekali  Broto melihat beberapa lelaki berambut panjang dengan sepasang mata menyelidik menyusup ke dalam padepokan, membaur di antara cantrik. Broto sudah menduga: mereka intel polisi, yang memata-matai padepokan, ingin menangkap ibu mertua. Tetapi memang ibu mertua  Broto tak pernah sekali pun mencari perlindungan ke padepokan.

Broto juga tidak mencurahkan perhatiannya  untuk mengikuti penangkapan ibu mertuanya. Ia yakin, suatu saat, dan itu tak lama, ibu mertuanya akan dihadapkan pada pengadilan dan mungkin penjara.  Broto merasa yakin, ibu mertuanya bakal  tertangkap. Tetapi ia mesti menjaga perasaan istrinya agar tak terluka. Dia tak ingin menyinggung perasaan istrinya. Laksmita juga tak pernah menunjukkan perasaan sedih, atau mungkin perempuan itu terbiasa menyembunyikan perasaan-perasaan pedih dalam hidupnya?  Broto sedang menduga-duga:  tidakkah Laksmita merasakan kehilangan ibunya?
                                                      ***

BERITA penangkapan ibu mertua sampai juga ke telinga Broto. Laksmita yang mengabarkannya dengan tenang, seperti sebuah peristiwa biasa – berita di koran, yang terjadi pada orang lain yang tak dikenal. Broto sampai pada sebuah pertanyaan dalam hati: apa istriku sudah kehilangan pertautan jiwa dengan ibu yang mengandung dan melahirkannya?



Laksmita mengajak  Broto untuk menengok ibunya yang ditahan, menunggu sidang dan putusan pengadilan. Kini statusnya sebagai terdakwa dalang pembunuhan suaminya sendiri.

Sama sekali tak terlihat perasaan sedih pada wajah Laksmita. Apakah kepahitan hidup  yang tertubi-tubi datang telah menyebabkannya tak lagi bisa merasakan kesedihan? Pertemuan dengan ibunya, juga bukan suatu peristiwa yang mengharukan. Ibu Laksmita masih menampakkan kegenitannya, dengan tatapan mata yang senantiasa menebarkan daya pikat kewanitaannya, dan bibir bergincu merah yang sesekali dibasahi dengan lidahnya. “Tolong, carikan aku pengacara yang bisa membebaskanku dari jerat hukum! Kalau aku terlalu lama dipenjara, nanti tidak lagi laku kawin!”

“Biar suamiku yang akan mencarikan pengacara untuk ibu!”

“Aku tak betah hidup di penjara, tanpa lelaki di sampingku!” tukas ibu Laksmita. “Jangan lupa, kirimi aku kutek merah darah!”

Dalam diam, Broto meneguhkan keyakinan: ibu mertuanya senantiasa tak tahan untuk  bercumbu dengan lelaki. Kuku-kukunya masih tampak runcing, tajam, merah dan siap mencakar wajah seseorang yang bermusuhan dengannya. Kuku-kuku berkutek merah menyala itu seperti memberi kekuatan hidupnya agar selalu memikat lelaki.(*)

                                                   
                                                                  Pandana Merdeka, April 2020                                
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
S. Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan  program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi “Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”. 
 
Semenjak 1983  ia menulis cerpen, esai sastra, puisi,  novel, dan artikel di beberapa media massa seperti Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia,  Suara Karya,  Majalah Noor, Majalah Esquire, Basabasi.

Kumpulan cerpen tunggalnya Bidadari Meniti Pelangi (Penerbit Buku Kompas, 2005), dibukukan setelah lebih dari dua puluh tahun masa proses kreatifnya. Novel yang telah diterbitkannya dalam bentuk buku adalah Tangis Rembulan di Hutan Berkabut (HO Publishing, 2009).   

Menerima Anugerah Kebudayaan 2007 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen “Cermin Jiwa”, yang dimuat Kompas, 12 Mei 2007. Menerima penghargaan Acarya Sastra 2015 dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Menerima penghargaan Prasidatama 2017 dari Balai Bahasa Jawa Tengah. Cerpen “Sakri Terangkat ke Langit” dimuat dalam Smokol: Cerpen Kompas Pilihan 2008. Cerpen “Penyusup Larut Malam” dimuat dalam Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian: Cerpen Kompas Pilihan 2009 dan diterjemahkan Dalang Publishing ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Midnight Intruder” (Juni 2018).  Cerpen “Pengunyah Sirih” dimuat dalam Dodolitdodolitdodolibret: Cerpen Pilihan Kompas 2010. Novel terbarunya Tarian Dua Wajah (Pustaka Alvabet, 2016), Cermin Jiwa (Pustaka Alvabet, 2017). Kumpulan cerpen yang segera terbit adalah Kehidupan di Dasar Telaga (Penerbit Buku Kompas, 2020).   

Catatan Gerimis; Puisi Agustav Triono

BY editor IN 3 comments


 arcgis.com


DI HALAMAN RUMAH



Sesaat terpaku menghitung detik waktu

Merasai detak dalam jantung hari

Mengembun serpih kenang

Basah di pucuk-pucuk pohon belimbing

Di halaman rumah kusaksikan daun-daunnya kuning

Terhembus angin kepagian

Tanggal mengotori halaman

Ku punguti satu-satu sebagai laku

Agar tak ditikam hari lalu



Juni, 2020
    







CATATAN GERIMIS



Siang penat suara rintik mendekat

Kau berkabar lewat angin berhembus pelan

Gerisik dedaun di halaman terdengar melankoli

Menebalkan rindu kian lepuh

Catatan-catatan muram timbul tenggelam



Dan gerimis turun

Netes pada kertas bertulis puisi ini



Mei, 2020 







MALAM ENGKAUKAH



Malam, engkaukah yang menyapa dari luar jendela

Mengajakku mengelana susuri jalanan kota

Nikmati temaram lampu-lampu

Mengaduk-aduk kisah memungut sisa-sisa siang



Malam, bisikanmu mampukah luruhkan serbuk kelam

Agar cerita lalu tenggelam



Malam, biarlah segala dongeng masa silam

Menjadi asap pengantar istirah

Agar esok saat percakapan-percakapan pagi

Cerita dan kisah segera berganti



Mei, 2020











WAKTU ANTARA



Apa yang kau harap dari waktu antara

Ruang tunggu yang pengap

Berdinding cat muram

Kau kan setia menanti

Atau berjingkat mencari celah

Atau cukup menikmati apa adanya

Sambil melamun yang terjadi nanti

Atau kau malah mengubah ruang tunggu ini

Menjelma tempat menyenangkan

Mengecat dinding berwarna-warni

Lantainya dipel tiap hari

Lampu-lampu temaram

Ganti serupa cahaya hati

Sambil kumpulkan bekal

Melakoni waktu antara

Dengan terus mengingat penuh hikmat 

Agar debu dan peluh tak lekat



Mei, 2020