Segelas Kopi Pahit di Pagi Ini
hari ini kularutkan motivasi, keinginan dan harapan
Terteguk
Kok nyangkut di tenggorokan
Keselek
Kopi pahit berhamburan
Seperti harapan
BY Arsyad Riyadi IN puisi No comments
BY Arsyad Riyadi IN puisi No comments
BY Arsyad Riyadi IN puisi No comments
Sumber gambar : pixabay |
...................................................
Senja mengetuk Malam menggerutu Fajar berbinar Siang bertukar kabar Ada keasingan yang datang kesiangan Ada misteri yang hadir tak terperi Mulut terkatup Lidah kaku Tak ada dialog Monolog Jadi teman bercumbu
Purbalingga, 1 Desember 2021 - Awal Sebuah Kisah
BY Agus Pribadi IN launching dan beda buku No comments
“Saya tetap mengapresiasi Teplok bahwa itu pernah
menjadi ruang sastra kita. Tidak pernah akan terhapuskan bahwa Teplok pernah
menghiasi laman sastra di Indonesia.” (Yuditeha)
“Harapan saya teplok bisa lanjut apapun bentuknya yang
dipilih oleh tim internal teplok.” (Han Gagas)
Cerpen “Antara Ayah dan Suamiku” karya Han Gagas
terpilih sebagai karya cerpen terbaik Teplok.id 2020, sementara itu Puisi “Sepatah Kata Ibu” karya
Yuditeha terpilih sebagai karya puisi terbaik Teplok.id 2020. Hal itu diumumkan
oleh Agus Pribadi sebagai wakil dari tim Teplok dalam acara launching dan Bedah
Buku “Antara Sepatah Kata, Cerpen dan Puisi Teplok 2020” pada Minggu 8 Agustus
2021 pukul 19.30 – 21.30 melalui tatap maya zoom meeting.
Buku “Antara Sepatah Kata” ditulis oleh 25 orang
penulis, antara lain:
Penulis Cerpen: Sungging Raga, Ken Hanggara, S.
Prasetyo Utomo, Pensil Kajoe, Wiwid Prasetiyo, Dewi Sukmawati, Yuditeha, Syukur
Budiardjo, Nina Rahayu Nadea, Riswandi, Bagus Sulistio, Mufti Wibowo, Han Gagas.
Penulis Puisi: Yuditeha, Daru Sima S., Agustav Triono,
Eko Setyawan, Moh. Rofqil Bazikh, Tjahjono Widarmanto, Raihan Robby, Faris Al
Faisal, Budi Wahyono, Irna Novia Damayanti, Nurul Mahabbah, Ikrom Rifa’I, Ryan
Rachman
Acara yang dipandu Arsyad Riyadi dan berlangsung
sederhana itu dihadiri oleh Indra Defandra dari penerbit SIP Publishing, para
penulis buku tersebut, dan dari umum.
Beberapa penulis yang hadir diantaranya: Han Gagas,
Yuditeha, Tjahjono Widarmanto, Faris Al Faisal, Ryan Rachman, Nina Rahayu Nadea,
dan sejumlah penulis lainnya.
Agustav Triono dan Agus Pribadi yang membedah buku itu
secara singkat memiliki benang merah yang sama yakni sebuah karya haruslah
memiliki pesan yang hendak disampaikan, bukan sekadar akrobatik kata-kata tanpa
makna. Dalam kesempatan itu, Agustav juga membacakan puisi karyanya dan karya
puisi terbaik.
Dalam kegiatan tersebut juga diadakan diskusi, yang
menghasilan beberapa pemikiran, sebagian diantaranya:
Apapun bentuknya, keberangkatan adalah hal baik, hal
tulus yang saya amini baik dan itu sebuah usaha yang mulia. Di dalam hati
setiap penulis saya meyakini punya hati mulia seperti itu meskipun terkadang
tidak terdukung oleh kondisi atau finansial misalnya, tetapi saya melihat untuk
khusus itu ketulusan yang perlu kita lihat, dedikasi terhadap sastra itu
sendiri. (Yuditeha).
Dalam realitasnya, jagad sastra kita memang masih
berkembang karena didukung oleh para sastrawannya sendiri. Apresiator sastra di
Indonesia tampaknya memang belum menggembirakan. Walaupun ada pengajaran sastra
di sekolah menengah. Walaupun banyak fakultas sastra. Tapi kendalanya memang
masih klise sampai sekarang bahwa penikmat sastra itu terbatas. Melihat
penikmat sastra yang terbatas ini memang tidak ada pilihan lain kalau kita
hendak membangun ekosistem sastra Indonesia ya kita harus membangun
jaringan-jaringan sastra yang baik, salah satunya yang dilakukan oleh
teman-teman teplok di sini, kemudian ada juga Mas Yuditeha dengan Ide ide. Ini
sebetulnya adalah suatu langkah konkrit bagaimana mengembangkan sastra kepada
masyarakat kita. Walaupun jangkauannya antara satu dan yang lain berbeda.
(Tjahjono Widarmanto)
Keberpihakan seorang penulis menjadi pendorong banyak
penulis baik di negara kita maupun di dunia termasuk saya sendiri. Tulisan-tulisan
saya lebih banyak tentang keberpihakan pada orang-orang marginal, orang-orang
yang dianggap gila misalkan, orang-orang yang ditindas yang terabaikan.
Keberpihakan menjadi spirit penting dan itu menjadi premis utama yang selalu saya
tulis. (Han Gagas)
BY editor IN puisi No comments
Puisi-Puisi Ni’matus Sholihah
Membaca Matamu
: Kakanda
Pada matamu yang senja
Kutemukan kita
Dalam cerita yang telah purba;
masa lalu
Madiun, 2019
Wijaya Kusuma
: Kakanda
Wijaya kusuma
yang kautanam di suatu pagi
tumbuh di tubuhku
mekar di dadaku
Kau ; tak pernah tahu
Madiun, 2020
Status
baru saja aku memposting status
di langit malam
agar kautangkap
di layar matamu
di sana puisi menjelma aku
yang menari-nari
mencari celah masuk ke hatimu
sayangnya,
satu tahun yang akan datang
kita; masih berbahasa isyarat
di layar mata yang telah berkarat
Madiun, 2020
Malam itu Syahdu
malam itu
kata semesta
bisu kita syahdu
hanya desau angin yang menyampaikan ingin
sesekali bunyi decit rem sepeda
merayap di telinga
dan kita masih sama enggan mencairkan
separuh sisi malam yang legam
sampai di persimpangan
jalan menuju rumahmu dan rumahku
separuh malam masih membeku
aku hanya bisa berbisik,
"Sampai jumpa, Nda!" di dalam hatiku
tapi,
malam itu
kata semesta
bisu kita syahdu, Kasihku
Madiun, 2020
Ni’matus Sholihah. Lahir di Madiun pada 1 Maret 2001. Alumnus MAN I Madiun (MAN Kembangsawit)
BY Agus Pribadi IN Cerpen No comments
Cerpen Luhur Satya Pambudi
Bersukacitalah hati Fayra. Akhirnya bisa ia
miliki ayah yang baik hati, berbeda dengan ayah kandungnya yang entah di mana.
Lelaki yang semula dipanggilnya Om Sam itu bersedia menikahi ibunya yang sempat
tiga tahun menjanda. Kedua orangtua Fayra berpisah ketika ia berusia tiga
tahun. Sosok ayah kandungnya tak cukup mengesankan bagi si gadis cilik. Sesudah
Sam menjadi suami ibunya, barulah ia memahami betapa menyenangkannya memiliki
ayah sebagaimana dialami teman-temannya. Ayahnya kini senantiasa hadir ketika
Fayra memerlukan segala sesuatu. Ia bahkan lebih nyaman mengisi waktu bersama
Sam ketimbang ibunya yang sibuk bekerja di luar rumah. Namun, jika sang ibu
memiliki waktu senggang, biasanya mereka bisa bepergian bertiga, entah
mengunjungi kakek dari ibunya, nenek dari ayahnya, atau sebatas makan di
restoran.
Fayra tidak kerap meminta dibelikan mainan
baru. Ia sudah bahagia dengan yang dimilikinya dan lebih suka koleksi bukunya
yang bertambah. Fayra menjadikan mereka hiburan istimewa bersama sang ayah yang
tak bekerja kantoran. Sam dikenalnya sebagai sosok yang terampil mendongeng dan
selalu mampu menggembirakan hatinya. Hal itulah yang membuat si gadis cilik
terkesan pada awalnya. Sam sendiri jatuh sayang terhadap Fayra hingga
senantiasa berhasrat membagikan hal-hal indah kepada sang bocah. Jalan
terbaiknya adalah menikahi ibu Fayra dan otomatis menjadi ayahnya.
Kian berwarna cerah hidup Fayra. Sang ibu
menghadirkan seorang adik lelaki baginya sekaligus anak kandung Sam. Namun, tak
lama berselang kebahagiaan itu mesti luntur dari hidup Fayra. Ibunya kerap
terdengar berselisih paham dengan Sam, hingga tiada lagi yang bisa
dikompromikan. Fayra pun menghadapi kenyataan pahit kembali. Ibunya berpisah
dengan sang suami untuk kedua kalinya. Hal paling menyesakkan bagi Fayra adalah
kepergian Sam yang selama sekitar lima tahun menjadi ayah idolanya.
“Apakah saya masih boleh memanggil Ayah atau jadi Om Sam lagi?” Fayra yang
telah berusia sebelas tahun bertanya kepada Sam yang tengah bersiap-siap
meninggalkan rumah. Ketika peristiwa itu terjadi, proses perceraian masih belum
menemui kata akhir.
“Tentu aku tetap Ayah bagimu dan adikmu Fariz,
meski aku dan ibumu tak lagi bersama. Ayah berharap kita masih bisa sering bertemu,”
sahut Sam sendu.
Palu hakim akhirnya meresmikan perpisahan ibu
Fayra dengan Sam. Hak perwalian atas Fariz diserahkan kepada ibunya, tapi Sam
memiliki hak kewajiban tertentu terhadap anak lelakinya. Begitulah yang
ditetapkan hakim. Namun, yang lantas terjadi, ibu Fayra melarang Sam menemui
anak-anaknya lagi.
“Kenapa Ayah tak boleh menemui kami lagi, Ibu?”
tanya Fayra suatu ketika.
“Ada hal yang belum bisa kau pahami, Nak.
Biasakanlah bahwa kita tinggal bertiga belaka di rumah ini. Kita pasti bisa menjalaninya.
Oh ya, sebaiknya lupakan saja Sam, eh ayah tirimu maksud Ibu.”
Entah apa alasan sesungguhnya, Fayra tak mampu
memahami keputusan ibunya. Apalagi bagi Fariz yang masih berusia balita dan tak
mengerti yang sebenarnya terjadi. Di mata Fayra, Sam sangat menyayangi
anak-anaknya. Si gadis tak pernah meragukan ketulusan hati lelaki itu.
Kehadiran Fariz nyatanya tak mengubah sikap Sam terhadap Fayra yang tetap
merasa menjadi putri kesayangan sang ayah. Namun, tampaknya sang ibu melihat
sosok yang berbeda. Hal itu membuatnya membenci mantan suaminya dan
menjauhkannya dari buah hatinya. Ia bagaikan tak peduli perasaan Fayra dan
Fariz yang kehilangan figur ayah nan baik.
***
Fayra akhirnya terbiasa menjalani hidup tanpa
kehadiran ayah dalam keluarganya. Sepuluh tahun berlalu, usianya sudah dua
puluh satu kini. Kendati demikian, segala kenangan masa kecilnya bersama Sam
masih tetap bersemayam dalam hatinya. Terkadang kerinduannya terhadap ayah
tirinya sedikit terjawab dengan membolak-balik album foto keluarga yang
tersimpan rapi di kamarnya. Riang pula hati Fayra kala membaca sejumlah cerpen
dan puisi karya Sam yang beberapa kali hadir di media massa. Ia memang
penggemar sastra sebagaimana mantan suami ibunya. Betapa ia berhasrat mengajak
Fariz menjumpai Sam, toh ia bisa menanyakan alamat rumahnya kepada redaktur
media yang memuat karyanya. Namun, ia tak bisa membayangkan reaksi keras ibunya
jika sampai mengetahui hal itu. Fayra pun mengurungkan niatnya. Sang ibu
sendiri sempat memiliki kekasih lagi, tapi tanpa berlanjut ke pelaminan.
Suatu ketika Fayra mendapatkan kejutan dari
Fariz yang telah duduk di bangku SMP. Situs jejaring sosial tengah mulai
mewabah dan diikuti berbagai kalangan dalam beragam usia.
“Kak Fayra tahu tidak, aku baru saja diajak
berteman oleh siapa di Facebook?” ucap Fariz yang sore-sore baru pulang dari
warnet. Ketika itu akses penggunaan internet di rumah belum jamak terjadi.
Fariz dan kakak perempuannya bercakap-cakap di kamar Fayra.
“Siapa, Dik? Model cantik remaja yang kau sukai
itu, ya?” sahut Fayra tersenyum.
“Bukanlah, Kak. Itu sih, aku yang mengajaknya
berteman. Hehe…”
“Lantas siapa dan apa istimewanya?”
“Samiaji Dipayana, Kak.” Mata Fariz tampak
berbinar-binar.
“Hah, Ayah? Jadi, kau sudah berteman
dengannya?”
“Iya, Kak. Kami bahkan sudah bertukar nomor
telepon dan akan bertemu nanti, meski belum tahu harinya. Senang rasanya
berhubungan dengan Ayah lagi.”
Sesak mendadak dada Fayra. Gerimis turun dari
matanya. Bahagia, sedih, dan entah apa saja yang serta-merta membanjiri relung
kalbunya. Lekas dipeluknya belaka sang adik seraya menangis tanpa sanggup
berkata-kata.
“Kenapa Kak Fayra malah menangis?” tanya Fariz
yang terlalu hijau untuk memahami.
“Hiks… Aku bahagia buatmu, Dik. Akhirnya kau
bisa bertemu lagi dengan ayah kandungmu. Hiks… Kira-kira Ayah tahu tidak ya,
jika aku pun merindukannya? Kau tahu kan, aku juga ingin sekali menjumpainya.”
“Jangan sedih, Kak. Beliau kirim salam kangen
kok, buat Kakak.”
Jawaban Fariz disambut Fayra dengan senyuman.
Ia melepas pelukannya dan mulai menghapus air matanya. Fayra menepuk punggung
Fariz yang berdiri di hadapannya. Dalam hati ia bersyukur karena jalan terbuka
baginya melihat kembali ayahnya. Mantan ayah tiri, lebih tepatnya.
“Tapi Kak, bagaimana jika Ibu sampai tahu?
Kakak bisa merahasiakan hal ini, kan?”
“Fariz, tentu Kakak akan menjaga agar
pertemuanmu dengan Ayah tak sampai ketahuan Ibu. Kita berdoa sajalah,
mudah-mudahan Ibu sudah berubah dan membolehkan Ayah menemui kita lagi.”
Yang terjadi kemudian, Fariz bersua dengan
ayahnya seorang diri hingga dua kali. Ia lantas mengajak kakaknya pada
pertemuan ketiga. Fayra menyambutnya dengan riang, senyampang memiliki waktu
senggang. Sebelumnya, ia sudah menjadi teman Sam di Facebook, tapi baru sempat
berbasa-basi belaka. Fayra dan Fariz menjumpai Sam di sebuah restoran yang
pernah kerap mereka kunjungi ketika masih menjadi sebuah keluarga.
Harapan yang sekian lama terpendam lambat laun
menjadi kenyataan jua. Fayra akhirnya bisa bertatap muka kembali dengan Sam
yang senantiasa dirindukannya sepanjang satu dasa warsa.
“Ayah bisa saja memilih tempat ini. Sejak Ayah
pergi, kami tak pernah kemari lagi.”
Begitulah kalimat pembuka Fayra kepada Sam
setelah mereka bersalaman dan berpelukan. Ia tak mampu menahan keharuan. Gadis
itu sempat kesulitan akan berucap apa,
saking banyaknya hal yang tersimpan dan ingin ia bagikan. Rada kagok juga
rasanya mengingat dahulu ia masih bocah dan kini sudah kuliah. Namun, candaan
khas dari Sam membuat suasana beranjak menghangat. Fayra dan Fariz bahkan bisa
bergantian berbagi cerita kepada ayahnya. Sam lebih banyak tersenyum
mendengarkan curahan hati anak-anaknya. Sesekali, lelaki kalem itu menimpalinya
dengan nasihat, meski terkadang ia menanggapinya dengan kata-kata yang
menyegarkan. Fayra pun merasa memiliki sebuah warna cerah baru yang memperindah
dunianya. Sehabis itu ia lebih kerap berkomunikasi dengan Sam, biarpun sebatas
lewat Facebook maupun SMS semata.
Dua bulan telah lewat sejak Fayra berjumpa
kembali dengan Sam. Gadis itu memberanikan diri bertanya kepada ibunya tentang
kemungkinan pertemuan antara dirinya maupun Fariz dengan Sam. Fayra telah
membekali diri dengan doa agar tegar hatinya menghadapi apa pun reaksi sang
ibu.
“Nak, sebenarnya Ibu sudah lama memikirkannya.
Berkali-kali Ibu merenungkan semua yang pernah terjadi. Selama ini mungkin Ibu
kurang tepat dalam memperlakukan kalian, terutama ketika melarang Ayah
menemuimu dan Fariz. Kekhawatiran yang Ibu miliki di masa silam ternyata tidak
beralasan. Maafkan Ibu ya, Nak.”
“Jadi, Ibu tidak marah sekiranya aku dan Fariz
berjumpa dengan Ayah?”
“Temuilah Ayah kapan pun kalian mau. Ibu tidak
akan keberatan, toh kalian sudah sering melakukannya, bukan?” Sang ibu
mengatakannya dengan senyuman.
“Hah, jadi Ibu sebenarnya sudah tahu? Wah,
Fariz pasti sangat gembira dengan hal ini.”
Tanpa sepengetahuan Fayra dan Fariz, ibunya
telah berbicara empat mata dengan Sam. Sang ibu menyadari kesalahannya dan
bersedia berbesar hati mendatangi mantan suami keduanya untuk meminta maaf. Ia
mempersilakan Sam berhubungan kembali dengan anak-anaknya tanpa halangan.
Kejadian itu berlangsung tak lama sehabis Fariz menjadi teman ayahnya di
Facebook. Sang ibu bahkan berupaya berteman baik lagi dengan Sam, tentu demi
masa depan anak-anak mereka. Fayra mensyukuri perubahan besar yang terjadi pada
ibunya.
Setelah hampir dua tahun Sam bisa bercengkrama
kembali dengan anak-anaknya, mendadak tersiar kabar duka. Ayah kandung Fariz
itu terkena serangan jantung dan padam nyawa ketika tengah bertugas di luar
kota. Fayra tiba-tiba merasakan kehampaan bersemayam dalam kalbunya. Ayah tiri
yang pernah sangat dirindukannya pergi lagi, tapi kali ini tanpa asa
menjumpainya kembali.(*)
------------------------------------------------------------------------------
Luhur Satya Pambudi lahir di Jakarta dan tinggal di Yogyakarta. Cerpennya pernah dimuat di sejumlah media cetak maupun daring, seperti Suara Merdeka, Tribun Jabar, dan kompas.id. Kumpulan cerpen perdananya berjudul Perempuan yang Wajahnya Mirip Aku (Pustaka Puitika).