Cerpen Sungging Raga
Orang-orang
menyebut penginapan di tepi pelabuhan Selatpanjang sebagai Penginapan Kota Tua.
Penginapan itu berhadapan dengan laut, bangunannya yang kusam karena terlalu
lama diterpa angin bergaram, membuat jendela-jendelanya pun tak jernih lagi.
Jika dilihat dari tengah lautan, penginapan itu lebih seperti penjara yang
menantang siapapun yang berani berlabuh di kota Selatpanjang.
Di
depan penginapan terhampar pasar pelabuhan, keduanya dipisahkan jalan yang sepanjang
sisinya telah dipenuhi lapak para pedagang. Aroma ikan segar bercampur daging
mentah dan sayur-mayur. Becak motor diparkir tak beraturan, terpal dan kursi
malang melintang di trotoar sehingga tidak mungkin bagi seseorang berjalan
lurus di sana. Pintu penginapan telah dijejali pedagang jam tangan, kue basah, dan
agen tiket speedboat. Namun tampaknya hal itu tak mengganggu jumlah pengunjung.
Sang pemilik pun membiarkan halaman penginapannya dipenuhi para pedagang, mereka
membayar limaratus ribu setiap bulannya sebagai biaya sewa tempat.
Orang-orang
yang menginap di sana biasanya para pedagang dari luar pulau. Baik mereka yang
berdagang resmi maupun yang berlabuh di tengah malam demi menghindari perahu
patroli. Biasanya mereka berada di sana untuk bertransaksi selama beberapa hari.
Transaksi itu pun bertingkat-tingkat. Transaksi yang dilakukan di pasar
pelabuhan biasanya pedagang grosir barang-barang kebutuhan dasar. Adapun untuk
transaksi barang yang lebih terhormat: perhiasan, tawar-menawar proyek, biasanya
dilakukan di lobi penginapan atau di ruang pertemuan. Lobi itu telah didesain
dengan interior mewah, meja dan kursi yang antik, beragam minuman termasuk bir baik
yang oplosan sampai yang diimpor dari luar negeri, dan tentu ada juga wanita
penghibur. Sedangkan untuk tingkatan transaksi tertinggi biasanya dilakukan di
kamar-kamar khusus. Transaksi jenis ini tidak lain dan tidak bukan adalah ... Narkoba.
Pembedaan
ketiga jenis transaksi ini harus diketahui oleh resepsionis. Jika pengunjungnya
butuh keamanan ekstra, resepsionis akan menyiapkan kamar khusus yang
berderet-deret dan memiliki pintu penghubung, tangga terusan, dan lorong
labirin. Hal ini memungkinkan jika suatu kali polisi menggerebek penginapan
tersebut, maka orang-orang yang berkepentingan akan dengan mudahnya
bersembunyi. Untuk lebih menyempurnakan pertahanan ini, layak diketahui bahwa
penginapan ini juga memiliki ruang bawah tanah, dan juga memiliki landasan
helikopter di bagian atapnya.
Seperti
yang tertulis sebelumnya, resepsionis haruslah seorang yang cakap dalam
membedakan para penyewa kamar. Hanya dari sekali tatap, ia harus tahu apakah si
penyewa ini hanyalah turis biasa, pedagang besar, kurir barang berharga,
atau seorang mafia. Dengan
membedakannya, resepsionis jadi tahu persebaran kamar yang cocok untuk
masing-masing kategori. Maka tahulah kita bahwa yang berdiri di meja penerima
tamu itu bukan orang sembarangan. Ia dipilih melalui seleksi amat ketat,
melebihi ketatnya seleksi pegawai negeri. Menjadi resepsionis Penginapan Kota
Tua, berarti menjadi seorang jenius yang diakui kecerdasannya di seantero Selatpanjang.
Akan
tetapi, dalam hidup ini memang selalu ada pengecualian, kejutan-kejutan kecil
yang tak diprediksi. Dari kejutan semacam itulah sebuah cerita pendek bisa
ditulis. Maka pada suatu sore, resepsionis Penginapan Kota Tua mendapat sebuah
ujian, ia kebingungan karena tak mampu mengidentifikasi seorang pemuda yang
baru muncul di depan pintu. Pemuda ini datang membawa kopor dan memanggul tas.
“Saya
ingin kamar di lantai teratas, dan yang menghadap lautan,” kata pemuda
tersebut.
Resepsionis
memperhatikannya dengan detail. Pemuda ini mengenakan jas tebal berwarna
keabuan, perawakannya agak kurus seperti penderita cacingan, pandangannya
begitu datar nyaris tanpa ekspresi. Resepsionis melihat-lihat daftar pesanan,
tak ada rencana transaksi besar untuk malam ini, berarti orang ini bukanlah
ingin berdagang kulit ular atau mutiara. Tapi kalau dianggap pengunjung biasa
pun terlalu misterius.
“Sudah?”
pertanyaan si pemuda membuyarkan lamunan resepsionis.
“Oh,
ya. Kamar... Kamar 605. Persis menghadap tengah lautan. Tapi itu kamar yang
paling mahal.”
“Tidak
apa-apa. Saya bayar sementara untuk satu minggu, dengan opsi perpanjangan.”
Si
pemuda mengeluarkan uang. Transaksi itu pun terselesaikan dengan cepat. Tak lama
kemudian pemuda ini sudah berada di kamar yang cukup luas: tempat tidur ganda,
ada meja yang dilengkapi mesin pembuat kopi, AC, bath tub, dan tentu saja, jendela yang menyajikan pemandangan laut.
Ia tampak bahagia seakan-akan baru tiba di dalam surga.
Sementara
di lantai dasar, spekulasi mulai merebak tentang siapa pemuda ini. Spekulasi pertama,
sekaligus yang paling berbahaya dan paling mempengaruhi pemilik penginapan, adalah
dugaan bahwa si penyewa sebenarnya intel dari kepolisian pusat yang sedang
menyamar untuk membongkar jalur narkoba lintas negara. Ia pastilah intel muda
berbakat yang sudah punya pengalaman mengungkap jaringan bandar-bandar besar, sehingga
merasa aman saja bekerja sendirian. Spekulasi ini membuat resepsionis segera
menelepon Bucek, si penjaga pelabuhan, untuk menggali informasi tentang bagaimana
si penyewa ini sampai ke Selatpanjang. Bucek, yang dikenal tidak melewatkan
satu pun informasi di wilayah kekuasaannya, segera bergerak seperti anjing
pemburu. Ia buka lagi manifes dan catatan perjalanan, dicocokkanlah dengan ciri
yang disebutkan resepsionis, sampai ditemukan informasi baru, yang sayangnya
tak cukup membantu.
“Anak
muda itu hanya membawa tas dan kopor. Tas ia bawa ke dalam kapal, kopor ia
titipkan ke bagasi. Petugas bagasi hanya melihat lipatan baju, celana, senter, sandal
Carvil. Tak ada satu pun benda yang bisa dijual dengan harga tinggi,” begitu
penjelasan Bucek.
“Mungkin
ada barang bawaannya yang terluput dari kita,” kata resepsionis.
“Ya mungkin saja, tapi itu seperti terdengar
kau meragukan kemampuanku.”
Resepsionis memang
tak puas, ia memperluas penciumannya, tapi hasilnya nihil di hari pertama. Hari
kedua, si pemuda mulai beraktivitas keluar penginapan. Resepsionis menyewa
beberapa orang untuk menguntit, tapi tetap tak ada yang istimewa. Dan hari-hari
pun berlalu. Si penyewa ternyata tak banyak melakukan hal mengejutkan. Pagi hari
ia keluar berjalan-jalan di pasar, berkunjung ke taman kota, lalu kembali lagi
dengan membawa bungkusan sarapan nasi padang. Informasi terpentingnya adalah
pemuda itu sangat menyukai nasi padang. Selebihnya ia tidak keluar kamar, lebih
suka duduk memandangi hamparan laut sepanjang hari seperti seorang introver.
Pelayan kamar yang
hilir mudik di sekitar kamarnya, mengakui bahwa penyewa misterius itu tak banyak
melakukan kegiatan. “Lebih mirip pengangguran yang berwisata dengan biaya dari
harta warisan,” kata seorang petugas laundry. Namun dampak keberadaannya sudah
mulai terasa. Sebagai bentuk kehati-hatian, beberapa transaksi penyelundupan
dibatalkan, jadwal kunjungan beberapa bandar dari luar negeri juga dialihkan ke
pulau yang lain. Pemilik penginapan merasa bangkrut. Ia tak menemukan jalan
lain, kecuali menghubungi temannya yang merupakan orang dalam kepolisian, untuk
menginterogasi si penyewa misterius.
“Jadi,
apa urusan Anda berada di sini?” begitu kata seorang polisi ketika berkunjung
ke kamar si pemuda.
“Oh,
tidak ada. Saya hanya suka berwisata.”
“Apa
Anda punya tugas tertentu?”
“Hm,
tidak ada.”
“Begini,
di wilayah kami, orang yang berkunjung di atas tujuh hari tanpa melapor, harus
dipulangkan secara paksa.” Polisi ini jelas berbohong.
Si
pemuda, yang mulai merasakan keanehan, segera menjawab, “Oh, sebenarnya saya sudah
akan pulang esok lusa. Jadi saya minta izin dua hari lagi.”
Begitulah,
dua hari kemudian ia berpamitan kepada resepsionis, membayar sisa tagihan kamar
dan laundry. Lalu ia melangkah begitu saja seakan tak ada yang menarik
perhatiannya selama ini. Bagi resepsionis, hal ini adalah kekalahan, baru kali
ini ia gagal mengidentifikasi informasi apapun dari tamunya. Pelayan kamar bergegas
memerika kamar 605 begitu detail, mungkin mereka khawatir pemuda itu menanam
kamera pengawas atau alat perekam.
Sementara
itu, setelah keluar dari penginapan, si pemuda segera melangkahkan kakinya menuju
pelabuhan. Tangannya kini telah memegang tiket speedboat menuju Pulau Batam, yang
menjadi destinasi selanjutnya.
Ketika
pemuda itu telah berada dalam speedboat yang mulai bergerak, ia masih sempat memandangi
lanskap kota Selatpanjang yang kian menjauh. Penginapan Kota Tua tampak kokoh
karena merupakan yang paling tinggi dari bangunan lainnya. Ada nuansa misterius
yang melingkupi benaknya.
“Memang aneh sebagaimana
yang aku dengar,” kata pemuda itu kepada diri sendiri, “tapi, toh aku hanya penulis
cerpen.” Kemudian ia pun membuka dan menyalakan laptopnya ...
Ditemani
suara laju speedboat di tengah lautan, pemuda itu mulai menuliskan sebuah
paragraf pembuka:
Orang-orang menyebut penginapan di tepi pelabuhan
Selatpanjang itu sebagai Penginapan Kota Tua. Penginapan itu berhadapan dengan
laut, bangunannya yang kusam karena terlalu lama diterpa angin bergaram,
membuat jendela-jendelanya pun tak jernih lagi ... (*)
Sungging
Raga tinggal di Situbondo, Jawa Timur. Pernah
kuliah di Jurusan Matematika Universitas Gadjah Mada. Menulis prosa sejak 2009.
Baru saja menerbitkan novel perdana berjudul “Cikuya 15730” (Basabasi, 2020).